Senin, 03 November 2014

 
 Siapa tak kenal Alfred Hitchcock. Di Indonesia, mereka yang beranjak dewasa di tahun 80-an mengenal tokoh tambun dengan silhouette yang nyaris tanpa leher ini lewat Trio Detektif, seri novel detektif remaja yang diterbitkan oleh Penerbit Gramedia, Jakarta. Bacaan populer yang memiliki judul asli Alfred Hitchcock and the Three Investigators ini terdiri dari 43 judul yang karya aslinya diedarkan antara tahun 1964 hingga 1987.

Meski mencantumkan namanya, namun sesungguhnya tak satupun buku dalam seri ini yang ditulis sendiri oleh Alfred Hitchcock. Seri ini awalnya ditulis oleh Robert Arthur, Jr. yang menulis buku ke-1 sampai ke-9 serta buku ke-11. Random House, penerbitnya, ini sengaja membayar dan mencantumkan nama Alfred Hitchcock yang identik dengan kisah-kisah misteri sebagai judul seri ini untuk menarik perhatian pembacanya.

Popularitas seri Trio Detektif hanya secuil dari ketenaran sang maestro kisah-kisah misteri yang dijuluki “Master of Suspense” ini. Tokoh bernama lengkap Sir Alfred Joseph Hitchcock yang lahir di Leytonstone, London, 13 Agustus 1899 ini, dikenal sebagai sutradara film-film thriller, sebuah genre yang meracik unsur ketegangan sebagai elemen utamanya, baik selama berkarya di tanah kelahirannya, maupun setelah hijrah ke Amerika Serikat pada usia 40 tahun (1939).

Sejak meninggal di Bel Air, Los Angeles, 29 April 1980 dan berlanjut hingga hari ini, Hitchcock diakui sebagai salah satu sutradara kisah misteri terbaik dan paling populer sepanjang sejarah perfilman dunia. Namanya ada dibalik sejumlah thriller terbesar sepanjang masa, seperti The Birds (1963) dan Psycho (1960).

Dengan lebih dari 50 film layar lebar bertema misteri sepanjang enam dekade kariernya, kreatifitas dan inovasi Hitchcock telah mempengaruhi begitu banyak pekerja film di dunia. Tak sebatas film, nama dan karyanya pun tersebar di sejumlah program televisi, radio, serta buku. Bahkan, begitu identiknya dengan kisah-kisah misteri, sebait namanya pun sudah layak untuk dijual, sebagaimana tercantum di seri Trio Detektif.

Sejarah perbioskopan modern boleh jadi tak akan menarik tanpa kehadirannya. Kepiawaian Hitchcock adalah menyusun kisah misteri yang mendebarkan di seputar peristiwa kriminal, dibumbui dengan ketegangan dan permainan plot serta distribusi informasi penting, sehingga mampu mempermainkan sekaligus melibatkan emosi penonton. Bingkai adegan disusun sedemikian rupa untuk memaksimalkan nuansa kecemasan, ketakutan, kengerian, hingga rasa empati yang menghinggapi menonton.

Kekuatan cerita ini didukung dengan teknik sinematografinya yang khas dan sangat inovatif. Salah satunya adalah ketika Hitchcock mempelopori penggunaan ambilan gambar dengan teknik point of view, dimana kamera bergerak bebas mewakili pandangan mata salah satu tokoh dalam cerita, hingga penonton dipaksa terlibat dalam suatu adegan seolah dengan gaya voyeurisme.

Hitchcock juga dikenal sangat perfect dalam berkarya. Tanpa menghiraukan seberapa mahal biaya pembuatannya, ia begitu peduli untuk melindungi dan menyimpan sendiri film-filmnya hingga ia benar-benar yakin bahwa karya-karyanya itu dinikmati dengan cara menonton yang benar.

Ini terjadi ketika Hitchcock membeli sendiri hak edar lima dari film-filmnya yang paling terkenal, yaitu: The Man Who Knew Too Much (1956), Rear Window (1954), Rope (1948), The Trouble with Harry (1955) dan Vertigo (1958). Akibatnya, kelima film tersebut tidak dapat diputar di bioskop sejak pemutaran perdananya dan baru dapat dinikmati para penggemarnya selang 30-an tahun kemudian.

Dibalik karakter dan penampilan eksentrik serta karya-karyanya yang begitu menarik, Alfred Hitchcock ternyata menyembunyikan kisah pribadi yang unik. Salah satunya adalah soal rasa takut.

Tak perlu berkecil hati jika anda merasa tak punya nyali untuk sendirian menonton karya-karya Hitchcock yang penuh ketegangan dan aroma kematian. Anda tidak sendiri, karena Hitchcock pun tak bisa memaksakan dirinya untuk menonton film karyanya sendiri. “I’m frightened of my own movies. I never go to see them. I don’t know how people can bear to watch my movies,” kata Hitchcock dalam suatu wawancara di tahun 1963.

Ketika sang pewawancara menyebut rasa takut akan karyanya sendiri sebagai hal yang tidak logis, Hitchcock pun setuju sambil berujar, “But what is logic? There’s nothing more stupid than logic.”

Teks: Agus Yuniarso untuk Kabare Magazine.

This post have 0 Comment


EmoticonEmoticon

Next article Next Post
Previous article Previous Post

Advertisement

Subscribe
Boleh Juga Inc.