468x60bannerad

Minggu, 02 Desember 2012

Merti Desa, Ungkapan Syukur Kaya Makna

Tradisi yang terus lestari tak hanya menentramkan hati, namun juga memberikan kebanggaan atas ragam kekayaan budaya di negeri ini. Salah satunya adalah merti desa, sebuah tradisi yang tak hanya lestari, namun juga semakin marak digelar di berbagai pesosok desa, khususnya di seputar Yogyakarta.

Merti desa – sering disebut juga bersih desa – hakekatnya adalah simbol rasa syukur masyarakat kepada Yang Maha Kuasa atas limpahan karunia yang diberikan-Nya. Karunia tersebut bisa berwujud apa saja, seperti kelimpahan rezeki, keselamatan, serta ketentraman dan keselarasan hidup. Bahkan orang Jawa percaya, ketika sedang dilanda duka dan tertimpa musibah pun, masih banyak hal yang pantas disyukuri. Masih ada hikmah dan pelajaran positif yang dapat dipetik dari terjadinya sebuah petaka. Disamping itu, rasa syukur juga bisa menjadi pelipur sekaligus sugesti yang menghadirkan ketenangan jiwa.

Ada banyak cara untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Sang Maha Kuasa. Dalam tradisi merti desa, lampiasan rasa syukur ini diwujudkan dalam bentuk sedekah yang kemudian menjadi ciri dalam setiap ritualnya. Wujudnya bisa bermacam ragam. Salah satunya dalam bentuk gunungan, merujuk dan menyerupai bentuk sedekah yang dilakukan oleh Sultan pada setiap penyelenggaraan Upacara Garebeg di Kraton Yogyakarta.

Detail bentuk dan bahan yang dipergunakan untuk membuat gunungan akan disesuaikan dengan ciri dan karakter setiap desa yang menyelenggarakannya. Umumnya dilakukan dengan memanfaatkan dan mengolah hasil bumi yang tumbuh subur dan menghidupi warganya. Ini juga terkait dengan misi lain penyelenggaraannya, yaitu mewujudkan keselarasan manusia dengan alam sekitarnya. Manusia telah mengambil dan menikmati banyak materi dari alam. Untuk itulah suatu tatacara dilakukan secara berkala sebagai penghormatan kepada alam sekaligus untuk mengingatkan diri agar tidak melakukan eksploitasi berlebihan terhadap alam yang telah memberi penghidupan, karena hakekatnya manusia dan alam ada untuk saling melengkapi.

Di penghujung acara, sedekah yang diwujudkan dalam bentuk gunungan berikut sesajian dan beragam ubo rampe itu akan dibagikan kepada seluruh warga desa serta siapapun yang hadir. Kadang, prosesi pembagian sedekah ini sengaja dilakukan dengan cara diperebutkan, sehingga menghadirkan atraksi yang begitu meriah sebagaimana yang berlangsung dalam Upacara Garebeg.

Selain menjadi perwujudan rasa syukur, upacara merti desa acapkali juga terkait dengan ritual penghormatan kepada leluhur, sehingga menghadirkan berbagai ritual simbolik terkait dengan tokoh dan riwayat yang diyakini menjadi cikal bakal keberadaannya. Semuanya dilakukan dengan tetap memanjatkan do’a dan permohonan kepada Yang Maha Kuasa demi keselamatan, ketentraman, kesejahteraan dan keselarasan hidup seluruh warga desa.

Silaturahmi, guyub, rukun, gotong royong, kebersamaan, keakraban, tepa selira dan harmonis adalah sebagian dari sederetan kosakata yang begitu tepat dan saling menjalin makna saat menggambarkan bagaimana suasana yang terpancar dari berlangsungnya tradisi merti desa.

Naskah & Foto: Agus Yuniarso untuk Kabare Magazine.

