Pada tahun 1977, National Aeronautics and Space Administration (NASA), badan antarikasi pemerintah Amerika Serikat meluncurkan pesawat ruang angkasa Voyager 1. Meski tidak diarahkan ke tujuan tertentu, namun dalam waktu 40.000 tahun, pesawat ini diharapkan akan mencapai posisi 1,6 tahun cahaya dari bintang Gliese 445 yang saat ini berada di konstelasi Camelopardalis.
Voyager diperkirakan menjadi obyek buatan manusia yang berada paling jauh dari planet bumi dengan kemampuannya melakukan perjalanan hingga batas luar tata surya. Karenanya, selain demi misi awal untuk mempelajari planet Yupiter dan Saturnus, pesawat luar angkasa tanpa awak ini juga mengemban misi lain luar angkasa, yakni ‘misi kebudayaan’.
Voyager Golden Records, sebuah rekaman phonograph diatas plat tembaga berlapis emas, turut serta bersama Voyager dalam penjelajahannya di luar angkasa yang ditujukan kepada bentuk kehidupan cerdas di manapun di luar angkasa atau manusia bumi di masa depan yang mungkin akan menemukannya. Tentu dibutuhkan waktu yang teramat sangat lama hingga tujuan itu tercapai. Dan akan sangat luar biasa jika akhirnya piringan emas itu dapat ditemukan secara kebetulan oleh bentuk kehidupan lain. kalaupun ditemukan, tentu pada masa yang sangat jauh di depan nanti.
Piringan emas yang berisikan aneka suara dan gambar pilihan dari keanekaragaman di seputar peradaban manusia di planet bumi ini, kiranya menjadi semacam ‘kapsul waktu’ yang menjadi pernyataan simbolis manusia untuk menyapa peradaban lain yang mungkin ada di semesta raya.
Lalu, apa saja yang ada dalam piringan emas yang telah melanglang buana itu?
Isi piringan Voyager Golden Records dipilih oleh sebuah tim yang dipimpin oleh pakar astronomi Dr. Carl Edward Sagan dari Cornell University dan mengabadikan 115 gambar serta rekaman suara-suara alam seperti ombak, angin, petir serta suara-suara binatang, termasuk kicauan burung dan suara ikan paus. Piringan ini juga berisi rekaman musik dari beragam latar budaya di dunia, serta ucapan salam dalam 55 bahasa, termasuk juga pesan tercetak dari Presiden Amerika Serikat Jimmy Carter dan Sekretaris Jenderal PBB Kurt Waldheim, dua orang pemimpin dunia saat itu.
Yang istimewa, tak banyak kiranya orang Indonesia yang tahu selama ini, selain menampilkan mahakarya para maestro berkelas dunia seperti Johann Sebastian Bach, Wolfgang Amadeus Mozart, Ludwig van Beethoven atau Igor Stravinsky, piringan Voyager Golden Records juga menyertakan komposisi musik asli Nusantara diantara 27 komposisi terpilih dari berbagai penjuru dunia yang kesemuanya direkam dalam 90 menit masa putar.
Musik asli Nusantara itu adalah gendhing Ketawang Puspawarna, sebuah komposisi gamelan yang dipergelarkan pada tahun 1971di Pura Pakualaman Yogyakarta dibawah pimpinan sang maestro gamelan K.R.T. Wasitodipuro (atau K.R.T. Wasitodiningrat, kemudian K.P.H. Notoprojo). Komposisi ini direkam oleh etnomusikolog Prof. Robert E. Brown dan kemudian turut mengisi piringan Voyager Golden Records dengan masa putar 4 menit 43 detik. Pada tahun 1983, penghargaan tinggi juga diberikan NASA kepada sang maesro gamelan, ketika nama ‘Wasitodiningrat’ diabadikan dalam International Star Registry dan tercatat di Library of Congress sebagai nama sebuah bintang yang terletak di rasi bintang Andromeda.
“Sejajar dengan mahakarya para maestro berkelas dunia dan membahana seantero semesta raya“. Mungkin demikianlah pengharapan yang dipanjatkan ketika Presiden RI Ir. Soekarno menyetujui nama ‘Lokananta’ yang diusulkan oleh R. Maladi, sebagai nama perusahaan piringan hitam dibawah Radio Republik Indonesia (RRI), sekitar dua dasawarsa sebelum Ketawang Puspawarna mengangkasa bersama roket Voyager. Dalam legenda pewayangan, Lokananta adalah seperangkat gamelan di Kahyangan Suralaya, tempat dimana para dewa berada, yang dapat berbunyi sendiri tanpa ditabuh dan mengalunkan irama dan gemanya yang syahdu.
