Kisah-kisah kebumian selalu menarik untuk dinikmati, terlebih jika menyangkut tempat-tempat dimana kita hidup dan berpijak. Awal Juni 2013 lalu, Kabare mencoba melakukan ‘one day field trip’ untuk memahami sebagian warisan kebumian di seputar Daerah Istimewa Yogyakarta.
Perjalanan ini dipandu oleh Dr. Ir. C. Prasetyadi, M.Sc., Pakar Geologi dari UPN Veteran Yogyakarta sekaligus pemrakarsa Geoheritage in Jogja Biennale XI yang terselenggara tahun 2011-2012 lalu.
Rute perjalanannya pun tak jauh berbeda, dari Jogja menuju Berbah, Prambanan, Bayat, Ngawen, Nglipar, Nglanggeran, Pathuk dan kembali ke Jogja, yang semua dari awal hingga akhir dapat ditempuh hanya dalam satu hari perjalanan.
Seolah menjelajahi lorong waktu menuju suasana 100 juta tahun yang lampau, ‘Geoheritage Trail’ ini mengantar kami menjelajahi alur kisah pembentukan Pulau Jawa yang penggalannya tersingkap lengkap, terkumpul di satu lintasan yang tidak saling berjauhan, di seputar Daerah Istimewa Yogyakarta.
Situs batuan beku yang berdampingan dengan endapan debu vulkanik pada tepian Kali Opak adalah tujuan pertama. Di kalangan ilmuwan, fenomena geologi yang berada di Desa Jogotirto, Kecamatan Berbah, Kabupaten Slemen ini dikenal dengan sebutan Lava Bantal Berbah. Menurut Prasetyadi, batuan ini disebut lava bantal (pillow lava) karena bentukan geometrinya yang menyerupai bantal.
“Lava bantal terbentuk dari lava hasil erupsi lelehan yang berkontak langsung dengan massa air, bisa di laut atau danau. Pembekuan yang berlangsung cepat menyebabkan mineral-mineralnya tak terbentuk dengan baik dan membentuk geometri serupa bantal,” paparnya.
Lava Bantal Berbah diperkirakan sebagai gejala erupsi lelehan yang telah berumur lebih dari 30 juta tahun dan ditengarai sebagai cikal bakal gunungapi di Pulau Jawa yang belakangan berkembang menjadi himpunan gunung api strato dengan erupsi eksplosif.
Di sepanjang pegunungan selatan Pulau Jawa, singkapan ini tergolong langka dan terbaik, sekaligus dapat dianggap sebagai representasi masa-masa awal pembentukan gunung api di Pulau Jawa.
Hanya dalam satu pandangan mata dari lokasi dimana lava bantal berada, tepat di seberang Kali Opak, dapat disaksikan fenomena lain berupa endapan debu vulkanik sangat tebal sebagai bukti adanya erupsi gunung api strato di masa silam. Fenomena ini menandai masa-masa kejayaan gunung api purba di Pulau Jawa, dalam kisaran waktu 36 juta tahun yang lalu.
Meski berdampingan, jeda peristiwa pembentukan kedua fenomena tersebut bisa mencapai ribuan bahkan jutaan tahun lamanya. Keberadaan Kali Opak yang membelahnya pun melengkapi tambahan wawasan di awal perjalanan ini, karena dimana tim ini berdiri tepat berada di atas Sesar Opak, salah satu patahan populer yang telah banyak dikenal masyarakat awam, terutama kaitannya dengan peristiwa gempa bumi di Jogja tahun 2006.
Bergeser ke arah timur, perjalanan berlanjut menuju Perbukitan Ijo yang termasuk wilayah Desa Sambirejo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, sekitar 20 menit perjalanan dari situs Lava Bantal Berbah.
Tak jauh dari bangunan Candi Ijo, pada sebuah lahan terbuka penambangan batu putih, tergelar fenomena geologis berupa singkapan batuan endapan abu vulkanik dari gunung api purba yang berumur antara 20 hingga 30 juta tahun, dengan ketebalan lebih dari 50 meter. Ditemukannya batuapung yang berbutir kasar pada bagian bawah membuktikan dengan kuat adanya letusan gunung api yang sangat eksplosif di masa lalu.