Kamis, 25 Oktober 2012

Ada Mahkota di Lambang Kraton

Meski sebelum abad ke-10 telah berdiri sejumlah kerajaan besar di wilayah Nusantara, lambang dari Kerajaan Majapahit (1293-1500) adalah identitas tertua dari kerajaan Nusantara yang masih dapat diidentifikasi. Sebuah ornamen yang dikenal dengan nama Surya Majapahit, sementara banyak dianggap sebagai lambang kerajaan yang pernah mencapai kejayaannya di seluruh penjuru Nusantara itu.

Surya Mapapahit adalah ornamen yang umumnya ditemui di situs-situs peninggalan Majapahit. Ornamen ini dapat ditemukan di langit-langit garbhagriha, salah satu ruangan tersuci di Candi Penataran. Ornamen ini juga ditemukan di Candi Bangkal (Mojokerto), Candi Sawentar (Blitar) dan di batu-batu nisan yang berasal dari zaman Majapahit di seputar wilayah Trowulan (Mojokerto).

Secara umum, lambang ini berbentuk matahari bersudut 8, dengan lingkaran kosmologis bagian tengah serta jurai sinar matahari di sekelilingnya. Dalam lingkaran tersebut terpahat perwujudan dewa-dewa agama Hindu, yaitu 9 sosok dewa yang dikenal dengan sebutan Dewata Nawa Sanga. Susunannya adalah 1 dewa utama di bagian tengah dan 8 dewa di setiap penjuru arah mata angin.

Kesembilan sosok dewa itu adalah: Siwa (tengah), Iswara (timur), Mahadewa (barat), Whisnu (utara), Brahma (selatan), Sambhu (timur laut), Sangkara (barat laut), Mahesora (tenggara) dan Rudra (barat daya). Selain itu, masih terdapat 8 sosok dewa pendamping yang terletak di setiap jurai sinar matahari, yaitu: Kuwera (utara), Isana (timur laut), Indra (timur), Agni (tenggara), Yama (selatan), Surya (barat daya), Baruna (barat) dan Bayu (barat laut).

Kejayaan Kerajaan Majapahit di masa lalu telah dituturkan dari generasi ke generasi, diabadikan dan mengilhami beragam aspek kehidupan di masa berikutnya. Salah satunya terkait dengan penetapan atribut kenegaraan di Indonesiasaat ini. Bendera kebangsaan Sang Merah Putih atau Sang Dwi Warna diilhami oleh warna panji Kerajaan Majapahit. Sementara semboyan nasional “Bhinneka Tunggal Ika” dikutip dari Kakawin Sutasoma yang ditulis oleh Mpu Tantular, seorang pujangga ternama dari Kerajaan Majapahit.

Kejayaan Kerajaan Majapahit itu juga diakui dan mengilhami pusat-pusat kekuasaan di tanah Jawa pada periode berikutnya, terutama oleh Dinasti Mataram yang didirikan oleh Panembahan Senopati pada akhir abad ke-16 Masehi. Sebagaimana tercantum dalam berbagai babad yang mencatat silsilah dan kronologi sejarah, para raja Majapahit selalu tercatat sebagai leluhur dari Dinasti Mataram sebagai bagian dari upaya untuk
memperkukuh legitimasi kekuasaan.

Pengakuan atas kebesaran dan kejayaan Majapahit pun masih dilestarikan oleh para pewaris Dinasti Mataram yang masih bertahan hingga saat ini: Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Kadipaten Mangkunegaran dan Kadipaten Pakualaman. Namun dalam hal lambang kerajaan, pendekatannya agak berbeda, mengingat perkembangan zaman serta pengaruh-pengaruh kekuasaan yang melingkupinya, khususnya keberadaan kekuasaan kolonialisme Eropa pada masa itu.

Lambang kerajaan yang bisa dilihat saat ini bukan seperti lambang yang ada saat pertama kali berdiri berikut perkembangannya dari masa ke masa. Pada awalnya, pengaruh budaya Eropa sangat terasa mewarnai
tampilan identitas itu. Salah satunya adalah gambar mahkota kerajaan bergaya Eropa. Bukti-buktinya bisa dilihat di berbagai bentuk peninggalan yang dilestarikan di setiap kraton, seperti kereta kerajaan, gamelan, atau ornamen di beberap sudut bangunan.

