468x60bannerad

Rabu, 15 November 2006

Titik Nol Kilometer Kota Jogja

Di mana lokasi titik nol kilometer Kota Jogja ? Sebagian orang akan langsung menjawab Tugu Pal Putih, yang menjadi simbol Kota Yogyakarta. Sebagian yang lain akan menjawab Keraton, karena inilah cikal bakal keberadaan Kota Jogja. Ada pula yang menyebut Alun-alun Utara, di antara 2 Pohon Beringin di tengahnya. Ada banyak kemungkinan jawaban. Lalu, di mana kira-kira tepatnya ? Secara keseluruhan, bisa dianggap posisi titik ini berada di lintasan dari Alun-alun Utara hingga Ngejaman di ujung selatan Malioboro. Tapi se-buah titik nol kilometer tidak mungkin berada pada kemungkinan yang terlalu lebar.

Sebuah papan peringatan resmi yang terpampang di depan bekas bangunan Senisono, ternyata bisa menjadi petunjuk dimana tepatnya titik nol kilometer itu berada. Titik paling sentral itu tentu berada di sekitar perempatan jalan di depannya, bukan pada tempat dimana papan peringatan itu berdiri. Sekitar tahun 70 hingga awal 80-an, di tengah perempatan ini masih terdapat sebuah air mancur kota. Dari sinilah kemungkinan nol kilometer berada dan menjadi titik pangkal yang dipakai untuk menarik garis jarak antara Kota Yogyakarta dengan kota atau wilayah lain.

Terlepas dari dimana tepatnya titik nol berada, kawasan antara Alun-alun Utara hingga Ngejaman yang berada di ujung selatan Malioboro merupakan kawasan khas yang menjadi pusaka budaya utama Kota Jogja. Meski keramaian kota telah melebar ke segala arah, kawasan ini tetap eksis dengan romantisme kultural-historis yang begitu khas. Struktur tata bangunan utama serta suasana keramaiannya tidak banyak berubah, setidaknya sejak jaman kolonial satu hingga dua abad yang lampau.

Di Kawasan Titik Nol Kilometer ini berdiri sejumlah bangunan tua bersejarah yang bukan hanya menjadi saksi perjalanan sejarah kota Jogja, namun juga menjadi bagian penting dari sejarah Republik Indonesia.

Kita mulai penjelajahan dari sisi paling utara. Di depan Gereja Protestan di sebelah utara Gedung Agung, berdiri sebuah jam kota atau stadsklok. Area di seputarnya yang dahulu bernama Jalan Margomulyo ini lazim disebut Nge-jaman. Jam ini didirikan tahun 1916, sebagai persembahan masyarakat Belan-da kepada pemerintahnya untuk memperingati satu abad kembalinya Peme-rintahan Kolonial Belanda dari Pemerintahan Inggris yang sempat berkuasa di Jawa pada awal abad ke-19. Namun prasasti kecil yang menunjukkan tulisan itu kini telah dihilangkan.

Bangunan yang mempunyai halaman paling luas di sepanjang ruas dari Kera-ton hingga Tugu kota Jogja adalah Istana Kepresidenan Gedung Agung. Ge-dung yang selesai dibangun pada tahun 1832 ini, dipakai sebagai tempat ting-gal para Residen dan Gubernur Belanda di Yogyakarta. Bangunan ini sempat rusak berat pada saat terjadinya gempa bumi besar pada tahun 1867. Pada jaman penjajahan Jepang menjadi kediaman resmi Koochi Zimmukyoku Tyookan, penguasa Jepang di Kota Jogja. Dari tahun 1946 hingga 1949, gedung ini menjadi tempat kediaman resmi Ir. Soekarno, Presiden Republik Indonesia pertama, pada saat Kota Jogja menjadi ibukota Republik Indonesia. Kini, Gedung Agung adalah salah satu Istana Presiden Republik Indonesia yang berada di luar kota Jakarta. Gedung Agung adalah bangunan yang sarat nilai sejarah, karena menjadi saksi berbagai peristiwa penting di Kota Jogja.

Benteng Vredeburg berada tepat di depan Gedung Agung. Bangunan yang menjadi markas tentara pada jaman kolonial Belanda ini, sekarang berfungsi sebagai museum dengan nama Museum Benteng Vredeburg. Benteng ini dibangun oleh Sultan Hamengku Buwono I pada tahun 1760 atas permintaan orang-orang Belanda. Bangunannya yang sederhana kemudian disem-purnakan pada tahun 1787 dan kemudian diberi nama Benteng Rustenburg yang artinya benteng peristirahatan. Bangunan ini juga sempat rusak berat pada saat terjadinya gempa bumi besar pada tahun 1867. Setelah dilakukan pembenahan, namanya kemudian diganti menjadi Benteng Vredeburg, yang berarti benteng perdamaian. Masyarakat Jogja tempo dulu menyebut benteng ini dengan nama Loji Gedhe, sementara barak-barak tentara di belakangnya disebut Loji Cilik. Gedung Agung yang berada tepat didepannya, karena memiliki taman yang luas, disebut sebagai Loji Kebon.