Singkapan serupa awalnya dikenali di Desa Semilir, Kecamatan Pathuk, Kabupaten Gunung Kidul. Di Semilir, singkapannya jauh lebih tebal dan dianggap terbaik, sehingga kalangan geologi mengidentifikasikannya dengan sebutan Formasi Semilir.
Berdasarkan urutan pelapisannya, formasi ini berada di atas Lava Bantal Berbah. Persebarannya dapat dijumpai pada perbukitan di seputar Parangtritis hingga Wonogiri dengan ketebalan antara 300 hingga 600 meter.
“Dari luasnya distribusi dan ketebalannya, terindikasi bahwa formasi ini dihasilkan oleh rangkaian peristiwa erupsi sangat besar sekitar 20 juta tahun lalu, yang kemungkinan tidak kalah dahsyat dengan letusan Toba Volcano,” ungkap Prasetyadi. Karenanya, formasi ini disebut sebagai hasil super-eruption dari Semilir Volcano, sekaligus menjadi bukti otentik puncak kejayaan gunung api purba di pulau Jawa.
Dari kawasan Bukit Ijo, perjalanan berlanjut ‘menyeberang’ ke wilayah Provinsi Jawa Tengah, tepatnya di sisi barat Perbukitan Jiwo di Desa Jiwo Kulon, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, yang ditempuh dalam waktu sekitar 30 menit.
Disini, di halaman belakang salah satu rumah penduduk, dijumpai fenomena berupa singkapan batuan tua yang diyakini berasal dari masa sebelum kejayaan gunung api purba sekitar 40-50 juta tahun yang lalu. Dikenal dengan istilah konglomerat kuarsa, batuan ini tersusun dari sekumpulan batu membundar yang didominasi oleh kuarsa berwarna putih dan diselingi oleh sekumpulan malihan batuan endapan berjenis sekis, sabak, batulempung, serta sedikit rijang.
“Komposisi bebatuan ini mengindikasikan sumber asalnya bukanlah material vulkanik, melainkan dari batuan asal yang lebih tua yang tererosi menjadi butiran-butiran dan diendapkan oleh sungai purba dalam bentuk konglomerat yang membundar,” demikian Pasetyadi menjelaskan.
Karena secara umum material pembentuknya terdiri dari batuan metamorf atau malihan yang merupakan batuan tertua, maka konglomerat ini dianggap sebagai batuan endapan tertua yang menunjukkan bahwa pada saat pembentukannya belum ada kegiatan vulkanisme.
Melangkah ke sisi timur Perbukitan Jiwo, tepatnya di Desa Watu Prahu, dapat dijumpai salah satu situs batuan tertua di Pulau jawa, yaitu batuan metamorf yang disebut filit yang diperkirakan berumur lebih dari 90 juta tahun dan dianggap sebagai bukti masa-masa awal pembentukan Pulau Jawa. Di dalam filit ini juga banyak dijumpai “urat” kuarsa berwarna putih yang mendominasi batuan konglomerat kuarsa yang dijumpai di Desa Jiwo Kulon.
Menurut penanggalannya, batuan metamorf ini diperkirakan telah berumur sekitar 100 juta tahun. Biasanya, batuan semacam ini terletak jauh hingga mencapai 3.000 meter di kedalaman bumi yang umumnya mengalasi bebatuan endapan yang berada di atasnya, sehingga juga disebut sebagai batuan dasar (basement rock).
Di situs Watu Prahu ini juga dijumpai batugamping nummulites yang tersusun dari kumpulan fosil binatang laut jenis foraminifera berbentuk koin, yang menjadi penunjuk Kala Eosen, sekitar 40 juta tahun yang lalu. Bersama-sama dengan konglomerat, batupasir kuarsa, dan batulempung, batugamping ini menumpang secara tidak selaras di atas batuan dasar yang terdiri dari batuan metamorf filit seperti yang diamati di lokasi sebelumnya.
Dari kawasan Bayat, setelah diselingi istirahat sekitar satu jam, perjalanan berlanjut menuju Gunung Kidul, kembali ke wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Bentang alam di Perbukitan Tancep di Kecamatan Ngawen, menjadi stop-site berikutnya.