Baru pada awal abad ke-20, menjelang masa akhir Pemerintahan Hindia Belanda, lambang-lambang kerajaan penerus Dinasti Mataram itu dirancang ulang dengan melibatkan unsur budaya lokal, salah satunya diantaranya dengan menghilangkan huruf latin dan menggantinya dengan aksara Jawa. Yang menarik, keberadaan mahkota masih dipertahankan,meneruskan tradisi lambang kerajaan bergaya Eropa, namun dengan sentuhan khas Jawa.

Kraton Kasunanan Surakarta memiliki lambang yang dikenal dengan nama Radya Laksana, yang menurut buku Baoesastra Djawa berarti ‘tanda kerajaan’ atau ‘jalan kerajaan’. Lambang ini diciptakan dan mulai dipergunakan pada zaman Sri Susuhunan Paku Buwana X (bertahta 1893-1939), diilhami oleh relief gambar kuno yang terdapat diatas Kori Sri Manganti Kraton Kasunanan Surakarta.

Radya Laksana terdiri dari sejumlah elemen visual, yaitu: makutha atau mahkota berwarna merah dan kuning, warna dasar biru muda, surya (matahari), candra atau sasangka (rembulan), kartika (bintang), bumi, paku, kapas dan padi, serta pita merah putih. Lambang ini merupakan wujud dan gambaran inti kebudayaan Kraton Kasunanan Surakarta. Secara harafiah mengandung makna ‘perilaku lahir batin untuk menjunjung
tinggi negara’, sebuah ajaran dan pedoman bagi Sang Ratu, sentana, abdidalem dan kawula dalem yang berkiblat ke Kraton Kasunanan Surakarta berdasarkan semangat kebudayaan Jawa yang dimuliakan.

Kraton Kasultanan Yogyakarta memiliki lambang yang disebut dengan istilah Praja Cihna. Lambang ini dirancang dan mulai dipergunakan semenjak zaman Sri Sultan Hamengku Buwono VIII (bertahta 1921-1939). Secara visual lambang ini terdiri dari elemen makutha atau mahkota, sayap, serta dua huruf Jawa yang menjadi inisial nama sang raja, yaitu “ho” untuk Hamengku dan “bo” untuk Buwono, sehingga lebih sering dikenal dengan istilah “Hobo”.

Mekutha atau mahkota yang menghiasi lambang Kraton Kasultanan Yogyakarta diwujudkan dalam bentuk songkok, sebentuk tutup kepala khas prajurit Mataram yang menjadi simbol kegagahberanian yang mendominasi kultur Yogyakarta, warisan dari pendirinya, Pangeran Mangkubumi yang kemudian bertahta sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono I.

Yang sering luput dari perhatian, lambang Kraton Kasultanan Yogyakarta ini berubah dari waktu ke waktu, sesuai dengan nama dan masa sultan yang bertahta. Awalnya, jumlah bulu pada gambar sayap di masing-masing sisi berjumlah delapan buah, sebagai identitas dari Sri Sultan Hamengku Buwono VIII sebagai sultan yang ke-8. Saat ini, gambar sayap tersebut terdiri dari 10 lembar bulu di masing-masing sisi.

Praja Cihna dipergunakan dalam kegiatan administratif serta menjadi identitas utama dalam berbagai sarana dan perlengkapan di lingkungan kraton. Lambang ini juga dipergunakan secara luas sebagai identitas yang dibanggakan oleh masyarakat Yogyakarta, bahkan acapkali dimodifikasi sedemikian rupa sesuai dengan kebutuhan kelompok masyarakat penggunanya. Meski tidak secara langsung berkaitan dengan kepentingan kraton, ini menjadi salah bentuk kecintaan dan kebanggaan masyarakat Yogyakarta terhadap keberadaan kraton beserta sultan yang dicintainya.

