Meski sebelum abad ke-10 telah berdiri sejumlah kerajaan besar di wilayah Nusantara, lambang dari Kerajaan Majapahit (1293-1500) adalah identitas tertua dari kerajaan Nusantara yang masih dapat diidentifikasi. Sebuah ornamen yang dikenal dengan nama Surya Majapahit, sementara banyak dianggap sebagai lambang kerajaan yang pernah mencapai kejayaannya di seluruh penjuru Nusantara itu.
Surya Mapapahit adalah ornamen yang umumnya ditemui di situs-situs peninggalan Majapahit. Ornamen ini dapat ditemukan di langit-langit garbhagriha, salah satu ruangan tersuci di Candi Penataran. Ornamen ini juga ditemukan di Candi Bangkal (Mojokerto), Candi Sawentar (Blitar) dan di batu-batu nisan yang berasal dari zaman Majapahit di seputar wilayah Trowulan (Mojokerto).
Secara umum, lambang ini berbentuk matahari bersudut 8, dengan lingkaran kosmologis bagian tengah serta jurai sinar matahari di sekelilingnya. Dalam lingkaran tersebut terpahat perwujudan dewa-dewa agama Hindu, yaitu 9 sosok dewa yang dikenal dengan sebutan Dewata Nawa Sanga. Susunannya adalah 1 dewa utama di bagian tengah dan 8 dewa di setiap penjuru arah mata angin.
Kesembilan sosok dewa itu adalah: Siwa (tengah), Iswara (timur), Mahadewa (barat), Whisnu (utara), Brahma (selatan), Sambhu (timur laut), Sangkara (barat laut), Mahesora (tenggara) dan Rudra (barat daya). Selain itu, masih terdapat 8 sosok dewa pendamping yang terletak di setiap jurai sinar matahari, yaitu: Kuwera (utara), Isana (timur laut), Indra (timur), Agni (tenggara), Yama (selatan), Surya (barat daya), Baruna (barat) dan Bayu (barat laut).
Kejayaan Kerajaan Majapahit di masa lalu telah dituturkan dari generasi ke generasi, diabadikan dan mengilhami beragam aspek kehidupan di masa berikutnya. Salah satunya terkait dengan penetapan atribut kenegaraan di Indonesiasaat ini. Bendera kebangsaan Sang Merah Putih atau Sang Dwi Warna diilhami oleh warna panji Kerajaan Majapahit. Sementara semboyan nasional “Bhinneka Tunggal Ika” dikutip dari Kakawin Sutasoma yang ditulis oleh Mpu Tantular, seorang pujangga ternama dari Kerajaan Majapahit.
Kejayaan Kerajaan Majapahit itu juga diakui dan mengilhami pusat-pusat kekuasaan di tanah Jawa pada periode berikutnya, terutama oleh Dinasti Mataram yang didirikan oleh Panembahan Senopati pada akhir abad ke-16 Masehi. Sebagaimana tercantum dalam berbagai babad yang mencatat silsilah dan kronologi sejarah, para raja Majapahit selalu tercatat sebagai leluhur dari Dinasti Mataram sebagai bagian dari upaya untuk
memperkukuh legitimasi kekuasaan.
Pengakuan atas kebesaran dan kejayaan Majapahit pun masih dilestarikan oleh para pewaris Dinasti Mataram yang masih bertahan hingga saat ini: Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Kadipaten Mangkunegaran dan Kadipaten Pakualaman. Namun dalam hal lambang kerajaan, pendekatannya agak berbeda, mengingat perkembangan zaman serta pengaruh-pengaruh kekuasaan yang melingkupinya, khususnya keberadaan kekuasaan kolonialisme Eropa pada masa itu.
Lambang kerajaan yang bisa dilihat saat ini bukan seperti lambang yang ada saat pertama kali berdiri berikut perkembangannya dari masa ke masa. Pada awalnya, pengaruh budaya Eropa sangat terasa mewarnai
tampilan identitas itu. Salah satunya adalah gambar mahkota kerajaan bergaya Eropa. Bukti-buktinya bisa dilihat di berbagai bentuk peninggalan yang dilestarikan di setiap kraton, seperti kereta kerajaan, gamelan, atau ornamen di beberap sudut bangunan.
Baru pada awal abad ke-20, menjelang masa akhir Pemerintahan Hindia Belanda, lambang-lambang kerajaan penerus Dinasti Mataram itu dirancang ulang dengan melibatkan unsur budaya lokal, salah satunya diantaranya dengan menghilangkan huruf latin dan menggantinya dengan aksara Jawa. Yang menarik, keberadaan mahkota masih dipertahankan,meneruskan tradisi lambang kerajaan bergaya Eropa, namun dengan sentuhan khas Jawa.