Di sisi timur Jalan Kyai Haji Ahmad Dahlan, dahulu berdiri sebuah toko bernama NV Toko Europe, yang menyediakan barang-barang impor untuk keperluan orang-orang Belanda. Setelah masa kemerdekaan, bekas bangunan toko ini dipergunakan oleh sejumlah kantor, diantaranya sebagai Kantor kementrian Penerangan, Kantor Persatuan Wartawan Indonesia, serta per-wakilan Kantor Berita Antara.

Di sebelah timurnya, dahulu berdiri Gedung Societet de Vereeniging atau Balai pertemuan yang dikenal masyarakat Jogja dengan nama Balai Mataram. Tempat ini merupakan tempat rekreasi orang-orang Belanda.Billyard adalah salah satu permainannya, sehingga gedung ini juga disebut Kamar Bola. Pada tahun 50-an, gedung ini digunakan sebagai bioskop rakyat dengan nama Senisono. Bioskop ini kemudian pindah ke salah satu sudut Alun-alun Utara dan berganti nama menjadi Soboharsono, yang saat ini telah berubah fungsi menjadi galeri seni. Hingga akhir tahun 80-an, Senisono menjadi pusat kegiat-an seni budaya di Kota Jogja. Bekas NV Toko Europe dan Gedung Senisono telah diputar dan saat ini menjadi bagian dari Istana Kepresidenan Gedung Agung.

Di sudut barat daya Benteng Vredeburg, berdiri sebuah monumen yang didi-rikan untuk mengenang peristiwa Serangan Umum yang dilancarkan para pejuang Republik Indonesia terhadap pendudukan Belanda pada pada tanggal 1 Maret 1949.

Bangunan bertingkat yang masih berdiri kokoh di sisi selatan jalan ini seka-rang dipergunakan sebagai Kantor Bank BNI. Pada jaman kolonial, gedung ini dipergunakan sebagai Kantor Asuransi Nill Maattschappij dan Kantor de Javasche Bank. Lantai bawah gedung ini, pada Jaman Jepang dipergunakan sebagai Kantor Radio Hoso Kyoku, Pada awal kemerdekaan studiodigunakan sebagai Studio Siaran radio Mataram yang dikenal dengan nama MAVRO.

Di sebelang timur Gedung Bank BNI, saat ini berdiri Kantor Pos Besar Yog-yakarta. Pada jaman Kolonial Belanda, fungsinya tidak jauh berbeda, yaitu sebagai kantor pos, telegraf dan telepon. Disebelah timur gedung ini berdiri Kantor Perwakilan Bank Indonesia. Dahulu dipergunakan sebagai kantor de Indische Bank.
Di depan bekas Gedung Senisono, saat ini terdapat sebuah monumen yang mengabadikan telapak tangan sejumlah tokoh Kota Jogja. Monumen yang diresmikan pada tahun 2003 ini dinamakan Monumen Tapak Prestasi Kota Yogyakarta.

Catatan: Artikel ini merupakan transkrip sebagian naskah video dokumenter berjudul “ Beginner’s Guide to Jogja “ (Sutradara: Agus Yuniarso; Produksi: Galeri Video Foundation, Yogyakarta, 2006; total durasi: 26 menit).

Selasa, 14 November 2006

Jeron Beteng, Kawasan Pusaka Budaya Kota Yogyakarta

Istilah Jeron Benteng biasa dipakai untuk menyebut kawasan di bagian dalam benteng yang mengelilingi Keraton Kasultanan Yogyakarta, yang menjadi situs pusaka budaya utama di Kota Jogja. Kawasan ini memiliki pola tata ruang yang khas, bangunan-bangunan bersejarah, serta pola tata nama yang masih lestari sejak pertama kali adanya sejak satu dua abad yang lampau.

Selain Keraton Kasultanan Yogyakarta yang sudah sangat termashur, apa yang menarik di kawasan Jeron Benteng ? Berbagai situs pusaka budaya dengan suasana menariknya dapat kita jumpai di kawasan Jeron Benteng. Yang paling menarik dan pantas dikunjungi pertama kali, sudah tentu adalah Pesanggrahan Tamansari.

Pesanggrahan Tamansari yang juga disebut watercastle adalah sebuah istana di atas air yang mulai dibangun oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I pada tahun 1758. Pada masa jayanya, Tamansari memiliki sekitar 57 bangunan, terdiri dari danau buatan, gedung, gapura, masjid, kolam, lorong, serta kebun-kebun yang ditanami bebuahan, bunga-bunga serta rempah-rempah. Meski sebagian besar bangunan sudah kehilangan wujudnya, namun sisa-sisa keindahan Tamansari masih bisa kita saksikan hingga hari ini.

Pasar Ngasem dapat kita jumpai hanya beberapa langkah dari Tamansari. Meski lebih dikenal sebagai pasar burung, Pasar Ngasem sebetulnya juga sebuah pasar yang menjual berbagai kebutuhan sehari-hari sebagaimana pasar tradisional pada umumnya.

