468x60bannerad

Selasa, 27 Februari 2018

Potehi Klasik Tersisa di Tanah Jawa (2)

Kota Batavia diyakini menjadi gerbang masuknya Wayang Potehi ke Pulau Jawa, sebelum akhirnya merambah komunitas Tionghoa di kota-kota lain, Edmund Scoot, pemimpin loji Inggris di Banten (1603-1604) sempat mencatat sering dipertunjukkannya boneka sarung tangan ini di lingkungan kelenteng dalam suatu ritual keagamaan. Sementara dalam naskah Riwajat Semarang Dari Djamannja Sam Poo Sampe Terhapoesnja Kongkoan, Liem Thian Joe mengisahkan pertama kalinya wayang potehi dimainkan di Semarang sekitar tahun 1772. Kala itu, serombongan wayang potehi sengaja diundang dari Batavia untuk memeriahkan selesainya pembangunan Kelenteng Tay Kak Sie di gang Lombok. Pertunjukan hampir selama dua bulan itu mendapatkan sambutan yang meriah dari khalayak ramai.

Wayang potehi pun terus berkembang dan semakin mengakar dari waktu ke waktu, terutama di kelenteng-kelenteng sepanjang pesisir utara Pulau Jawa, dari Banten hingga Surabaya. Tak hanya diwariskan secara turun-temurun, panggung teater boneka ini juga makin diramaikan dengan hadirnya para perantau baru, termasuk diantaranya sejumlah sehu profesional yang datang langsung dari Negeri Tiongkok. Acapkali, mereka datang bersama dengan para pemain musik atau pembuat bonekanya. Kotak-kotak boneka, properti serta panggung pun dibawa langsung dari negeri asalnya untuk menemaninya menetap di Jawa, sembari merinitis kehidupan baru.

Wayang potehi yang berkembang di Jawa belakangan justru lebih terjaga orisinalitasnya, baik dari sisi bentuk maupun tradisi yang menyertainya. “Di negeri leluhurnya, kesenian ini justru menyurut drastis tergerus perubahan jaman akibat revolusi kebudayaan yang terjadi, dan belakangan berubah ke pendekatan modern yang lebih fokus pada sisi akrobatik dengan kisah-kisah baru.” ungkap Ardian Purwoseputro, seorang pemerhati budaya Nusantara yang belakangan aktif memasyarakatkan kembali eksotisme wayang potehi.

Bicara tentang kebangkitan kembali wayang potehi, tak bisa lepas dari keberadaan kelenteng Hong San Kiong di Gudo, Kabupaten Jombang. Tak sebatas di Jawa Timur, kelenteng ini yang menjadi markas Paguyuban Wayang Potehi Fu He An ini, boleh jadi merupakan satu-satunya pusat pelestarian wayang potehi di Indonesia.

Adalah Toni Harsono, terlahir dengan nama Tok Hok Lay, ketua kelenteng Hong San Kiong sekaligus ketua Paguyuban Wayang Potehi Fu He An, tokoh pelestari dibalik geliat wayang potehi di Gudo. Buah tak jatuh jauh dari pohonnya, Toni adalah generasi ketiga seniman potehi di Indonesia.

Tok Su Kwie, kakeknya, adalah seorang sehu yang datang langsung dari Negeri Tiongkok. Bersama Tan Hing Gie, salah seorang pemain musik yang setia mengiringinya, mereka mendarat di pantai utara Pulau Jawa di penghujung abad ke-19 dan menetap di Gudo hingga akhir hayatnya. Tok Hong Kie, ayah Toni Harsono, menjadi penerus jejak sehu Tok Su Kwie melestarikan tradisi potehi hingga masa-masa sulit ketika Pemerintah Orde Baru memberangus segala sesuatu yang berbau Tionghoa di paruh kedua tahun 1960-an.

Namun, meski menjadi keturunan langsung seniman-seniman potehi, Toni Harsono justru tidak melanjutkan profesi sebagai seorang sehu, mengikuti wasiat sang ayah yang tidak menghendaki keturunannya untuk melanjutkan profesi ini, mengingat pengalaman hidupnya sebagai seorang sehu yang penuh dengan keprihatinan dan keterbatasan. Karenanya, ungkapan cinta dan kepeduliannya akan wayang potehi diwujudkannya dengan perhatian dan berbagai upaya demi lestarinya wayang potehi di Indonesia, khususnya di Jombang, tempat kelahiran yang sangat dicintainya.

Peninggalan sang kakek, kini menjadi salah satu koleksinya yang paling berharga, berupa puluhan wayang potehi asli berusia tak kurang dari 150 tahun, lengkap dengan dekorasi panggungnya. Koleksi bersejarah yang telah melintasi samudera luas, dari Negeri Tiongkok ke Tanah Jawa. Meski sebagian dengan kondisi rusak, sisa-sisa keindahannya masih tampak.