Sebagai salah satu cikal bakal industri rekaman di era kemerdekaan Indonesia, khususnya untuk rekaman musik tradisional, Lokananta diakui telah memberikan sumbangsih peran yang begitu penting dan dominan. Nama K.R.T. Wasitodipuro yang kemudian diakui sebagai maestro gamelan berkelas dunia pun termasuk diantara daftar nama seniman yang mengabadikan sebagian karyanya dari studio rekaman Lokananta di Kota Surakarta ini.
Salah satu torehan karya K.R.T. Wasitodipuro yang direkam di Lokananta dan melegenda lestari hingga saat ini adalah album piringan hitam ‘Djawa Tengah Membangun dengan Modernisasi Desa’, sebuah koleksi sumbangan Gubernur Jawa tengah yang diproduksi atas kerjasama Karyawan Direktorat Agraria Jawa Tengah, RRI Semarang dan Ki Nartosabdho di tahun 1967. Lagu ‘mBangun Desa’, ‘Modernisasi Desa’, Stambuk Badju Biru’ atau ‘Krontjong Telomojo’ yang ditulis oleh K.R.T. Wasitodipuro di album ini, begitu lekat di telinga para penggemar musik tradisional Jawa di tahun 1970-an.
Lokakanta, yang kini berstatus sebagai perseroan terbatas dibawah Perum Percetakan Negara Republik Indonesia, diharapkan tetap mampu mempertahankan perannya sebagai pelestari keragaman musik tradisional Nusantara, meski selera zaman dan teknologi yang terus berubah diakui semakin menjauhkan sebagian besar penikmat musik dari khasanah tradisional yang ada di sekelilingnya. Jikapun bukan lagi sebagai produsen, setidaknya fungsinya sebagai pusat edukasi dan dokumentasi dapat terus dipertahankan dan dikembangkan.
Sekian dasawarsa yang lampau, NASA berikut Voyager dan Golden Records-nya telah melangkah jauh dengan memberikan apresiasi yang begitu tinggi terhadap seniman dan karya musik tradisional Indonesia. Kapan giliran kita sendiri? Tak ada lagi yang perlu ditunggu. Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Kalau bukan kita, lalu siapa lagi? Dari Lokakanta, semua langkah bisa diawali kembali demi lestarinya musik tradisional sebagai salah satu kekayaan budaya negeri ini.
Voyager diperkirakan menjadi obyek buatan manusia yang berada paling jauh dari planet bumi dengan kemampuannya melakukan perjalanan hingga batas luar tata surya. Karenanya, selain demi misi awal untuk mempelajari planet Yupiter dan Saturnus, pesawat luar angkasa tanpa awak ini juga mengemban misi lain luar angkasa, yakni ‘misi kebudayaan’.
Voyager Golden Records, sebuah rekaman phonograph diatas plat tembaga berlapis emas, turut serta bersama Voyager dalam penjelajahannya di luar angkasa yang ditujukan kepada bentuk kehidupan cerdas di manapun di luar angkasa atau manusia bumi di masa depan yang mungkin akan menemukannya. Tentu dibutuhkan waktu yang teramat sangat lama hingga tujuan itu tercapai. Dan akan sangat luar biasa jika akhirnya piringan emas itu dapat ditemukan secara kebetulan oleh bentuk kehidupan lain. kalaupun ditemukan, tentu pada masa yang sangat jauh di depan nanti.
Piringan emas yang berisikan aneka suara dan gambar pilihan dari keanekaragaman di seputar peradaban manusia di planet bumi ini, kiranya menjadi semacam ‘kapsul waktu’ yang menjadi pernyataan simbolis manusia untuk menyapa peradaban lain yang mungkin ada di semesta raya.
Lalu, apa saja yang ada dalam piringan emas yang telah melanglang buana itu?
Isi piringan Voyager Golden Records dipilih oleh sebuah tim yang dipimpin oleh pakar astronomi Dr. Carl Edward Sagan dari Cornell University dan mengabadikan 115 gambar serta rekaman suara-suara alam seperti ombak, angin, petir serta suara-suara binatang, termasuk kicauan burung dan suara ikan paus. Piringan ini juga berisi rekaman musik dari beragam latar budaya di dunia, serta ucapan salam dalam 55 bahasa, termasuk juga pesan tercetak dari Presiden Amerika Serikat Jimmy Carter dan Sekretaris Jenderal PBB Kurt Waldheim, dua orang pemimpin dunia saat itu.