Lambang Kadipaten Mangkunegaran lazim disebut dengan nama Suryo Sumirat yang bermakna ‘matahari yang bersinar’. Lambang ini terdiri dari bentuk makutha atau mahkota, matahari bersinar, dua huruf latin ‘MN’ sebagai inisial nama pangeran yang bertahta, rangkaian kapas dan padi, busur dan anak panah serta pita merah putih.

Makutha atau mahkota di puncak lambang Kadipaten Mangkunegaran merupakan simbol status otonomi trah Mangkunegaran, setara dengan kedudukan putra mahkota di Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Pita merah putih di bagian bawah merupakan perwujudan dari simbol ‘gula klapa’ yang berkaitan dengan ritus kesuburan dalam kepercayaan masyarakat Jawa.

Sementara lambang Kadipaten Pakulaman tampak lebih mendekati bentuk lambang Kraton Kasultanan Yogyakarta, dengan elemen utama berupa makutha atau mahkota dan sayap yang terbentang di sisi kanan dan kiri.

Tampaknya, mahkota telah menjadi ornamen universal yang muncul di setiap lambang kraton penerus Dinasti Mataram ini, meski keberadaannya tidak pernah dikenal sebagai simbol legitimasi kekuasaan. Dalam tradisinya, dinasti ini lebih sering menggunakan pusaka-pusaka kerajaan serta prosesi adat sebagai simbol legitimasi yang diwariskan secara turun temurun.

Teks: Agus Yuniarso untuk Kabare Magazine.

Selasa, 02 Oktober 2012

Bukan Negeri Tirai Bambu

Dunia mengenal China sebagai Negeri Tirai Bambu. Meski julukan legendaris ini mulai pupus seiring keterbukaan dan modernisasi pemerintahannya, namun sebagai indentitas kultural, penyebutan ini tampaknya tak akan lekang tergerus jaman yang terus berubah.

Bambu, begitu lekat dengan kehidupan rakyat di negeri dengan jumlah penduduk terbesar di dunia ini. Tak semata karena luasnya areal dan ragam jenis tanaman bambu yang tumbuh disana. Pemanfaat bambu untuk memenuhi berbagai fungsi kehidupan pun telah berlangsung sejak ribuan tahun yang lalu. Panda (Ailuropoda melanoleuca), mamalia khas negeri ini yang tak pernah lepas dari batang-batang bambu muda sebagai makanan pokoknya, seolah menjadi duta besar bagi negerinya. Bukan hanya dengan daya tarik bentuk dan rupa tubuhnya, namun juga dengan batang bambu yang selalu digenggam dan dikunyahnya.

Namun bambu bukan tumbuhan eksklusif daratan Asia, khususnya China. Di seluruh dunia, tercatat lebih dari 1.000 species bambu yang terkelompokkan dalam 80 genera. Seperlima dari keseluruhan species bambu itu ditemukan tumbuh di wilayah Asia Tenggara. Di Indonesia sendiri ”hanya” ditemukan sekitar 60 jenis mambu, namun sebaran habitat pertumbuhannya sangat luas. Dari dataran rendah hingga pegunungan dengan ketinggian hingga 300 meter diatas permukaan laut. Umumnya, tanaman ini ditemukan di tempat-tempat terbuka dan daerah yang bebas dari genangan air.

Meski tidak dominan, keragaman jenis bambu dengan karakteristiknya masing-masing sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya di daerah pedesaan. Sejak dulu kala, raja dari keluarga rerumputan ini menjadi salah satu sumber alam penting yang telah dimanfaatkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup.

Hingga hari ini, bambu menjadi tanaman serbaguna yang memiliki begitu banyak fungsi dan manfaat. Ini tak terlepas dari karakteristiknya yang khas sehingga mudah untuk didayagunakan. Bambu dikenal memiliki batang yang ulet, kuat dan keras, namun tak terlalu sulit untuk dibelah dan dibentuk, sehingga mudah diolah.

