“Sepasang mata bola, dari balik jendela. Telah memandang beta, di Stasiun Jogja …”
Jauh sebelum Katon Bagaskara mendendangkan lagu “Yogyakarta” yang indah itu, Ismail Marzuki telah menyinggung romantisme Jogja dalam “Sepasang Mata Bola”, salah satu lagu legendaris buah karyanya di tahun 1946. Ikatan emosional dengan kota yang memiliki beragam atribut ini, menghinggapi hampir setiap orang yang pernah tinggal, atau setidaknya pernah singgah disini.
Jika para seniman mengabadikan kenangan berkesan dalam buah karya yang indah, orang kebanyakan bisa mewujudkannya dengan beragam cara dan gayanya sendiri-sendiri. Dan cara yang paling sederhana namun sempurna adalah datang kembali ke kota ini.
Romantisme Kota Jogja memang seolah tak bertepi. Dan karenanya, orang datang, pergi dan datang kembali. Ada kalanya dan acapkali terjadi, mereka datang sebagai orang biasa dan datang kembali dalam keadaan yang tak lagi biasa, datang dengan keadaan dan pengidupan yang lebih baik.
Berbekal sejumput ilmu dan pengalaman hidup penuh harmoni, mereka melanglang buana dan mendulang sukses, setidaknya meraih kemapanan dalam ukurannya masing-masing.
Tanpa harus menunggu datangnya puncak kemapanan, romantisme itu selalu memanggil untuk datang dan datang lagi ke Jogja. Sebagai kota nostalgia, Jogja menimang siapa saja untuk menggali dan menikmati pengalaman di masa lalu, sekaligus menciptakan pengalaman-pengalaman baru yang akan menjadi nostalgia di masa depan.
Pada gerbang-gerbang masuk kota ini, terekam dengan baik potret yang menggambarkan betapa orang lalu lalang dan keluar masuk tanpa pernah berhenti. Kesibukan ini tampak semakin nyata di penghujung pekan atau di bulan-bulan dengan hari libur panjang, khususnya di masa liburan sekolah.
Bisa dimaklumi jika Bandar Udara Internasional AdisutjiptoYogyakarta kemudian menempatkan diri sebagai bandar udara tersibuk ke-3 di Pulau Jawa, setelah Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta Jakarta dan Bandar Udara Internasional Juanda Surabaya. Rute domestik dan internasional yang dimilikinya nyaris tak pernah sepi dari penumpang. Kapasitasnya yang semakin terbatas bahkan menuntut dibangunnya sebuah bandara internasional baru, yang rencana tak lama lagi akan dibangun di wilayah Kabupaten Kulon Progo.
Pemandangan tak jauh berbeda terlihat di Stasiun Tugu Yogyakarta, stasiun kereta api yang begitu legendaris, hingga dicatat oleh Ismail Marzuki dalam lagunya lebih dari setengah abad yang lalu. Bersama Stasiun Lempuyangan di sebelah timurnya, stasiun ini menjadi gerbang masuk yang menjadi saksi bisu datang dan perginya setiap orang dari dan menuju Jogja selama lebih dari seabad lamanya. Dari orang penting hingga orang biasa, serta orang biasa yang kelak di kemudian hari tampil menjadi orang penting di negeri ini.
Kesibukan naik dan turunnya penumpang di kedua stasiun ini terbaca dari jumlah kereta api yang melintasinya. Dari total sekitar 65 rangkaian kereta api yang ada di Indonesia, lebih dari 25 diantaranya datang, berangkat dan melintas di Stasiun Tugu dan Stasiun Lempuyangan Yogyakarta.
Berbeda dengan kota-kota lain di Indonesia, Yogyakarta dikunjungi untuk berbagai keperluan sekaligus. Dari wisata, pendidikan, pemerintahan, bisnis, hingga berbagai kepentingan yang jauh lebih personal seperti keluarga dan nostalgia. Karenanya, kesibukan kota ini menjadi begitu khas sebagai bauran dari berbagai kepentingan yang jarang bisa dijumpai di kota-kota besar lainnya. Perkembangan kota pun langsung maupun tidak langsung dipengaruhi oleh persilangan kepentingan dan kebutuhan hidup yang beraneka warna.
Properti adalah salah satu sektor yang “diuntungkan” dengan perkembangan Kota Yogyakarta. Dalam dekade terakhir, sektor ini marak bertumbuh mengiringi perkembangan kota dengan kebutuhannya yang semakin beragam. Investasi di bidang properti pun menjadi peluang emas yang semakin populer, baik di sisi konsumen maupun para pengembangnya.
Di sisi konsumen, Jogja menjadi pilihan investasi yang semakin menarik. Tawaran suasana aman, nyaman, toleran dan biaya hidup murah umumnya menjadi alasan utama, disamping lokasinya yang strategis sehingga bisa bepergian ke mana saja di seluruh Indonesia dengan biaya murah.
Bagi sebagian konsumen, kepemilikan properti di Jogja juga menjadi tabungan dengan nilai ekonomi yang tak pernah menyusut, sebelumnya akhirnya menjadi “rumah masa depan” tempat berlabuh di kemudian hari. Pengembang pun menangkap dengan jeli trend kebutuhan konsumen dan potensi bisnis yang sangat menggiurkan ini. Perumahan mewah, apartemen, kondotel hingga pusat belanja dan hotel-hotel baru pun bermunculan bagai cendawan di musim hujan.
Ketika begitu banyak yang mulai kembali ke Jogja, semoga romantisme kota ini tetap terjaga lestari. Sanjungan syahdu dari para seniman pun semoga menjadi tembang abadi, bukan sekedar menjadi tembang kenangan.