Sapuan pandangan ke arah utara dari atas perbukitan ini menampakkan bentang alam dari keseluruhan daerah yang dilalui dalam ‘Geoheritage Trail’ ini, mulai dari bentang alam berlatar Gunung Merapi, Perbukitan Baturagung yang menjadi tempat ditemukannya Formasi Semilir dan Formasi Nglanggeran, serta bentang alam Perbukitan Jiwo yang menyimpan bukti batuan tertua di Pulau Jawa.
Titik ini juga menjadi batas perjalanan ke arah selatan yang memiliki riwayat kebumian yang lebih muda yang dikenal dengan periode Post-OAF (Post-Old Andesite Formation) dan ke arah utara yang memilki riwayat kebumian relatif lebih tua, sedari periode pra gunung api hingga periode gunung api purba (Post-Old Andesite Formation).
Sendainya di titik ini didirikan semacam gardu pandang, maka setiap layangan pandang ke segala arah akan menampilkan bentang alam yang menunjukkan rentang dimensi waktu dari 100 juta tahun yang lalu hingga hari ini. Sungguh sebuah fenomena langka dan istimewa.
Dari kawasan Tancep, perjalanan berlanjut menuju Gunung Api Purba Nglanggeran, sembari menyempatkan singgah sebentar di dua tempat, Nglipar dan Kali Ngalang. Tak jauh dari tepi Jalan Raya Nglipar, dapat disaksikan tampakan dari morfologi karst Formasi Wonosari yang menjadi bukti dari zaman keemasan kehidupan biota laut pada kisaran 16,2 tahun yang lampau.
“Jika kita ingin beranalogi, daerah Yogyakarta di masa dahulu bisa diibaratkan sama seperti The Great Barrier Reef di lautan Australia di masa sekarang ini. Kemunculan besar-besaran kehidupan biota laut di sini menunjukkan bahwa pada masa itu kegiatan gunungapi mengalami penurunan dan bahkan tidak aktif,” demikian Prasetyadi memaparkan.
Sementara di seputar aliran Kali Ngalang, dijumpai kelompok batuan yang dikenal dengan istilah Formasi Sambipitu. Dalam formasi ini ditemukan hasil endapan rombakan batuan gamping terumbu atau material lainnya yang berasal dari masa 16,2 hingga 5,2 juta tahun lampau yang masih masuk dalam sistem laut terbuka.
Disini juga dapat dijumpai sisa-sisa aktifitas kehidupan dasar perairan laut dangkal, dalam bentuk jejak rumah-rumahnya di dalam batu yang dikenal dengan istilah Bioturbasi.
Selain itu dijumpai pula fragmen-fragmen batuan andesit dari formasi yang lebih tua seperti Formasi Nglanggran yang identik dengan gunung api strato purba. “Jadi bisa disimpulkan bahwa pada saat terjadinya pengendapan batugamping pasiran Formasi Sambipitu ini, kegiatan Gunung Api Purba Nglanggeran sudah tidak aktif lagi,” tutur Prasetyahadi.
Setelah melintasi sekian banyak situs geologi yang begitu menarik, di saat matahari telah lenggser ke arah barat, perjalanan mencapai ujungnya di situs Gunung Api Purba Nglanggeran di Kecamatan Pathuk, Kabupaten Gunung Kidul.
Inilah salah satu bukti adanya aktifitas vulkanisme yang terjadi di Pulau Jawa sekitar 36 juta tahun yang lalu. Batuan yang terdapat di situs ini teridentifikasi sebagai lontaran hasil erupsi gunung api purba. Jika dilihat dari ukuran dan luas batuannya, isa dibayangkan betapa dahsyatnya peristiwa erupsi yang terjadi kala itu.
Jika Formasi Semilir yang didominasi oleh abu vulkanik dan batuapung menunjukkan peristiwa erupsi eksplosif yang bersifat katastrofis, maka Gunung Api Purba Nglanggeran dapat dianalogikan dengan gunung api strato yang mirip dengan Gunung Anak Krakatau saat ini.
“Formasi Semilir mirip dengan pembentukan kaldera yang ditimbulkan oleh dahsyatnya erupsi gunung Krakatau, sementara Formasi Nglanggeran mirip dengan gunung api strato dari Gunung Anak Krakatau yang tumbuh di atas Krakatau Lama,” pungkas Prasetyadi.