Yang istimewa, tak banyak kiranya orang Indonesia yang tahu selama ini, selain menampilkan mahakarya para maestro berkelas dunia seperti Johann Sebastian Bach, Wolfgang Amadeus Mozart, Ludwig van Beethoven atau Igor Stravinsky, piringan Voyager Golden Records juga menyertakan komposisi musik asli Nusantara diantara 27 komposisi terpilih dari berbagai penjuru dunia yang kesemuanya direkam dalam 90 menit masa putar.
Musik asli Nusantara itu adalah gendhing Ketawang Puspawarna, sebuah komposisi gamelan yang dipergelarkan pada tahun 1971di Pura Pakualaman Yogyakarta dibawah pimpinan sang maestro gamelan K.R.T. Wasitodipuro (atau K.R.T. Wasitodiningrat, kemudian K.P.H. Notoprojo). Komposisi ini direkam oleh etnomusikolog Prof. Robert E. Brown dan kemudian turut mengisi piringan Voyager Golden Records dengan masa putar 4 menit 43 detik. Pada tahun 1983, penghargaan tinggi juga diberikan NASA kepada sang maesro gamelan, ketika nama ‘Wasitodiningrat’ diabadikan dalam International Star Registry dan tercatat di Library of Congress sebagai nama sebuah bintang yang terletak di rasi bintang Andromeda.
“Sejajar dengan mahakarya para maestro berkelas dunia dan membahana seantero semesta raya“. Mungkin demikianlah pengharapan yang dipanjatkan ketika Presiden RI Ir. Soekarno menyetujui nama ‘Lokananta’ yang diusulkan oleh R. Maladi, sebagai nama perusahaan piringan hitam dibawah Radio Republik Indonesia (RRI), sekitar dua dasawarsa sebelum Ketawang Puspawarna mengangkasa bersama roket Voyager. Dalam legenda pewayangan, Lokananta adalah seperangkat gamelan di Kahyangan Suralaya, tempat dimana para dewa berada, yang dapat berbunyi sendiri tanpa ditabuh dan mengalunkan irama dan gemanya yang syahdu.
Sebagai salah satu cikal bakal industri rekaman di era kemerdekaan Indonesia, khususnya untuk rekaman musik tradisional, Lokananta diakui telah memberikan sumbangsih peran yang begitu penting dan dominan. Nama K.R.T. Wasitodipuro yang kemudian diakui sebagai maestro gamelan berkelas dunia pun termasuk diantara daftar nama seniman yang mengabadikan sebagian karyanya dari studio rekaman Lokananta di Kota Surakarta ini.
Salah satu torehan karya K.R.T. Wasitodipuro yang direkam di Lokananta dan melegenda lestari hingga saat ini adalah album piringan hitam ‘Djawa Tengah Membangun dengan Modernisasi Desa’, sebuah koleksi sumbangan Gubernur Jawa tengah yang diproduksi atas kerjasama Karyawan Direktorat Agraria Jawa Tengah, RRI Semarang dan Ki Nartosabdho di tahun 1967. Lagu ‘mBangun Desa’, ‘Modernisasi Desa’, Stambuk Badju Biru’ atau ‘Krontjong Telomojo’ yang ditulis oleh K.R.T. Wasitodipuro di album ini, begitu lekat di telinga para penggemar musik tradisional Jawa di tahun 1970-an.
Lokakanta, yang kini berstatus sebagai perseroan terbatas dibawah Perum Percetakan Negara Republik Indonesia, diharapkan tetap mampu mempertahankan perannya sebagai pelestari keragaman musik tradisional Nusantara, meski selera zaman dan teknologi yang terus berubah diakui semakin menjauhkan sebagian besar penikmat musik dari khasanah tradisional yang ada di sekelilingnya. Jikapun bukan lagi sebagai produsen, setidaknya fungsinya sebagai pusat edukasi dan dokumentasi dapat terus dipertahankan dan dikembangkan.
Sekian dasawarsa yang lampau, NASA berikut Voyager dan Golden Records-nya telah melangkah jauh dengan memberikan apresiasi yang begitu tinggi terhadap seniman dan karya musik tradisional Indonesia. Kapan giliran kita sendiri? Tak ada lagi yang perlu ditunggu. Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Kalau bukan kita, lalu siapa lagi? Dari Lokakanta, semua langkah bisa diawali kembali demi lestarinya musik tradisional sebagai salah satu kekayaan budaya negeri ini.
Sumber: Kabare Magazine edisi Mei 2014. Teks: Agus Yuniarso; Foto: Budi Prast.