Kraton Kasunanan Surakarta memiliki lambang yang dikenal dengan nama Radya Laksana, yang menurut buku Baoesastra Djawa berarti ‘tanda kerajaan’ atau ‘jalan kerajaan’. Lambang ini diciptakan dan mulai dipergunakan pada zaman Sri Susuhunan Paku Buwana X (bertahta 1893-1939), diilhami oleh relief gambar kuno yang terdapat diatas Kori Sri Manganti Kraton Kasunanan Surakarta.
Radya Laksana terdiri dari sejumlah elemen visual, yaitu: makutha atau mahkota berwarna merah dan kuning, warna dasar biru muda, surya (matahari), candra atau sasangka (rembulan), kartika (bintang), bumi, paku, kapas dan padi, serta pita merah putih. Lambang ini merupakan wujud dan gambaran inti kebudayaan Kraton Kasunanan Surakarta. Secara harafiah mengandung makna ‘perilaku lahir batin untuk menjunjung
tinggi negara’, sebuah ajaran dan pedoman bagi Sang Ratu, sentana, abdidalem dan kawula dalem yang berkiblat ke Kraton Kasunanan Surakarta berdasarkan semangat kebudayaan Jawa yang dimuliakan.
Kraton Kasultanan Yogyakarta memiliki lambang yang disebut dengan istilah Praja Cihna. Lambang ini dirancang dan mulai dipergunakan semenjak zaman Sri Sultan Hamengku Buwono VIII (bertahta 1921-1939). Secara visual lambang ini terdiri dari elemen makutha atau mahkota, sayap, serta dua huruf Jawa yang menjadi inisial nama sang raja, yaitu “ho” untuk Hamengku dan “bo” untuk Buwono, sehingga lebih sering dikenal dengan istilah “Hobo”.
Mekutha atau mahkota yang menghiasi lambang Kraton Kasultanan Yogyakarta diwujudkan dalam bentuk songkok, sebentuk tutup kepala khas prajurit Mataram yang menjadi simbol kegagahberanian yang mendominasi kultur Yogyakarta, warisan dari pendirinya, Pangeran Mangkubumi yang kemudian bertahta sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono I.
Yang sering luput dari perhatian, lambang Kraton Kasultanan Yogyakarta ini berubah dari waktu ke waktu, sesuai dengan nama dan masa sultan yang bertahta. Awalnya, jumlah bulu pada gambar sayap di masing-masing sisi berjumlah delapan buah, sebagai identitas dari Sri Sultan Hamengku Buwono VIII sebagai sultan yang ke-8. Saat ini, gambar sayap tersebut terdiri dari 10 lembar bulu di masing-masing sisi.
Praja Cihna dipergunakan dalam kegiatan administratif serta menjadi identitas utama dalam berbagai sarana dan perlengkapan di lingkungan kraton. Lambang ini juga dipergunakan secara luas sebagai identitas yang dibanggakan oleh masyarakat Yogyakarta, bahkan acapkali dimodifikasi sedemikian rupa sesuai dengan kebutuhan kelompok masyarakat penggunanya. Meski tidak secara langsung berkaitan dengan kepentingan kraton, ini menjadi salah bentuk kecintaan dan kebanggaan masyarakat Yogyakarta terhadap keberadaan kraton beserta sultan yang dicintainya.
Lambang Kadipaten Mangkunegaran lazim disebut dengan nama Suryo Sumirat yang bermakna ‘matahari yang bersinar’. Lambang ini terdiri dari bentuk makutha atau mahkota, matahari bersinar, dua huruf latin ‘MN’ sebagai inisial nama pangeran yang bertahta, rangkaian kapas dan padi, busur dan anak panah serta pita merah putih.
Makutha atau mahkota di puncak lambang Kadipaten Mangkunegaran merupakan simbol status otonomi trah Mangkunegaran, setara dengan kedudukan putra mahkota di Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Pita merah putih di bagian bawah merupakan perwujudan dari simbol ‘gula klapa’ yang berkaitan dengan ritus kesuburan dalam kepercayaan masyarakat Jawa.
Sementara lambang Kadipaten Pakulaman tampak lebih mendekati bentuk lambang Kraton Kasultanan Yogyakarta, dengan elemen utama berupa makutha atau mahkota dan sayap yang terbentang di sisi kanan dan kiri.
Tampaknya, mahkota telah menjadi ornamen universal yang muncul di setiap lambang kraton penerus Dinasti Mataram ini, meski keberadaannya tidak pernah dikenal sebagai simbol legitimasi kekuasaan. Dalam tradisinya, dinasti ini lebih sering menggunakan pusaka-pusaka kerajaan serta prosesi adat sebagai simbol legitimasi yang diwariskan secara turun temurun.