Koleksi asli yang di negeri asalnya bahkan telah jarang dijumpai ini, memandunya untuk menciptakan boneka-boneka baru. Pengukir kayu handal sengaja didatangkan dari Jepara. Tak sebatas mengukir kepala boneka potehi, mereka juga membuat duplikat properti dan dekorasi panggung yang sesuai dengan aslinya. Busana mini warna-warni yang menghiasi tubuh boneka potehi diserahkan kepada tukang bordir dan penjahit khusus di di Jombang dan Tulungagung. Sementara pengecatan ekspresi wajah dan pembentukan akhir wujud boneka lebih banyak dilakukannya sendiri.

Obsesi yang ingin diraihnya, menyediakan paling setidak 10 kotak yang berisi tak kurang dari 150 boneka potehi, lengkap dengan alat musik berikut panggungnya. “Semua ini dilakukan untuk memudahkan para sehu agar bisa mementaskan wayang potehi kapan saja dan dimana saja, mengingat tak semua sehu mampu membuat boneka sendiri,” ungkap Toni Harsono di sela kesibukannya ‘merias’ wajah boneka potehi.

Memang, tak setiap sehu selalu memiliki kotak boneka sendiri dan selama ini mereka biasa menggunakan koleksi yang dimilikinya tanpa dipungut biaya sepeser pun. Posisi Toni sebagai salah satu pengusaha sukses di Jombang memungkinnya untuk mengemban posisi penting dalam pelestarian seni tradisi ini. Bukan sebagai sehu sebagaimana ayah dan kakeknya, namun menjadi seorang maecenas lokal dengan perhatian spesifik terhadap kelestarian wayang potehi. Sebuah posisi unik yang tergolong langka.

Obsesi lain yang menjadi impiannya adalah menjadikan Gudo sebagai pusat pelestarian dan sumber informasi wayang potehi di Indonesia, bahkan di tingkat dunia. Salah satunya dengan membangun sebuah museum khusus wayang potehi yang pembangunannya telah dimulai, tak jauh dari kelenteng Hong San Kiong di Jalan Raya Gudo, Kabupaten Jombang.

Agus Yuniarso untuk Kabare Magazine. Sebelumnya: Potehi Klasik Tersisa di Tanah Jawa (1).

Potehi Klasik Tersisa di Tanah Jawa (1)

Hembusan angin malam di tepi Kali Berantas, tak menyurutkan keasyikan sejumlah orang yang duduk di depan sebuah rumah panggung berwarna merah di halaman Kelenteng Tjoe Hwie Kiong. Malam itu adalah satu dari sekian malam ketika kelenteng yang berada Jl. Yos Sudarso, Kediri ini menggelar pertunjukan wayang potehi selama hampir dua bulan penuh, hingga awal Juli 2013 lalu.

Purwanto, pria asal Jombang yang berdomisili di Kediri, tampil sebagai dalang, yang dalam istilah potehi disebut sebagai sehu. Ia begitu lihai memainkan boneka sembari melantunkan suluk dalam sebuah lakon tentang Jenderal Sie Djin Kwie, satu dari sekitar 30-an lakon yang dikuasainya. Selain sang sehu, masih ada empat orang lagi yang sibuk di belakang panggung. Satu orang menjadi jiju atau asisten yang mempersiapkan dan menata boneka berikut propertinya, sementara tiga orang lainnya duduk di bagian belakang memainkan sejumlah musik tradisional Tiongkok seperti tong ko (tambur), piak ko (bilah kayu), ua lo dan sio lo (gembreng besar dan kecil), tua jwee (terompet), hian na (rebab) serta gwee khim (mandolin).

Suasana malam itu cukup memberi gambaran bagaimana lazimnya suasana pertunjukan wayang potehi yang belakangan kembali marak digelar. Pertunjukan wayang potehi biasanya digelar untuk memeriahkan peringatan ulang tahun dewa yang yang menjadi tuan rumah suatu kelenteng. Ongkos pertunjukannya ditanggung oleh para donatur dari berbagai kota yang membiayai beberapa lakon atau sejumlah hari pertunjukan tertentu.

Umumnya dalam sehari dipentaskan dua kali, sekitar pukul 15.30 dan pukul 19.00, masing-masing dengan kisaran durasi selama dua jam. Lakon yang ditampilkan pada setiap pementasan selalu berbeda, namun tetap dalam satu rangkaian cerita panjang. Tentang lakon apa yang akan dipentaskannya, sang sehu bergantung sepenuhnya pada permintaan sang pemesan. “Tidak semuanya cerita klasik, bisa juga cerita garapan yang lebih nge-pop seperti Sam Pek Eng Tay, cerita silat karya Kho Ping Hoo atau kisah Kera Sakti,” tutur Purwanto.

Sebagai salah satu ikon budaya peranakan Tionghoa di Indonesia, wayang potehi kembali muncul ke permukaan sejak tahun 2000, setelah Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Inpres No. 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina. Lebih dari tiga dasawarsa hanya terkungkung dibalik tembok kelenteng, sosok Jenderal Sie Djin Kwie kini bebas tampil dan dikisahkan dimana saja. Tak sebatas di kelenteng-kelenteng, namun juga merambah berbagai ruang publik seperti galeri seni dan pusat perbelanjaan di berbagai kota besar di Indonesia.