Bentuknya yang lurus dengan permukaan rata juga memungkinkannya untuk dimanfaatkan menjadi berbagai barang dengan berbagai fungsi. Tak kalah penting, bambu juga cukup ringan, sehingga mudah untuk diangkut kemana saja. Bambu yang mudah tumbuh di hampir sembarang tempat mudah dijumpai dimana saja, sehingga harganya menjadi relatif murah.

Sebagai bahan bangunan, bambu utuh telah dipergunakan sebagai materi utama dalam berbagai macam konstruksi, dari rumah tinggal, gudang, saluran air, menara hingga jembatan gantung. Dalam bentuk potongan atau belahan, bambu dimanfaatkan sebagai elemen bangunan rumah tinggal, seperti struktur atap, dinding, langit-langit, lantai, tirai atau pagar. Dalam bentuk dan penggunaan yang lebih minimalis, secara fungsional bambu telah berubah bentuk menjadi berbagai perkakas rumah tangga, sementara secara estetis telah berubah wujud menjadi berbagai produk kerajinan. Di berbagai daerah, bambu bahkan berfungsi sebagai media ekspresif, menjadi bagian penting dari perangkat seni tradisional.

Ragam eksploitasi bambu sebagai bahan baku di penjuru Nusantara ini menggambarkan betapa beragamnya kearifan lokal dalam menciptakan ragam karya fungsional dan estetis dari bahan yang sederhana dan mudah dijumpai di lingkungan sekitarnya.

Sayang, meski menyimpan banyak potensi dan inspirasi bagi kehidupan manusia, latar belakang bambu yang berasal dari keluarga rerumputan ini acapkali dikesankan sebagai bahan baku yang lemah dan diremehkan, bahkan terkadang dianggap ndeso. Inilah salah satu faktor yang menghambat perhatian masyarakat umum dan Pemerintah untuk mengangkat pesona bambu di mata dunia.

Meski bukan Negeri Tirai Bambu, Indonesia sebenarnya memiliki potensi dalam mengelola bambu, mengingat tanaman jenis ini sangat banyak dijumpai di bumi Nusantara. Tak hanya bermanfaat sebagai pelestari lingkungan yang paling baik, bambu pun memiliki sejuta manfaat lainnya bagi kehidupan manusia. Dengan mengakomodasi dan mengembangkan keragaman kearifan lokal dalam mengolahnya, dapat dipastikan pesona bambu akan mampu mendapat tempat di hati masyarakat luas, bahkan menembus selera dan citarasa dunia.

Teks: Agus Yuniarso untuk Kabare Magazine.

Senin, 27 Agustus 2012

Halal bi Halal bersama Sultan Hamengku Buwono X

Tak terjadi setiap saat dan di sembarang tempat, ketika seorang pemimpin menyediakan diri untuk bertemu langsung dengan rakyatnya, menyapa satu per satu, berjabat tangan, bahkan saling memaafkan dan mendoakan dalam susana yang begitu damai dan menenteramkan hati. Ikatan batiniyah yang dibatasi bentangan jarak, seolah tersemaikan dan terpupuk kembali dalam sebuah kesempatan lahiriyah yang langka.

Dimanapun, kedekatan rakyat dengan pemimpinnya selalu menawarkan harapan yang lebih baik demi menghadapi dan menyelesaikan berbagai permasalahan bersama di masa mendatang.

Suasana tenteram dan damai itu terpancar jelas dalam dalam acara Open House bersama Sri Sultan Hamengku Buwono X yang digelar di Pagelaran Kraton Kasultanan Yogyakarta, Jumat, 24 Agustus 2012 lalu. Meski telah menjadi agenda yang rutin diselenggarakan setiap tahun, antusiasme warga masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya untuk hadir sepertinya tak pernah surut. Sebuah kesempatan langka untuk bertemu, bertatap muka dan berjabat tangan langsung dengan pemimpin yang disegani sekaligus raja yang sangat dihormatinya.