Sumber: Kabare Magazine edisi Juli 2013 (Teks: Agus Yuniarso, Efah Herru, Veronica Sekar; Foto: Budi Prast).
Perjalanan ini dipandu oleh Dr. Ir. C. Prasetyadi, M.Sc., Pakar Geologi dari UPN Veteran Yogyakarta sekaligus pemrakarsa Geoheritage in Jogja Biennale XI yang terselenggara tahun 2011-2012 lalu.
Rute perjalanannya pun tak jauh berbeda, dari Jogja menuju Berbah, Prambanan, Bayat, Ngawen, Nglipar, Nglanggeran, Pathuk dan kembali ke Jogja, yang semua dari awal hingga akhir dapat ditempuh hanya dalam satu hari perjalanan.
Seolah menjelajahi lorong waktu menuju suasana 100 juta tahun yang lampau, ‘Geoheritage Trail’ ini mengantar kami menjelajahi alur kisah pembentukan Pulau Jawa yang penggalannya tersingkap lengkap, terkumpul di satu lintasan yang tidak saling berjauhan, di seputar Daerah Istimewa Yogyakarta.
Situs batuan beku yang berdampingan dengan endapan debu vulkanik pada tepian Kali Opak adalah tujuan pertama. Di kalangan ilmuwan, fenomena geologi yang berada di Desa Jogotirto, Kecamatan Berbah, Kabupaten Slemen ini dikenal dengan sebutan Lava Bantal Berbah. Menurut Prasetyadi, batuan ini disebut lava bantal (pillow lava) karena bentukan geometrinya yang menyerupai bantal.
“Lava bantal terbentuk dari lava hasil erupsi lelehan yang berkontak langsung dengan massa air, bisa di laut atau danau. Pembekuan yang berlangsung cepat menyebabkan mineral-mineralnya tak terbentuk dengan baik dan membentuk geometri serupa bantal,” paparnya.
Lava Bantal Berbah diperkirakan sebagai gejala erupsi lelehan yang telah berumur lebih dari 30 juta tahun dan ditengarai sebagai cikal bakal gunungapi di Pulau Jawa yang belakangan berkembang menjadi himpunan gunung api strato dengan erupsi eksplosif.
Di sepanjang pegunungan selatan Pulau Jawa, singkapan ini tergolong langka dan terbaik, sekaligus dapat dianggap sebagai representasi masa-masa awal pembentukan gunung api di Pulau Jawa.
Hanya dalam satu pandangan mata dari lokasi dimana lava bantal berada, tepat di seberang Kali Opak, dapat disaksikan fenomena lain berupa endapan debu vulkanik sangat tebal sebagai bukti adanya erupsi gunung api strato di masa silam. Fenomena ini menandai masa-masa kejayaan gunung api purba di Pulau Jawa, dalam kisaran waktu 36 juta tahun yang lalu.
Meski berdampingan, jeda peristiwa pembentukan kedua fenomena tersebut bisa mencapai ribuan bahkan jutaan tahun lamanya. Keberadaan Kali Opak yang membelahnya pun melengkapi tambahan wawasan di awal perjalanan ini, karena dimana tim ini berdiri tepat berada di atas Sesar Opak, salah satu patahan populer yang telah banyak dikenal masyarakat awam, terutama kaitannya dengan peristiwa gempa bumi di Jogja tahun 2006.
Bergeser ke arah timur, perjalanan berlanjut menuju Perbukitan Ijo yang termasuk wilayah Desa Sambirejo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, sekitar 20 menit perjalanan dari situs Lava Bantal Berbah.
Tak jauh dari bangunan Candi Ijo, pada sebuah lahan terbuka penambangan batu putih, tergelar fenomena geologis berupa singkapan batuan endapan abu vulkanik dari gunung api purba yang berumur antara 20 hingga 30 juta tahun, dengan ketebalan lebih dari 50 meter. Ditemukannya batuapung yang berbutir kasar pada bagian bawah membuktikan dengan kuat adanya letusan gunung api yang sangat eksplosif di masa lalu.
Singkapan serupa awalnya dikenali di Desa Semilir, Kecamatan Pathuk, Kabupaten Gunung Kidul. Di Semilir, singkapannya jauh lebih tebal dan dianggap terbaik, sehingga kalangan geologi mengidentifikasikannya dengan sebutan Formasi Semilir.