Jauh sebelum Katon Bagaskara mendendangkan lagu “Yogyakarta” yang indah itu, Ismail Marzuki telah menyinggung romantisme Jogja dalam “Sepasang Mata Bola”, salah satu lagu legendaris buah karyanya di tahun 1946. Ikatan emosional dengan kota yang memiliki beragam atribut ini, menghinggapi hampir setiap orang yang pernah tinggal, atau setidaknya pernah singgah disini.
Jika para seniman mengabadikan kenangan berkesan dalam buah karya yang indah, orang kebanyakan bisa mewujudkannya dengan beragam cara dan gayanya sendiri-sendiri. Dan cara yang paling sederhana namun sempurna adalah datang kembali ke kota ini.
Romantisme Kota Jogja memang seolah tak bertepi. Dan karenanya, orang datang, pergi dan datang kembali. Ada kalanya dan acapkali terjadi, mereka datang sebagai orang biasa dan datang kembali dalam keadaan yang tak lagi biasa, datang dengan keadaan dan pengidupan yang lebih baik.
Berbekal sejumput ilmu dan pengalaman hidup penuh harmoni, mereka melanglang buana dan mendulang sukses, setidaknya meraih kemapanan dalam ukurannya masing-masing.
Tanpa harus menunggu datangnya puncak kemapanan, romantisme itu selalu memanggil untuk datang dan datang lagi ke Jogja. Sebagai kota nostalgia, Jogja menimang siapa saja untuk menggali dan menikmati pengalaman di masa lalu, sekaligus menciptakan pengalaman-pengalaman baru yang akan menjadi nostalgia di masa depan.
Pada gerbang-gerbang masuk kota ini, terekam dengan baik potret yang menggambarkan betapa orang lalu lalang dan keluar masuk tanpa pernah berhenti. Kesibukan ini tampak semakin nyata di penghujung pekan atau di bulan-bulan dengan hari libur panjang, khususnya di masa liburan sekolah.
Bisa dimaklumi jika Bandar Udara Internasional AdisutjiptoYogyakarta kemudian menempatkan diri sebagai bandar udara tersibuk ke-3 di Pulau Jawa, setelah Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta Jakarta dan Bandar Udara Internasional Juanda Surabaya. Rute domestik dan internasional yang dimilikinya nyaris tak pernah sepi dari penumpang. Kapasitasnya yang semakin terbatas bahkan menuntut dibangunnya sebuah bandara internasional baru, yang rencana tak lama lagi akan dibangun di wilayah Kabupaten Kulon Progo.
Pemandangan tak jauh berbeda terlihat di Stasiun Tugu Yogyakarta, stasiun kereta api yang begitu legendaris, hingga dicatat oleh Ismail Marzuki dalam lagunya lebih dari setengah abad yang lalu. Bersama Stasiun Lempuyangan di sebelah timurnya, stasiun ini menjadi gerbang masuk yang menjadi saksi bisu datang dan perginya setiap orang dari dan menuju Jogja selama lebih dari seabad lamanya. Dari orang penting hingga orang biasa, serta orang biasa yang kelak di kemudian hari tampil menjadi orang penting di negeri ini.
Kesibukan naik dan turunnya penumpang di kedua stasiun ini terbaca dari jumlah kereta api yang melintasinya. Dari total sekitar 65 rangkaian kereta api yang ada di Indonesia, lebih dari 25 diantaranya datang, berangkat dan melintas di Stasiun Tugu dan Stasiun Lempuyangan Yogyakarta.
Berbeda dengan kota-kota lain di Indonesia, Yogyakarta dikunjungi untuk berbagai keperluan sekaligus. Dari wisata, pendidikan, pemerintahan, bisnis, hingga berbagai kepentingan yang jauh lebih personal seperti keluarga dan nostalgia. Karenanya, kesibukan kota ini menjadi begitu khas sebagai bauran dari berbagai kepentingan yang jarang bisa dijumpai di kota-kota besar lainnya. Perkembangan kota pun langsung maupun tidak langsung dipengaruhi oleh persilangan kepentingan dan kebutuhan hidup yang beraneka warna.
Properti adalah salah satu sektor yang “diuntungkan” dengan perkembangan Kota Yogyakarta. Dalam dekade terakhir, sektor ini marak bertumbuh mengiringi perkembangan kota dengan kebutuhannya yang semakin beragam. Investasi di bidang properti pun menjadi peluang emas yang semakin populer, baik di sisi konsumen maupun para pengembangnya.
Di sisi konsumen, Jogja menjadi pilihan investasi yang semakin menarik. Tawaran suasana aman, nyaman, toleran dan biaya hidup murah umumnya menjadi alasan utama, disamping lokasinya yang strategis sehingga bisa bepergian ke mana saja di seluruh Indonesia dengan biaya murah.
Bagi sebagian konsumen, kepemilikan properti di Jogja juga menjadi tabungan dengan nilai ekonomi yang tak pernah menyusut, sebelumnya akhirnya menjadi “rumah masa depan” tempat berlabuh di kemudian hari. Pengembang pun menangkap dengan jeli trend kebutuhan konsumen dan potensi bisnis yang sangat menggiurkan ini. Perumahan mewah, apartemen, kondotel hingga pusat belanja dan hotel-hotel baru pun bermunculan bagai cendawan di musim hujan.
Ketika begitu banyak yang mulai kembali ke Jogja, semoga romantisme kota ini tetap terjaga lestari. Sanjungan syahdu dari para seniman pun semoga menjadi tembang abadi, bukan sekedar menjadi tembang kenangan.
Teks: Agus Yuniarso untuk Kabare Magazine.
This post have 0 Comment
EmoticonEmoticon