Tidak ada catatan pasti bagaimana asal mula berkembangnya seni pertunjukan ini di Indonesia. Bahkan di negeri leluhurnya sendiri, tidak cukup tersedia sumber referensi yang dominan, sehingga memunculkan beragam versi tentang sejarah seni teater boneka, khususnya wayang potehi.

Di negeri asalnya, teater boneka konon telah dikenal sejak masa kejayaan Dinasti Han (206-220 Masehi) dan semakin berkembang di masa Dinasti Tang (618-907 Masehi). Kaisar Minghuang yang memerintah tahun 713-756 Masehi, tercatat sebagai penggemar pertunjukan-pertunjukan boneka yang pementasannya kerapkali diadakan di dalam istananya. Kota Zhangzhou dan Quanzhou di Provinsi Fujian, sejak berabad lampau telah menjadi pusat perkembangan teater boneka, dimana para seniman mencipta dan berkarya.

Bentuk teater boneka itu sendiri bermacam-ragam, baik yang berbentuk dua dimensi maupun tiga dimensi. Bentuk dua dimensi berupa pertunjukan bayang-bayang dari boneka tipis yang terbuat dari kulit (shadow puppet), serupa dengan wayang yang dikenal di Jawa. Sementara bentuk tiga dimensi berupa boneka bertangkai (rod puppet), boneka yang digerakkan dengan tali (string puppet atau marionette) serta boneka sarung tangan (glove puppet). Salah satu boneka sarung tangan ini dikenal dengan nama “pouw tee hie”, sebuah istilah dalam dialek Hokkian (Fujian) atau dalam Bahasa Mandarin dikenal dengan istilah “budaixi”. Di Taiwan, bentuk serupa disebut sebagai “tjiang tiong hie” atau boneka telapak tangan. Bentuk inilah yang di Indonesia belakangan dikenal sebagai wayang potehi.

Tentang wayang potehi, David Kwa, seorang pemerhati budaya Tionghoa, menuliskan tentang bagaimana riwayat muasalnya. Menurut Kwa, sejarah wayang potehi diawali oleh Nio Peng Lin, seorang terpelajar di kota Quanzhou, pada paruh awal abad ke-17. Berulang kali gagal dalam ujian pegawai negeri, membuatnya berputar haluan, mencoba keberuntungan sebagai pembuat boneka sarung tangan, sekaligus melatih kepandaian untuk memainkannya. Tak sebatas membuat dan memainkan, dirintisnya pula serangkaian pertunjukan boneka, lengkap dengan musik dan nyanyian pengiringnya. Cerita rakyat dan cuplikan sejarah Tiongkok pun dikembangkan sebagai lakon yang ditampilkan dalam setiap pertunjukan.

Ketekunan Nio Peng Lin berbuah hasil. Penampilan unik berikut kisah-kisah menarik dari setiap pertunjukan bonekanya berhasil memikat hati setiap orang yang menyaksikan, hingga mendatangkan ketenaran yang meluas hingga seluruh pelosok Hokkian. Ia baru menyadari ramalan seorang tua yang pernah hadir dalam mimpinya dan menorehkan kata-kata "kong beng kui ciang siang" yang artinya "ketenaran dan kejayaan kembali ke telapak tangan". Sebuah isyarat yang sempat hanya dianggap sebagai bunga tidur dan diabaikannya, karena tetap saja tak membuatnya sukses menjadi pegawai negeri, belakangan disadarinya berbeda makna. Pertunjukan boneka pun menjadi mata pencaharian yang yang ditekuni hingga akhir hayatnya.

Sepeninggal Nio Peng Lin, pertunjukan boneka ini tetap lestari dan diwariskan secara turun-temurun sebagai bentuk penghormatan terhadap warisan leluhur. Seiring tradisi merantau warga Hokkian, seni pertunjukan ini pun turut menyebar luas, mengikuti arus migrasi menuju negeri-negeri di arah Laut Selatan (Lam-yang), seperti Taiwan, Malaysia dan Indonesia.

Di Indonesia, tak banyak catatan yang menjelaskan dengan lengkap bagaimana awal mula perkembangan wayang dari Negeri Tiongkok ini, meskipun naskah kuno seperti Nawaruci yang ditulis sekitar paruh pertama abad ke-14 sempat menyinggung adanya pertunjukan wayang Cina, sebagaimana tertulis; “Anggambuh, amancangah, allangkarn mwang awayang Cina”. Artinya, semasa dengan awal kemunculan di negeri asalnya pada awal abad ke-17, wayang potehi pun dengan segera menyebar hingga masuk ke wilayah Indonesia.

Agus Yuniarso untuk Kabare Magazine. Selanjutnya: Potehi Klasik Tersisa di Tanah Jawa (2).

Kisah Lestari Budaya Peranakan

Meski secara stereotip lebih dikenal sebagai 'pedagang', warga peranakan Tionghoa di penjuru Nusantara juga dikenal dengan akar budaya, tradisi serta citarasa seni yang kuat.
Copyright © Catatan Agus Yuniarso - Except where otherwise noted, content on this site is licensed under Creative Commons license.