Jumat, 17 Januari 2014

Siapa nyana, dibalik secangkir teh yang kita nikmati, tersembunyi kilas panjang perjalanan salah satu komoditas yang mewarnai beradaban manusia di penjuru dunia. Inilah kisah tentang minuman sehari-hari yang biasa tersaji dari hasil seduhan daun teh (Camellia sinensis) dalam air panas, yang aromanya senantiasa memikat untuk dinikmati.

Riwayat teh dunia dimulai dari sebuah wilayah hutan purba di Cina, tepatnya di provinsi Yunnan di bagian barat daya negeri itu, dimana pohon teh berasal. Disini ditemukan tanaman teh yang mencapai umur lebih dari 800 tahun serta pepohonan teh liar yang berusia tak kurang dari 2.700 tahun.

Konon sejak abad ke-8 sebelum Masehi, teh telah dipergunakan oleh masyarakat Cina sebagai salah satu bahan dalam ramuan obat-obatan. Kala itu, mereka mengunyah teh untuk mendapatkan kenikmatan rasa yang muncul dari daun teh. Dalam perkembangannya, teh juga dipadukan dengan beragam jenis bahan makanan, termasuk sebagai penyedap dalam racikan sop tradisional.

Di era Dinasti Han (221 SM – 8 M), teh mulai diolah, dikeringkan, disimpan, dan disajikan sebagai minuman seduhan yang dipadukan dengan berbagai ramuan lainnya dan mulai menjadi suguhan dalam tradisi perjamuan tamu. Teh pun kemudian berkembang sebagai bagian tak terpisahkan dari konsumsi keseharian dalam tradisi masyarakat Cina. Pada tahun 800 Masehi, muncul salah satu dokumentasi tertua seputar teh. Dalam buku berjudul Cha Ching yang ditulis oleh Lu Yu ini, terangkum beragam definisi seputar teh berikut catatan tentang metode bertanam dan teknik pengolahannya.

Seiring dengan masa-masa awal persebaran ragam budaya Cina yang kemudian mendunia, tradisi menanam dan menikmati teh pun turut menyebar luas dan merambah berbagai negeri seberang. Di Jepang, teh diperkenalkan oleh seorang pendeta Buddha bernama Yeisei. Tokoh yang dikenal sebagai Bapak Teh di Jepang ini melihat bahwa teh memiliki kemampuan untuk meningkatkan konsentrasi saat bermeditasi. Inilah muasal keterkaitan khas antara teh dengan Zen Buddhism di negeri Sakura ini.

Dalam perkembangannya, teh pun kemudian dikenal dan diminati di lingkungan istana kekaisaran yang berlanjut menyebar cepat di kalangan masyarakat kebanyakan. Teh bahkan berkembang menjadi bagian dari tradisi perjamuan khas Jepang yang dikenal sebagai Japanese tea ceremony atau cha-no-yu, sebuah ritual anggun dan mempesona yang menyiratkan kesopanan dan penghormatan yang sempurna.

Budaya menikmati teh di belahan bumi Timur Jauh ini pun akhirnya sampai pula ke telinga orang Eropa. Salah satu pengelana Eropa yang secara pribadi mengenal dan menulis tentang teh adalah adalah Jesuit Father Jasper de Cruz pada tahun 1560.

Semenjak dibukanya hubungan perdagangan antara Portugis dan Cina, jalur perdagangan teh pun mulai menjalar dan menjangkau Eropa yang membawa popularitas teh di kalangan masyarakat Barat. Inggris mulai mengenalnya sekitar tahun 1650-an. Ketenarannya melambungkan sehingga minuman ini nyaris terkatakan sebagai minuman nasional masyarakat Inggris.

Teh juga menjadi kegemaran di kalangan kerajaan Belanda dan menjadi barang yang relatif mahal kala itu, sehingga menjadi komoditi dagang yang sangat menguntungkan. Teh pun menjadi begitu populer di Perancis, meski kemudian tergusur oleh kehadiran ragam minuman yang memiliki daya tarik yang lebih kuat seperti anggur, kopi, dan cokelat.

Teh pun berkembang menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian masyarakat Eropa. Ragam kombinasi penyajian dan cara menikmati teh pun turut berkembang, termasuk masuknya teh dalam sajian eksklusif di berbagai kedai dan restoran-restoran berikut perkakas teh portabel lengkap disertai alat pemanasnya.

Teh merupakan sumber alami kafein, teofilin dan antioksidan dengan kadar lemak, karbohidrat atau protein mendekati nol persen. Teh bila diminum terasa sedikit pahit yang merupakan kenikmatan tersendiri dari teh. Dalam perkembangannya, istilah "teh" juga digunakan untuk minuman yang dibuat dari buah, rempah-rempah atau tanaman obat lain yang diseduh, sementara teh yang tidak mengandung daun teh acapkali disebut sebagai teh herbal.

Di Indonesia, teh bunga dengan campuran kuncup bunga melati yang disebut teh melati atau teh wangi melati merupakan jenis teh yang paling populer. Yang jarang disadari, meski menjadi negara penghasil teh terbesar kelima di dunia, konsumsi teh per kapita di Indonesia masih tergolong rendah, hanya di kisaran 0,8 kilogram per tahunnya, jauh di bawah negara-negara lain di dunia.

Senantiasa membudayakan minum secangkir teh setiap hari, entah di rumah, di angkringan atau di restoran mewah, boleh jadi tak hanya akan melestarikan aroma eksotis dari seduhan daun teh yang begitu legendaris, namun juga turut menjaga keberlangsungan hasil bumi yang ditanam dan diolah di negeri sendiri. Nah, sudahkah menuangkan dan menyeruput secangkir teh hari ini?

Teks: Agus Yuniarso untuk Kabare Magazine.

This post have 0 Comment


EmoticonEmoticon

Next article Next Post
Previous article Previous Post

Advertisement

Subscribe
Boleh Juga Inc.