Para pedagang pasar tradisional yang berdampingan langsung dengan para penjual burung, ikan hias dan berbagai binatang peliharaan, menciptakan keramaian khas yang hanya ada di Pasar Ngasem. Karena itulah pasar ini tidak pernah sepi dari pengunjung, sedari pagi hingga sore hari.

Alun-alun yang berada di sebelah selatan atau belakang Keraton ini, lazim disebut Alun-alun Kidul. Dahulu juga disebut dengan nama Alun-alun Pengkeran, yang artinya Alun-alun sebelah belakang. Pada jamannya, tempat ini menjadi ajang dimana para prajurit berlatih ketangkasan, ilmu beladiri atau menunggang kuda.

Ada sebuah kepercayaan, jika seseorang berhasil berjalan melintasi ruang diantara 2 Pohon Beringin dengan mata tertutup, maka keinginannya akan terkabulkan. Ini membuahkan atraksi khas di Alun-alun Kidul, yang dikenal dengan istilah Masangin.

Alun-alun Kidul tidak pernah sepi. Pada siang hari, sejumlah pedagang barang bekas atau klithikan berjajar menjajakan dagangannya. Setelah sore hari, alun-alun ini berubah menjadi arena olah raga. Pada saat yang sama, kebe-radaan kandhang gajah yang ada di sisi barat menjadi magnet bagi warga kota untuk menghabiskan waktu bersama anak-anaknya, dan menyulap tempat ini menjadi arena bermain bagi anak-anak. Malam hari pun suasana di Alun-alun Kidul tidak pernah sepi dengan sederetan pedagang lesehan yang menjajakan wedang ronde dan roti bakar.

Di seputar Jeron Benteng juga banyak jumpai sejumlah dalem, yaitu bangunan yang menjadi tempat tinggal para pangeran dan kerabat utama Sultan. Dalem-dalem itu biasanya diberi nama sesuai dengan nama bangsawan yang menempatinya.

Salah satunya adalah Dalem Kaneman yang dibangun pada tahun 1855 pada masa pemerintahan Sultan hamengku Buwono VII. Dalem yang berada di sebelah barat Tamansari ini, saat ini ditempati oleh Gusti Kanjeng Ratu Anom Brata, putri pertama Sultan Hamengku Buwono IX. Dalem ini sering digunakan untuk kegiatan seni tari klasik yang dikelola oleh Yayasan Among Beksa.

Tak seberapa jauh dari Dalem Kaneman terdapat Dalem Mangkubumen yang dibangun pada tahun 1865 oleh Sultan Hamengku Buwono VI sebagai tempat tinggal putra mahkota atau Pangeran Adipati Anom. Dalem ini sekarang dipergunakan sebagai kampus Universitas Widya Mataram.

Sementara Dalem Pakuningratan yang berada di sebelah timurnya, dibangun secara bertahap antara tahun1877 hingga 1921 pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VII. Dalem ini juga mencatat sejarah sebagai tempat kelahiran Gusti Raden Mas Daradjatoen, yang kemudian bertahta sebagai Sultan Hamengku Buwono IX. Tempat ini juga pernah dipergunakan sebagai Kampus Akademi Seni Drama dan Film atau ASDRAFI yang legendaris itu.

Sejumlah dalem lainnya tersebar di sejumlah tempat di Kawasan Jeron Benteng. Sebagian masih berfungsi sebagai tempat tinggal para bangsawan Keraton. Sementara sebagian yang lainnya telah berpindah tangan dan berganti fungsi.

Suasana dan keberadaan perkampungan di Kawasan Jeron Benteng, juga menjadi salah satu wujud pusaka budaya Kota Jogja. Nama-nama kampung itu biasanya diambil dari nama dan tugas para abdi dalem Keraton. Abdi dalem yang menjalankan tugas sehari-hari di lingkungan Keraton, umumnya memang tinggal di dalam lingkungan benteng, agar mereka dapat segera hadir pada saat tenaganya dibutuhkan.

Abdi dalem yang bertugas untuk mempersiapkan teh atau minuman misalnya, tinggal di sebelah selatan Tamansari yang dikenal sebagai Kampung Patehan. Sementara abdi dalem silir yang bertugas merawat dan membersihkan perabotan rumah tangga seperti mebel dan lampu-lampu Keraton ditempatkan di sebelah timur Alun-alun Kidul yang dikenal sebagai Kampung Siliran. Begitu pun para pemelihara kuda atau gamel serta para penabuh tambur, yang tinggal di Kampung Gamelan dan Kampung Namburan.

Disini juga terdapat kampung yang dahulu diperuntukkan bagi tempat tinggal sebagian prajurit Keraton, yaitu Kampung Langenastran dan Kampung Langenarjan.

Sumber: Naskah video dokumenter “ Beginner’s Guide to Jogja “ (Sutradara: Agus Yuniarso; Produksi: Galeri Video Foundation, Yogyakarta, 2006; total durasi: 26 menit).
Copyright © Catatan Agus Yuniarso - Except where otherwise noted, content on this site is licensed under Creative Commons license.