Jauh sebelum acara dimulai, ribuan orang telah memadati seputar Alun-alun Utara serta Pagelaran Keraton Kasultanan Yogyakarta. Sebagian diantaranya bahkan telah hadir sebelum adzan Subuh berkumandang. Setelah fajar menyingsing, ratusan tempat duduk yang disediakan pun telah ditempati oleh ratusan warga masyarakat yang menyempatkan diri untuk hadir lebih awal.

Acara langsung dimulai sekitar pukul 08.30 WIB, saat Sri Sultan Hamengku Buwono X hadir memasuki Pagelaran didampingi Gusti Kanjeng Ratu Hemas dan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Paku Alam IX. Sultan langsung menerima dan menyalami satu per satu warga masyarakat yang dengan sabar dan tertib telah menunggu kehadirannya.

Sebagaimana berlangsung di tahun-tahun sebelumnya, tatacara seremonial serta kata sambutan memang sengaja ditiadakan. Karenanya, suasana menjadi begitu hangat, akrab dan jauh dari kesan formal. Open House tahunan sekaligus halal bi halal selepas bulan suci Ramadhan ini memang digelar secara khusus sebagai kehendak Sultan untuk secara pribadi menerima dan bertatap muka langsung dengan masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya.

Menurut KRT. Jatiningrat, salah satu pengageng Keraton Kasultanan Yogyakarta, tradisi syawalan di keraton ini sudah sejak lama diselenggarakan dan dikenal dengan istilah ngabekten. “Sultan selalu menggelar kegiatan ini setiap tahun sejak dinobatkan pada tahun 1989 dan tidak pernah lowong”, tutur Romo Tirun, sapaan akrab KRT. Jatiningrat.

Dalam tradisi ngabekten, Sultan menerima sungkem dan tanda bakti dari para kerabat dan abdi dalem. Pada hari pertama, segera setelah berlangsungnya Sholat Ied dan menjelang berlangsungnya upacara Garebeg Syawal, upacara ngabekten diselenggarakan di Bangsal Kencana khusus bagi kerabat dan abdi dalem kakung (laki-laki) dan dilanjutkan pada hari berikutnya di Tratag Bangsal Proboyekso bagi para kerabat dan abdi dalem putri.

Berbeda dengan ngabekten yang diselenggarakan untuk kalangan terbatas dalam lingkungan keraton, open house lebih ditujukan bagi warga masyarakat luas di luar tembok keraton. “Jika ngabekten diselenggarakan sebagai wujud kesetiaan kepada seorang pemimpin, maka open house seperti ini digelar sebagai bentuk keinginan pemimpin untuk senantiasa dekat dengan masyarakatnya”, papar Romo Tirun.

Tradisi open house mulai rutin digelar semenjak Sri Sultan Hamengku Buwono X menjabat sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 1998. Tahun ini adalah untuk kedua kalinya acara ini digelar di Pagelaran Keraton, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang diselengarakan di Bangsal Kepatihan Yogyakarta.

Meski masyarakat yang hadir diperkirakan lebih dari 10.000 orang, namun suasana tetap tampak tertib dan nyaman. Mereka disambut dengan ramah sebagaimana layaknya para tamu Sultan. Setelah berjabat tangan, setiap tamu dipersilahkan untuk menikmati suguhan makanan dan minuman yang telah disediakan. Pelayanan khusus juga diberikan kepada para penyandang cacat serta warga masyarakat berusia lanjut, agar tidak mengalami kesulitan dalam antrian yang begitu panjang.

Ketertiban dan kenyamanan ini tak lepas dari peran serta lebih dari 1.500 orang relawan dari berbagai elemen masyarakat yang terlibat langsung dalam dalam penyelenggaraan acara ini, baik yang bertugas di lingkungan Pagelaran maupun yang tersebat di berbagai titik strategis di seputar Keraton Kasultanan Yogyakarta.