Berdasarkan urutan pelapisannya, formasi ini berada di atas Lava Bantal Berbah. Persebarannya dapat dijumpai pada perbukitan di seputar Parangtritis hingga Wonogiri dengan ketebalan antara 300 hingga 600 meter.
“Dari luasnya distribusi dan ketebalannya, terindikasi bahwa formasi ini dihasilkan oleh rangkaian peristiwa erupsi sangat besar sekitar 20 juta tahun lalu, yang kemungkinan tidak kalah dahsyat dengan letusan Toba Volcano,” ungkap Prasetyadi. Karenanya, formasi ini disebut sebagai hasil super-eruption dari Semilir Volcano, sekaligus menjadi bukti otentik puncak kejayaan gunung api purba di pulau Jawa.
Dari kawasan Bukit Ijo, perjalanan berlanjut ‘menyeberang’ ke wilayah Provinsi Jawa Tengah, tepatnya di sisi barat Perbukitan Jiwo di Desa Jiwo Kulon, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, yang ditempuh dalam waktu sekitar 30 menit.
Disini, di halaman belakang salah satu rumah penduduk, dijumpai fenomena berupa singkapan batuan tua yang diyakini berasal dari masa sebelum kejayaan gunung api purba sekitar 40-50 juta tahun yang lalu. Dikenal dengan istilah konglomerat kuarsa, batuan ini tersusun dari sekumpulan batu membundar yang didominasi oleh kuarsa berwarna putih dan diselingi oleh sekumpulan malihan batuan endapan berjenis sekis, sabak, batulempung, serta sedikit rijang.
“Komposisi bebatuan ini mengindikasikan sumber asalnya bukanlah material vulkanik, melainkan dari batuan asal yang lebih tua yang tererosi menjadi butiran-butiran dan diendapkan oleh sungai purba dalam bentuk konglomerat yang membundar,” demikian Pasetyadi menjelaskan.
Karena secara umum material pembentuknya terdiri dari batuan metamorf atau malihan yang merupakan batuan tertua, maka konglomerat ini dianggap sebagai batuan endapan tertua yang menunjukkan bahwa pada saat pembentukannya belum ada kegiatan vulkanisme.
Melangkah ke sisi timur Perbukitan Jiwo, tepatnya di Desa Watu Prahu, dapat dijumpai salah satu situs batuan tertua di Pulau jawa, yaitu batuan metamorf yang disebut filit yang diperkirakan berumur lebih dari 90 juta tahun dan dianggap sebagai bukti masa-masa awal pembentukan Pulau Jawa. Di dalam filit ini juga banyak dijumpai “urat” kuarsa berwarna putih yang mendominasi batuan konglomerat kuarsa yang dijumpai di Desa Jiwo Kulon.
Menurut penanggalannya, batuan metamorf ini diperkirakan telah berumur sekitar 100 juta tahun. Biasanya, batuan semacam ini terletak jauh hingga mencapai 3.000 meter di kedalaman bumi yang umumnya mengalasi bebatuan endapan yang berada di atasnya, sehingga juga disebut sebagai batuan dasar (basement rock).
Di situs Watu Prahu ini juga dijumpai batugamping nummulites yang tersusun dari kumpulan fosil binatang laut jenis foraminifera berbentuk koin, yang menjadi penunjuk Kala Eosen, sekitar 40 juta tahun yang lalu. Bersama-sama dengan konglomerat, batupasir kuarsa, dan batulempung, batugamping ini menumpang secara tidak selaras di atas batuan dasar yang terdiri dari batuan metamorf filit seperti yang diamati di lokasi sebelumnya.
Dari kawasan Bayat, setelah diselingi istirahat sekitar satu jam, perjalanan berlanjut menuju Gunung Kidul, kembali ke wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Bentang alam di Perbukitan Tancep di Kecamatan Ngawen, menjadi stop-site berikutnya.
Sapuan pandangan ke arah utara dari atas perbukitan ini menampakkan bentang alam dari keseluruhan daerah yang dilalui dalam ‘Geoheritage Trail’ ini, mulai dari bentang alam berlatar Gunung Merapi, Perbukitan Baturagung yang menjadi tempat ditemukannya Formasi Semilir dan Formasi Nglanggeran, serta bentang alam Perbukitan Jiwo yang menyimpan bukti batuan tertua di Pulau Jawa.
