Selasa, 27 Februari 2018

Meski secara stereotip lebih dikenal sebagai 'pedagang', warga peranakan Tionghoa di penjuru Nusantara juga dikenal dengan akar budaya, tradisi serta citarasa seni yang kuat.

Sebagai produk asimilasi, akulturasi dan proses hibrida yang berlangsung alami selama berabad-abad, budaya peranakan Tionghoa di Indonesia lahir sebagai hasil silang pengaruh antara budaya yang dibawa dari tanah leluhurnya di Negeri Tiongkok, budaya asli pribumi, serta tak lepas dari pengaruh budaya Eropa yang dibawa oleh Belanda sebagai penguasa saat itu.

Awalnya, pengaruh terbesar budaya Peranakan ini muncul dalah dalam hal bahasa dan kuliner sebagai produk budaya sehari-hari. Belakangan, pengaruh ini meluas dan menjangkau beragam aspek kehidupan, seperti adat istiadat, kesenian, arsitektur, kerajinan, pengobatan, dan masih banyak lagi.

Motif batik Nusantara misalnya, berkembang seiring tumbuhnya akulturasi etnis yang ada di sekelilingnya, menjadi wujud interaksi sosial warga pribumi dengan para pendatang, termasuk pendatang Tionghoa. Karenanya, mudahlah dipahami jika perkembangan motif batik di luar tembok keraton bermula dari kota-kota pesisir utara Jawa, seperti Indramayu, Cirebon, pekalongan, Lasem hingga Tuban. Disanalah motif batik bernuansa Tionghoa dengan mudah dijumpai. Koleksi dan refleksi perkembangan batik Tionghoa di Nusantara ini tersimpan rapi dan dapat disaksikan di Museum Batik Danar Hadi di Surakarta.

Kaum peranakan juga menyentuh sudut-sudut ruang seni dengan bentuk ekspresi budayanya yang bercorak khas. Dunia seni rupa Indonesia mencatat dengan baik nama Lee Man Fong, yang bersama Lim Wasim, asistennya, pernah dipercaya oleh Presiden RI pertama Ir. Soekarno sebagai pelukis istana. Di tahun 2010 lalu, balai lelang Sotheby Hong Kong berhasil melelang salah satu karyanya berjudul “Bali Life” dengan harga fantastis, sehingga menempatkannya sebagai pelukis dengan karya termahal di Asia Tenggara.

Sebut pula nama Sidik W. Martowijdjojo atau Ma Yong Qiang, pelukis yang berhasil meraih penghargaan tertinggi dalam kompetisi seni lukis dan kaligrafi tingkat dunia di Beijing (2001) dan Nanjing (2002), hingga menobatkannya sebagai satu dari 10 budayawan yang dianggap berhasil melakukan pembaharuan dalam seni budaya di China (2006).

Di wilayah seni pertunjukan, sentuhan budaya peranakan pun menunjukkan jejaknya. Kong Hu Cu sebagai sebagai salah satu keyakinan yang dianut warga peranakan Tionghoa pada awalnya memang memiliki aspek ritual yang akrab dengan bermacam bentuk perayaan dan pertunjukan. Yang menarik, semuanya itu hadir melalui persinggungan intensif dengan tradisi lokal.

Pada tahun 1895, Gam Kam, seorang warga Tionghoa, merintis pertunjukan wayang orang keliling yang berlanjut populer hingga tahun 1960-an. Model pertunjukan ini dipandang sebagai babak baru seni pertunjukan di Indonesia, yang tak hanya membawanya dari balik tembok keraton menuju pesta-pesta rakyat, namun juga memindahkan dari gaya pementasan ala pendopo menjadi realitas panggung modern dalam ukuran jamannya. Sementara di pertengahan paruh awal abad ke-20, rombongan drama keliling dengan naskah drama orisinal juga mulai dipelopori oleh Njoo Cheong Seng, seorang tokoh yang belakangan disebut sebagai salah seorang perintis awal teater modern dan perfilman di Indonesia.

Warga peranakan Tionghoa tak hanya piawai ‘menjual’, namun juga memainkannya sendiri, bahkan menciptakan bentuk-bentuk baru yang digubah dari tradisi lokal. sebut saja kemunculan Wayang Thithi atau wayang kulit Cina-Jawa di tahun 1920-an dan pernah berjaya sekitar tahun 1925 hingga tahun 1967.Kesenian yang lahir di yogyakarta ini dikembangkan oleh Gan Thwan Sing, warga peranakan kelahiran Klaten tahun 1885. Lakon Wayang Thithi ditulis dengan bahasa dan aksara Jawa, ditampilkan dengan bahasa dan karawitan Jawa, namun menampilkan mitos dan legenda dari Negeri Tiongkok. Pagelaran wayang ini biasa dilakukan di kelenteng-kelenteng sebagai pelengkap ritual persembahan bagi para dewa atau menjadi hiburan yang diundang khusus dalam acara-acara keluarga. Kini, Wayang Thithi hanya tersisa dua set asli di seluruh dunia. Satu set tersimpan di Museum Sonobudoyo Yogyakarta, dan satu lagi menjadi koleksi Dr. Walter Angst yang bertempat tinggal di Jerman.

Hampir semua kegiatan seni budaya bernuansa peranakan surut dengan drastis hingga kemudian mati suri selama masa pemerintahan Orde Baru, dan baru menyeruak kembali di tahun 2000, saat Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina yang telah membatasi hampir semua bentuk ekspresi seni budaya bernuansa peranakan Tionghoa selama lebih dari 30 tahun lamanya.

Wayang potehi adalah satu dari sekian banyak ikon budaya Tionghoa yang ikut menyertai mengeliatnya kembali ekspresi budaya kaum peranakan di Indonesia, meski belum sepopuler samsi (barongsai), liong (naga) atau seni bela diri wushu yang semakin marak dan menjangkau khalayak yang semakin luas. Yang berbeda dengan era sebelumnya, satu-satunya jenis wayang Nusantara yang berbahasa Indonesia ini, belakangan justru banyak dimainkan oleh orang-orang Jawa, baik para sehu atau dalangnya, maupun para pemain musiknya. Dalam kacamata akulturasi dan toleransi akan keberagaman, hal ini tentu menjadi sesuatu yang membanggakan.

Sepanjang sejarahnya, Nusantara memang telah menjadi titik temu beragam unsur budaya yang kemudian saling mempengaruhi dan melahirkan bentuk-bentuk tradisi baru. Keanekaragaman ini menjadi kekayaan yang harus dijaga agar tetap lestari dalam kehidupan bersama yang penuh harmoni.

Teks: Agus Yuniarso untuk Kabare Magazine.

This post have 0 Comment


EmoticonEmoticon

Next article Next Post
Previous article Previous Post

Advertisement

Subscribe
Boleh Juga Inc.