Kerinduan penggemar rock progresif di Jogja, sontak terobati ketika Sawung Jabo bersama Sirkus Barock tampil di Gedung Societet, Taman Budaya Yogyakarta (TBY), awal November 2012 lalu.
Gelar pentas ini menandai pelepasan album “Anak Angin”, album ke-6 Sirkus Barock sejak dibentuk 37 tahun lalu. Pada saat yang sama, panggung “Nyawung Jaboan” digelar oleh komunitas Folk Mataram Institute (FMI) bersama sejumlah seniman Jogja, sebagai spontanitas menyambut kehadiran kembali Sang Maestro. Mereka membawakan kembali lagu-lagu Sawung Jabo dan Sirkus Barock dengan gaya dan interpretasi mereka sendiri.
Sebagaimana adatnya, album baru yang melanjutkan rangkaian perjalanan kreatif Sawung Jabo bersama kelompok musik bentukannya ini, dengan lugas melantunkan pandangan dan kepedulian terhadap realitas sosial sehari-hari. Bedanya, konsep tematik dan tuturan yang diusung kali ini tak terlalu ekspansif, cenderung mendendangkan introspeksi dan kontemplasi.
Album ini merupakan perenungan perjalanan pribadi dan pemaknaan kenyataan hidup Sang Maestro. “Tapi yang pasti dalam berkarya kami berusaha selalu jujur dan mengungkapkan kenyataan berdasarkan pandangan dan opini.” kata Sawung Jabo.
Dari 11 lagu dalam album Anak Angin ini, dimunculkan kembali 2 lagu lawas berjudul “Goro-goro” dan” Tuhan Itu?”. Keduanya diaransemen ulang sewarna dengan keseluruhan garapan musik di album baru ini yang menyatukan instrumen modern dan gamelan yang menghadirkan sajian musik yang unik dan menarik. Proses pembuatannya sendiri melibatkan sejumlah musisi muda, seperti Joel (gitar), Sinung (bas), Bagus (kibor), Ucok (biola), Endi (drum), Denny (perkusi), dan Giana (backing vocal).
Berawal dari kolaborasi Komunitas Arek-arek Suroboyo (KAAS) dan mahasiswa Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) di Yogyakarta, Jabo membentuk Sirkus Barock pada tahun 1976. Innisisri, Nanoe, Totok Tewel dan Edi Darome adalah nama-nama yang tercatat sebagai musisi tetapnya. Diluar mereka, masih banyak musisi lain yang terlibat sepanjang lebih dari tiga dekade perjalanannya.
”Sirkus Barock merupakan kelompok musisi yang terbuka bagi siapa saja. Ada ratusan musisi yang telah bergabung dengan Sirkus Barock sejak pertama kali terbentuk.” ungkap Jabo.
Sebelum album Anak Angin, Sirkus Barock telah menelurkan sejumlah album, diantaranya: Anak Setan (1986), 10 Bintang Nusantara (album kompilasi, 1988), Bukan Debu Jalanan (1989), Kanvas Putih (1993), Fatamorgana (1994) dan Jula Juli Anak Negeri (2001).
Sawung Jabo sendiri lahir di Surabaya dengan nama Mochamad Djohansyah, 61 tahun yang lalu. Sebagai seniman dan musisi kawakan, nama Jabo makin dikenal luas sejak kerjasamanya dengan Iwan Fals dalam album Swami (1989), yang berlanjut dengan kolaborasi mereka berdua dengan Setiawan Djodi, W.S. Rendra dan Jockie Suryoprajogo dalam kelompok musik Kantata Taqwa (1990).
Dari album Swami I (1989) yang tercatat dalam daftar 150 Album Indonesia Terbaik versi majalah The Rolling Stone (2007), lahir 2 tembang legendaris “Bento” dan “Bongkar”, Swami II (1991) memunculkan tembang “Hio” dan “Kuda Lumping” yang begitu rancak, sementara album Kantata Taqwa (1990) yang juga masuk dalam daftar 150 Album Indonesia Terbaik, melahirkan sejumlah tembang yang begitu akrab di telinga pecintanya, seperti “Kantata Taqwa”, “Kesaksian”, “Paman Doblang” dan “Air Mata”.
Selepas tahun 2000, Sawung Jabo lebih banyak melansir lagu-lagu yang bernuansa religius, menggali makna kehidupan, percintaan, dan perenungan diri.
Gedung Societet TBY malam itu, menjadi saksi betapa masih digdayanya Sawung Jabo membius para penggemar rock progresif Indonesia, membisikkan pandangan dan kepedulian terhadap realitas sosial sehari-hari, dalam teriakan berirama yang begitu rancak dan penuh gairah.
Kabare Magazine, edisi Desember 2012 (Teks: Agus Yuniarso; Foto: Budi Prast)