Titik ini juga menjadi batas perjalanan ke arah selatan yang memiliki riwayat kebumian yang lebih muda yang dikenal dengan periode Post-OAF (Post-Old Andesite Formation) dan ke arah utara yang memilki riwayat kebumian relatif lebih tua, sedari periode pra gunung api hingga periode gunung api purba (Post-Old Andesite Formation).
Sendainya di titik ini didirikan semacam gardu pandang, maka setiap layangan pandang ke segala arah akan menampilkan bentang alam yang menunjukkan rentang dimensi waktu dari 100 juta tahun yang lalu hingga hari ini. Sungguh sebuah fenomena langka dan istimewa.
Dari kawasan Tancep, perjalanan berlanjut menuju Gunung Api Purba Nglanggeran, sembari menyempatkan singgah sebentar di dua tempat, Nglipar dan Kali Ngalang. Tak jauh dari tepi Jalan Raya Nglipar, dapat disaksikan tampakan dari morfologi karst Formasi Wonosari yang menjadi bukti dari zaman keemasan kehidupan biota laut pada kisaran 16,2 tahun yang lampau.
“Jika kita ingin beranalogi, daerah Yogyakarta di masa dahulu bisa diibaratkan sama seperti The Great Barrier Reef di lautan Australia di masa sekarang ini. Kemunculan besar-besaran kehidupan biota laut di sini menunjukkan bahwa pada masa itu kegiatan gunungapi mengalami penurunan dan bahkan tidak aktif,” demikian Prasetyadi memaparkan.
Sementara di seputar aliran Kali Ngalang, dijumpai kelompok batuan yang dikenal dengan istilah Formasi Sambipitu. Dalam formasi ini ditemukan hasil endapan rombakan batuan gamping terumbu atau material lainnya yang berasal dari masa 16,2 hingga 5,2 juta tahun lampau yang masih masuk dalam sistem laut terbuka.
Disini juga dapat dijumpai sisa-sisa aktifitas kehidupan dasar perairan laut dangkal, dalam bentuk jejak rumah-rumahnya di dalam batu yang dikenal dengan istilah Bioturbasi.
Selain itu dijumpai pula fragmen-fragmen batuan andesit dari formasi yang lebih tua seperti Formasi Nglanggran yang identik dengan gunung api strato purba. “Jadi bisa disimpulkan bahwa pada saat terjadinya pengendapan batugamping pasiran Formasi Sambipitu ini, kegiatan Gunung Api Purba Nglanggeran sudah tidak aktif lagi,” tutur Prasetyahadi.
Setelah melintasi sekian banyak situs geologi yang begitu menarik, di saat matahari telah lenggser ke arah barat, perjalanan mencapai ujungnya di situs Gunung Api Purba Nglanggeran di Kecamatan Pathuk, Kabupaten Gunung Kidul.
Inilah salah satu bukti adanya aktifitas vulkanisme yang terjadi di Pulau Jawa sekitar 36 juta tahun yang lalu. Batuan yang terdapat di situs ini teridentifikasi sebagai lontaran hasil erupsi gunung api purba. Jika dilihat dari ukuran dan luas batuannya, isa dibayangkan betapa dahsyatnya peristiwa erupsi yang terjadi kala itu.
Jika Formasi Semilir yang didominasi oleh abu vulkanik dan batuapung menunjukkan peristiwa erupsi eksplosif yang bersifat katastrofis, maka Gunung Api Purba Nglanggeran dapat dianalogikan dengan gunung api strato yang mirip dengan Gunung Anak Krakatau saat ini.
“Formasi Semilir mirip dengan pembentukan kaldera yang ditimbulkan oleh dahsyatnya erupsi gunung Krakatau, sementara Formasi Nglanggeran mirip dengan gunung api strato dari Gunung Anak Krakatau yang tumbuh di atas Krakatau Lama,” pungkas Prasetyadi.
Sumber: Kabare Magazine edisi Juli 2013 (Teks: Agus Yuniarso, Efah Herru, Veronica Sekar; Foto: Budi Prast).