Teks & Foto: Agus Yuniarso untuk Kabare Magazine.

Rabu, 02 Mei 2012

Melirik Koleksi Batik di Balik Tembok Kraton

Sebagai sebuah mahakarya, batik telah menjadi bagian dari khasanah pusaka dunia yang pantas dibanggakan. Secara formal, keberadaannya bahkan telah diakui oleh UNESCO sebagai organisasi pendidikan, keilmuan dan kebudayaan Perserikatan Bangsa-bangsa, yang pada tanggal 29 November 2009 telah menetapkan batik sebagai Warisan Pusaka Budaya Kemanusiaan Lisan dan Tak Benda.

Bekerjasama dengan Museum Batik Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Pura Pakulaman dan Trah Hudiyana, pertemuan bulanan Paguyuban Pecinta Batik Indonesia ‘Sekarjagad’ pada bulan April 2012 lalu menggelar pameran batik tradisional khas Yogyakarta, mengangkat tema “Pagelaran Maha Karya Pusaka Kemanusiaan Lisan dan Tak Benda Batik Tradisional Yogyakarta”. Pameran yang diselenggarakan di Pura Pakualaman dari tanggal 28-30 April 2012 ini secara khusus digelar untuk menyemarakkan Peringatan Hari kartini Tahun 2012 yang juga bertepatan dengan Peringatan 100 Tahun Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Yang istimewa, pameran ini menampilkan mahakarya batik klasik khas Yogyakarta yang tergolong langka dari koleksi sejumlah bangsawan di Yogyakarta. Peristiwanya pun tergolong langka, karena untuk pertama kalinya koleksi pribadi yang sehari-harinya tersimpan di balik tembok kraton dipamerkan kepada masyarakat luas. Juga karena untuk pertama kalinya koleksi pribadi dari kerabat Kraton Kasultanan Yogyakarta dan Pura Pakualaman dipersandingkan bersama dalam suatu ajang pameran.

Dalam kesempatan ini, Kraton Kasultanan Yogyakarta menampilkan sejumlah koleksi pribadi dari K.R.Ay. Pintoko Purnomo, K.R.Ay. Windyaningrum, K.R.Ay. Hastungkoro, K.R.Ay. Cipto Murti, G.K.R. Hemas, G.B.R.Ay. Murdokusumo, dan B.R.Ay. Hadikusumo. Sementara dari Pura Pakualaman ditampilkan koleksi pribadi dari G.B.R.Ay. Retno Martani Kusumonagoro, B.R.Ay. Retno Rukmini Tirtonagoro, B.R.Ay. Retno Windarni Projonagoro, B.R.Ay. Tjondrokusumo, serta B.R.Ay. Atika Prabu Suryodilogo.

Jajaran rapi koleksi batik tulis yang sebagian telah berusia lebih dari 50 tahun dan terawat dengan sangat baik ini, mampu membangkitkan kekaguman terhadap mahakarya anak bangsa. Lembaran-lembaran kain bercorak indah yang terlahir dari tangan-tangan terampil, penuh ketekunan serta ketelitian ini seakan menjadi saksi betapa tingginya cita rasa seni dan estetika budaya bangsa kita.

Karya-karya itu tak hanya indah, namun juga sarat dengan kisah dan makna filosofis. Salah satunya adalah motif batik Sari Makara Uneng koleksi B.R.Ay. Atika Suryodilogo dari Pura Pakualaman. Motif ini merupakan salah satu unsur dari gambar wedana renggan Sujalma Sari Makara Uneng yang ditandai dengan gambar gunung, perempuan bertubuh udang serta kupu-kupu. Wedana renggan ini ada dalam naskah Langen Wibawa, sebuah naskah koleksi Perpustakaan Pura Pakualaman yang mengabadikan prosesi tarian yang digemari oleh Sri Paku Alam I – IV, menceritakan tentang betapa moleknya para penari istana di Pura Pakualaman kala itu yang tergambarkan dalam tarian Srimpi Nadheg Putri.

