Tradisi yang terus lestari tak hanya menentramkan hati, namun juga memberikan kebanggaan atas ragam kekayaan budaya di negeri ini. Salah satunya adalah merti desa, sebuah tradisi yang tak hanya lestari, namun juga semakin marak digelar di berbagai pesosok desa, khususnya di seputar Yogyakarta.
Merti desa – sering disebut juga bersih desa – hakekatnya adalah simbol rasa syukur masyarakat kepada Yang Maha Kuasa atas limpahan karunia yang diberikan-Nya. Karunia tersebut bisa berwujud apa saja, seperti kelimpahan rezeki, keselamatan, serta ketentraman dan keselarasan hidup. Bahkan orang Jawa percaya, ketika sedang dilanda duka dan tertimpa musibah pun, masih banyak hal yang pantas disyukuri. Masih ada hikmah dan pelajaran positif yang dapat dipetik dari terjadinya sebuah petaka. Disamping itu, rasa syukur juga bisa menjadi pelipur sekaligus sugesti yang menghadirkan ketenangan jiwa.
Ada banyak cara untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Sang Maha Kuasa. Dalam tradisi merti desa, lampiasan rasa syukur ini diwujudkan dalam bentuk sedekah yang kemudian menjadi ciri dalam setiap ritualnya. Wujudnya bisa bermacam ragam. Salah satunya dalam bentuk gunungan, merujuk dan menyerupai bentuk sedekah yang dilakukan oleh Sultan pada setiap penyelenggaraan Upacara Garebeg di Kraton Yogyakarta.
Detail bentuk dan bahan yang dipergunakan untuk membuat gunungan akan disesuaikan dengan ciri dan karakter setiap desa yang menyelenggarakannya. Umumnya dilakukan dengan memanfaatkan dan mengolah hasil bumi yang tumbuh subur dan menghidupi warganya. Ini juga terkait dengan misi lain penyelenggaraannya, yaitu mewujudkan keselarasan manusia dengan alam sekitarnya. Manusia telah mengambil dan menikmati banyak materi dari alam. Untuk itulah suatu tatacara dilakukan secara berkala sebagai penghormatan kepada alam sekaligus untuk mengingatkan diri agar tidak melakukan eksploitasi berlebihan terhadap alam yang telah memberi penghidupan, karena hakekatnya manusia dan alam ada untuk saling melengkapi.
Di penghujung acara, sedekah yang diwujudkan dalam bentuk gunungan berikut sesajian dan beragam ubo rampe itu akan dibagikan kepada seluruh warga desa serta siapapun yang hadir. Kadang, prosesi pembagian sedekah ini sengaja dilakukan dengan cara diperebutkan, sehingga menghadirkan atraksi yang begitu meriah sebagaimana yang berlangsung dalam Upacara Garebeg.
Selain menjadi perwujudan rasa syukur, upacara merti desa acapkali juga terkait dengan ritual penghormatan kepada leluhur, sehingga menghadirkan berbagai ritual simbolik terkait dengan tokoh dan riwayat yang diyakini menjadi cikal bakal keberadaannya. Semuanya dilakukan dengan tetap memanjatkan do’a dan permohonan kepada Yang Maha Kuasa demi keselamatan, ketentraman, kesejahteraan dan keselarasan hidup seluruh warga desa.
Silaturahmi, guyub, rukun, gotong royong, kebersamaan, keakraban, tepa selira dan harmonis adalah sebagian dari sederetan kosakata yang begitu tepat dan saling menjalin makna saat menggambarkan bagaimana suasana yang terpancar dari berlangsungnya tradisi merti desa.
Merti desa – sering disebut juga bersih desa – hakekatnya adalah simbol rasa syukur masyarakat kepada Yang Maha Kuasa atas limpahan karunia yang diberikan-Nya. Karunia tersebut bisa berwujud apa saja, seperti kelimpahan rezeki, keselamatan, serta ketentraman dan keselarasan hidup. Bahkan orang Jawa percaya, ketika sedang dilanda duka dan tertimpa musibah pun, masih banyak hal yang pantas disyukuri. Masih ada hikmah dan pelajaran positif yang dapat dipetik dari terjadinya sebuah petaka. Disamping itu, rasa syukur juga bisa menjadi pelipur sekaligus sugesti yang menghadirkan ketenangan jiwa.
Ada banyak cara untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Sang Maha Kuasa. Dalam tradisi merti desa, lampiasan rasa syukur ini diwujudkan dalam bentuk sedekah yang kemudian menjadi ciri dalam setiap ritualnya. Wujudnya bisa bermacam ragam. Salah satunya dalam bentuk gunungan, merujuk dan menyerupai bentuk sedekah yang dilakukan oleh Sultan pada setiap penyelenggaraan Upacara Garebeg di Kraton Yogyakarta.
Detail bentuk dan bahan yang dipergunakan untuk membuat gunungan akan disesuaikan dengan ciri dan karakter setiap desa yang menyelenggarakannya. Umumnya dilakukan dengan memanfaatkan dan mengolah hasil bumi yang tumbuh subur dan menghidupi warganya. Ini juga terkait dengan misi lain penyelenggaraannya, yaitu mewujudkan keselarasan manusia dengan alam sekitarnya. Manusia telah mengambil dan menikmati banyak materi dari alam. Untuk itulah suatu tatacara dilakukan secara berkala sebagai penghormatan kepada alam sekaligus untuk mengingatkan diri agar tidak melakukan eksploitasi berlebihan terhadap alam yang telah memberi penghidupan, karena hakekatnya manusia dan alam ada untuk saling melengkapi.
Di penghujung acara, sedekah yang diwujudkan dalam bentuk gunungan berikut sesajian dan beragam ubo rampe itu akan dibagikan kepada seluruh warga desa serta siapapun yang hadir. Kadang, prosesi pembagian sedekah ini sengaja dilakukan dengan cara diperebutkan, sehingga menghadirkan atraksi yang begitu meriah sebagaimana yang berlangsung dalam Upacara Garebeg.
Selain menjadi perwujudan rasa syukur, upacara merti desa acapkali juga terkait dengan ritual penghormatan kepada leluhur, sehingga menghadirkan berbagai ritual simbolik terkait dengan tokoh dan riwayat yang diyakini menjadi cikal bakal keberadaannya. Semuanya dilakukan dengan tetap memanjatkan do’a dan permohonan kepada Yang Maha Kuasa demi keselamatan, ketentraman, kesejahteraan dan keselarasan hidup seluruh warga desa.
Silaturahmi, guyub, rukun, gotong royong, kebersamaan, keakraban, tepa selira dan harmonis adalah sebagian dari sederetan kosakata yang begitu tepat dan saling menjalin makna saat menggambarkan bagaimana suasana yang terpancar dari berlangsungnya tradisi merti desa.
Naskah & Foto: Agus Yuniarso untuk Kabare Magazine.
This post have 0 Comment
EmoticonEmoticon