Surya Mapapahit adalah ornamen yang umumnya ditemui di situs-situs peninggalan Majapahit. Ornamen ini dapat ditemukan di langit-langit garbhagriha, salah satu ruangan tersuci di Candi Penataran. Ornamen ini juga ditemukan di Candi Bangkal (Mojokerto), Candi Sawentar (Blitar) dan di batu-batu nisan yang berasal dari zaman Majapahit di seputar wilayah Trowulan (Mojokerto).
Secara umum, lambang ini berbentuk matahari bersudut 8, dengan lingkaran kosmologis bagian tengah serta jurai sinar matahari di sekelilingnya. Dalam lingkaran tersebut terpahat perwujudan dewa-dewa agama Hindu, yaitu 9 sosok dewa yang dikenal dengan sebutan Dewata Nawa Sanga. Susunannya adalah 1 dewa utama di bagian tengah dan 8 dewa di setiap penjuru arah mata angin.
Kesembilan sosok dewa itu adalah: Siwa (tengah), Iswara (timur), Mahadewa (barat), Whisnu (utara), Brahma (selatan), Sambhu (timur laut), Sangkara (barat laut), Mahesora (tenggara) dan Rudra (barat daya). Selain itu, masih terdapat 8 sosok dewa pendamping yang terletak di setiap jurai sinar matahari, yaitu: Kuwera (utara), Isana (timur laut), Indra (timur), Agni (tenggara), Yama (selatan), Surya (barat daya), Baruna (barat) dan Bayu (barat laut).
Kejayaan Kerajaan Majapahit di masa lalu telah dituturkan dari generasi ke generasi, diabadikan dan mengilhami beragam aspek kehidupan di masa berikutnya. Salah satunya terkait dengan penetapan atribut kenegaraan di Indonesiasaat ini. Bendera kebangsaan Sang Merah Putih atau Sang Dwi Warna diilhami oleh warna panji Kerajaan Majapahit. Sementara semboyan nasional “Bhinneka Tunggal Ika” dikutip dari Kakawin Sutasoma yang ditulis oleh Mpu Tantular, seorang pujangga ternama dari Kerajaan Majapahit.
Kejayaan Kerajaan Majapahit itu juga diakui dan mengilhami pusat-pusat kekuasaan di tanah Jawa pada periode berikutnya, terutama oleh Dinasti Mataram yang didirikan oleh Panembahan Senopati pada akhir abad ke-16 Masehi. Sebagaimana tercantum dalam berbagai babad yang mencatat silsilah dan kronologi sejarah, para raja Majapahit selalu tercatat sebagai leluhur dari Dinasti Mataram sebagai bagian dari upaya untuk
memperkukuh legitimasi kekuasaan.
Pengakuan atas kebesaran dan kejayaan Majapahit pun masih dilestarikan oleh para pewaris Dinasti Mataram yang masih bertahan hingga saat ini: Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Kadipaten Mangkunegaran dan Kadipaten Pakualaman. Namun dalam hal lambang kerajaan, pendekatannya agak berbeda, mengingat perkembangan zaman serta pengaruh-pengaruh kekuasaan yang melingkupinya, khususnya keberadaan kekuasaan kolonialisme Eropa pada masa itu.
Lambang kerajaan yang bisa dilihat saat ini bukan seperti lambang yang ada saat pertama kali berdiri berikut perkembangannya dari masa ke masa. Pada awalnya, pengaruh budaya Eropa sangat terasa mewarnai
tampilan identitas itu. Salah satunya adalah gambar mahkota kerajaan bergaya Eropa. Bukti-buktinya bisa dilihat di berbagai bentuk peninggalan yang dilestarikan di setiap kraton, seperti kereta kerajaan, gamelan, atau ornamen di beberap sudut bangunan.
Baru pada awal abad ke-20, menjelang masa akhir Pemerintahan Hindia Belanda, lambang-lambang kerajaan penerus Dinasti Mataram itu dirancang ulang dengan melibatkan unsur budaya lokal, salah satunya diantaranya dengan menghilangkan huruf latin dan menggantinya dengan aksara Jawa. Yang menarik, keberadaan mahkota masih dipertahankan,meneruskan tradisi lambang kerajaan bergaya Eropa, namun dengan sentuhan khas Jawa.