Sujalma Sari Makara Uneng bermakna ‘perempuan berlekuk tubuh indah yang membuat kasmaran’. Gambar kupu-kupu dimaknai sebagai proses metamorfosa para perempuan dari gunung yang turun menjadi penari istana. Mereka dipilih kemudian dididik sesuai tatanan di dalam istana sehingga lahir kembali sebagai seorang putri yang halus rupawan. Sikap sopan, luwes, lembut dan cepat tanggap, ditambah dengan paras yang elok menawan serta lekuk tubuh yang ideal menjadikan sang penari begitu dipuja dan dirindukan banyak orang.

Motif lain yang tidak kalah menarik adalah Kothak Parang Barong Purnam dan Kothak Kawung Naga Raja. Keduanya adalah koleksi G.K.R. Hemas dari Kraton Kasultanan Yogyakarta. ‘Purnam’ berasal dari kata voornaam dalam Bahasa Belanda yang berarti ‘nama depan’. Dari motif barong serta gambar mahkota, terlebih dengan adanya inisial ‘HB’, dapat dipahami jika corak ini sesungguhnya menyampaikan pesan yang menunjukkan identitas pemiliknya. Sementara motif Kothak Kawung Naga Raja menampilkan ornamen Naga Raja yang melambangkan keperkasaan, kesaktian dan kewibawaan, serta tergambar bentuk mahkota di sudut kotak. Sesuai adat, kedua motif tersebut hanya boleh dikenakan oleh seorang raja.

Acara ini diharapkan bisa menjadi momentum bagi perempuan Indonesia untuk memberdayakan dan mengembangkan diri dengan menggali nilai budaya dan kearifan lokal, termasuk batik. “Perempuan Indonesia harus mampu melindungi juga mengembangkan dan berperan aktif dalam upaya pelestarian dan pengelolaan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal”, demikian diungkapkan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, Linda Amalia Sari Agum Gumelar, dalam sambutan tertulisnya yang dibacakan oleh dr. Rohana Dwi Astuti, Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat Provinsi DIY.

Sementara Wakil Gubernur Provinsi DIY Sri Paduka Paku Alam IX, menekankan bahwa kerajinan batik tulis harus tetap dilestarikan dan dikembangkan. Kaum perempuan harus kembali untuk mencintai batik tulis. ”Batik printing boleh saja beredar. Tetapi yang mengandung nilai-nilai seni, sejarah, dan budaya adiluhung hanya ada di batik tulis”, demikian pernyataan Sri Paduka Paku Alam IX sebelum membuka resmi pameran ini.

Harus diakui, keberadaan batik tulis semakin tersisihkan dengan keberadaan batik printing. Ketua Paguyuban Pecinta Batik Indonesia ‘Sekar Jagad’, Ir. Dra. Larasati Suliantoro Sulaiman menegaskan bahwa kaum perempuan seyogianya mulai menggunakan batik tulis dalam berbusana. Adalah ironis ketika batik Indonesia mendapat pengakuan sebagai warisan budaya dari UNESCO, justru batik printing lebih merajai pasaran batik. ”Batik itu karya yang ditulis oleh tangan manusia, bukan dicetak. Kalau dicetak bukan batik namanya,” tegasnya.

Upaya pelestarian dan pengembangan batik tulis menjadi agenda penting yang tampaknya tidak boleh ditawar dan ditunda lagi. Pameran langka serupa ini perlu lebih sering diselenggarakan, khususnya di tempat lain yang jauh dari pusat denyut nadi aktifitas kebudayaan demi semakin tumbuh dan berkembangnya rasa cinta dan kebanggaan kita terhadap batik yang telah menjadi mahakarya bangsa Indonesia.

Teks: Agus Yuniarso untuk Kabare Magazine.
Copyright © Catatan Agus Yuniarso - Except where otherwise noted, content on this site is licensed under Creative Commons license.