Selasa, 16 Mei 2017

Siapa sangka jika warisan kebumian atau geoheritage dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi sebagian traveler untuk berkunjung dan mengamati keindahannya. Inilah rahasia alam yang memberi bukti cerita dan proses alam yang utuh, serta menjadi sesuatu yang langka dijumpai; sebuah peristiwa terbentuknya peristiwa bencana kebumian masa lampau dan masa sekarang.

Mengamati langsung warisan geologi, ada sebuah pesan tersirat yang dituliskan oleh alam bahwa sudah seharusnya kita sebagai manusia mampu bersikap bijaksana, berpikir dan memiliki sudut pandang luas dalam meyikapi dan mengapresiasi masa lalu untuk menatap masa depan.

Di sekitar Daerah Istimewa Yogyakarta, terdapat sejumlah situs geologi menarik, seperti apa warisan geologi yang kini menjadi geoheritage.

Sebut saja nama sejumlah situs berikut fenomena geologis yang menyertainya, seperti Lava Bantal Berbah, Formasi Semilir, Konglomerat Kuarsa Bayat, Situs Watu Prahu Bayat, Bentang Alam Tancep, Bentang Alam Wonosari, Formasi Sambipitu, terakhir Situs Gunung Api Purba Nglanggeran, yang saat ini menjadi salah satu primadona wisata di Kabupaten Gunungkidul.

Belum lagi sejumlah potensi geoheritage, seperti Sesar Opak, Sungai Bengawan Solo Purba, gugusan Pegunungan Menoreh, Pegunungan Seribu, pantai-pantai berpasir putih serta goa-goa kapur di Gunung Kidul, Gumuk Pasir di Parangtritis, serta Gunung Merapi yang masih aktif hingga hari ini. Tak lupa tersebut, meski pada jarak yang sedikit jauh, adalah Situs Karangsambung dan Sungai Luk Ulo di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah.

Keragaman geoheritage ini memunculkan sebuah potensi besar di bidang wisata yang harus digali. Seperti wilayah Gunungkidul yang terkenal akan keindahan pantai dan goa-goa yang eksotis, Gunungkidul bahkan diusulkan menjadi taman dunia (geopark) untuk melestarikan kawasan batuan karst yang ada di kabupaten ini.

Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, MSc, PhD, pakar geologi dari Universitas Gadjah Mada, menyebutkan bahwa potensi geoheritage yang ada di sekitar Yogyakarta ini sudah selayaknya dikelola sebagai alternatif wisata edukasi.

“Ini merupakan buku sejarah bagi generasi muda saat ini yang memang masih awam mengenai geoheritage, merupakan buku sejarah dalam bentuk nyata. Rekaman masa lalu dan bisa disebut sebagai museum alam yang berguna untuk edukasi,” kata staf pengajar dan mantan Ketua Jurusan Teknik Geologi UGM ini.

Semangat untuk menyebarluaskan potensi geoheritage dan berbagai fenomena geoligis berbasis pengamatan langsung di lapangan dimunculkan oleh Dr. Ir. C. Prasetyadi, MSc, pakar geologi dari UPN ‘Veteran’ Yogyakarta.

“Dengan mengajak belajar secara langsung di lapangan, diharapkan semakin banyak orang yang semakin arif dan waspada akan kenyataan bahwa kita ini hidup “berkalang” bencana di tanah busur gunung api Pulau Jawa yang kita cintai dan banggakan ini,” tuturnya.

Kepeduliannya ini mulai diwujudkannya dengan memprakarsai terselengaranya Geoheritage in Jogja Biennale XI pada tahun 2011-2012 lalu. Dan sejak saat itu, puluhan kesempatan one day field trip telah dilakukannya dengan berbagai komunitas dan kelompok masyarakat, berbagi ilmu untuk memahami sebagian warisan kebumian di seputar Daerah Istimewa Yogyakarta.

Potensi keindahan geoheritage yang ada di seputar wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta ini akan semakin maju dan terjaga kelestariannya jika kawasan ini menjadi geopark internasional. Tentunya, salah satu syarat untuk menjadi taman bumi dunia adalah pengelolaan yang mengedepankan kearifan lokal.

Jika nantinya kawasan geoheritage ini dikemas dengan baik maka akan menjadi wisata alternatif minat khusus yang sangat potensial. Wisata ini tak hanya memanjakan para traveler dengan keindahan alam semata, namun juga mengedukasi para traveler bahwa proses alam yang utuh termasuk bencana kebumian di masa lampau tentu saja merupakan suatu mata rantai yang tak terputus dari peristiwa geologi sekarang. Seperti, terjadinya gempa dan letusan gunung berapi.

Di luar itu, geoheritage sebenarnya adalah upaya mitigasi bencana.

Sumber: Kabare Magazine edisi Juli 2013 (Teks: Della Yuanita, Agus Yuniarso; Foto: Budi Prast)
Next article Next Post
Previous article Previous Post

Advertisement

Subscribe
Boleh Juga Inc.