Kraton Kasunanan Surakarta memiliki lambang yang dikenal dengan nama Radya Laksana, yang menurut buku Baoesastra Djawa berarti ‘tanda kerajaan’ atau ‘jalan kerajaan’. Lambang ini diciptakan dan mulai dipergunakan pada zaman Sri Susuhunan Paku Buwana X (bertahta 1893-1939), diilhami oleh relief gambar kuno yang terdapat diatas Kori Sri Manganti Kraton Kasunanan Surakarta.
Radya Laksana terdiri dari sejumlah elemen visual, yaitu: makutha atau mahkota berwarna merah dan kuning, warna dasar biru muda, surya (matahari), candra atau sasangka (rembulan), kartika (bintang), bumi, paku, kapas dan padi, serta pita merah putih. Lambang ini merupakan wujud dan gambaran inti kebudayaan Kraton Kasunanan Surakarta. Secara harafiah mengandung makna ‘perilaku lahir batin untuk menjunjung
tinggi negara’, sebuah ajaran dan pedoman bagi Sang Ratu, sentana, abdidalem dan kawula dalem yang berkiblat ke Kraton Kasunanan Surakarta berdasarkan semangat kebudayaan Jawa yang dimuliakan.
Kraton Kasultanan Yogyakarta memiliki lambang yang disebut dengan istilah Praja Cihna. Lambang ini dirancang dan mulai dipergunakan semenjak zaman Sri Sultan Hamengku Buwono VIII (bertahta 1921-1939). Secara visual lambang ini terdiri dari elemen makutha atau mahkota, sayap, serta dua huruf Jawa yang menjadi inisial nama sang raja, yaitu “ho” untuk Hamengku dan “bo” untuk Buwono, sehingga lebih sering dikenal dengan istilah “Hobo”.
Mekutha atau mahkota yang menghiasi lambang Kraton Kasultanan Yogyakarta diwujudkan dalam bentuk songkok, sebentuk tutup kepala khas prajurit Mataram yang menjadi simbol kegagahberanian yang mendominasi kultur Yogyakarta, warisan dari pendirinya, Pangeran Mangkubumi yang kemudian bertahta sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono I.
Yang sering luput dari perhatian, lambang Kraton Kasultanan Yogyakarta ini berubah dari waktu ke waktu, sesuai dengan nama dan masa sultan yang bertahta. Awalnya, jumlah bulu pada gambar sayap di masing-masing sisi berjumlah delapan buah, sebagai identitas dari Sri Sultan Hamengku Buwono VIII sebagai sultan yang ke-8. Saat ini, gambar sayap tersebut terdiri dari 10 lembar bulu di masing-masing sisi.
Praja Cihna dipergunakan dalam kegiatan administratif serta menjadi identitas utama dalam berbagai sarana dan perlengkapan di lingkungan kraton. Lambang ini juga dipergunakan secara luas sebagai identitas yang dibanggakan oleh masyarakat Yogyakarta, bahkan acapkali dimodifikasi sedemikian rupa sesuai dengan kebutuhan kelompok masyarakat penggunanya. Meski tidak secara langsung berkaitan dengan kepentingan kraton, ini menjadi salah bentuk kecintaan dan kebanggaan masyarakat Yogyakarta terhadap keberadaan kraton beserta sultan yang dicintainya.
Lambang Kadipaten Mangkunegaran lazim disebut dengan nama Suryo Sumirat yang bermakna ‘matahari yang bersinar’. Lambang ini terdiri dari bentuk makutha atau mahkota, matahari bersinar, dua huruf latin ‘MN’ sebagai inisial nama pangeran yang bertahta, rangkaian kapas dan padi, busur dan anak panah serta pita merah putih.
Makutha atau mahkota di puncak lambang Kadipaten Mangkunegaran merupakan simbol status otonomi trah Mangkunegaran, setara dengan kedudukan putra mahkota di Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Pita merah putih di bagian bawah merupakan perwujudan dari simbol ‘gula klapa’ yang berkaitan dengan ritus kesuburan dalam kepercayaan masyarakat Jawa.
Sementara lambang Kadipaten Pakulaman tampak lebih mendekati bentuk lambang Kraton Kasultanan Yogyakarta, dengan elemen utama berupa makutha atau mahkota dan sayap yang terbentang di sisi kanan dan kiri.
Tampaknya, mahkota telah menjadi ornamen universal yang muncul di setiap lambang kraton penerus Dinasti Mataram ini, meski keberadaannya tidak pernah dikenal sebagai simbol legitimasi kekuasaan. Dalam tradisinya, dinasti ini lebih sering menggunakan pusaka-pusaka kerajaan serta prosesi adat sebagai simbol legitimasi yang diwariskan secara turun temurun.
Teks: Agus Yuniarso untuk Kabare Magazine.
This post have 0 Comment
EmoticonEmoticon