Indonesia tak hanya kaya akan ragam hias dan desain bercorak tradisional. Sebagai bangsa yang pernah merasakan penjajahan bangsa asing dalam waktu yang begitu panjang, mudah dimaklumi jika berbagai unsur budaya asing turut mewarnai beragam bentuk warisan budayanya, termasuk dalam bidang seni dekoratif dan desain terapan.
Dari sekian banyak pengaruh budaya asing itu, art deco adalah salah satu diantara unsur serapan dari budaya asing yang masih lestari hingga saat ini.
Art deco adalah langgam desain artistik yang awalnya diperkenalkan di Paris di tahun 1920-an dan berkembang mendunia sepanjang tahun 1930-an hingga era Perang Dunia II. Pengaruh gaya ini menyusup di berbagai wilayah desain, dari arsitektur dan interior, desain industri, fashion serta perhiasan, hingga di ranah seni visual seperti seni lukis, grafis serta film.
Istilah “art deco” sendiri muncul pada tahun 1966 dalam sebuah katalog yang diterbitkan oleh Musée des Arts Decoratifs di Paris yang saat itu menggelar pameran bertema “Les Années 25”. Pameran itu bertujuan memperingati pameran internasional “l’Expositioan Internationale des Arts Décoratifs et Industriels Modernes” yang diselenggarakan pada tahun 1925 di Paris. istilah ini semakin eksis dalam dunia seni setelah muncul dalam berbagai artikel, khususnya sejak diterbitkannya buku berjudul “Art Deco” karya Bevis Hillier di Amerika pada tahun 1969.
Pada dasarnya, art deco menampilkan perpaduan citra elegan, glamor, fungsional sekaligus modern. Garis-garis simetris art deco menjadi corak yang membedakannya dengan alur lengkungan asimetris ala art nouveau, sebuah gaya yang telah lahir sebelumnya. Langgam ini merupakan penyelarasan berbagai gaya yang berkembang sejak awal abad ke-20, seperti neoklasik, konstruktivisme, kubisme, modernisme serta futurisme, dan memadukan gaya yang berasal dari sejumlah peradaban kuno seperti Mesir dan Aztec.
Meski gerakan awalnya banyak dipengaruhi oleh pendekatan politis dan filosofis, namun desain art deco murni berkembang sebagai karya dekoratif. Perkembangannya, eksistensi art deco juga memberi pengaruh dan mewarnai gaya artistik yang lahir belakangan, seperti Memphis dan pop art.
Di bidang arsitektur, contoh penerapan gaya ini banyak dijumpai dalam bentuk bangunan di berbagai penjuru dunia. Di Kota New York misalnya, Empire State Building, Chrysler Building, dan Rockefeller Center adalah sebagian dari contoh terkenal yang menunjukkan langgam art deco.
Di Indonesia, penerapan langgam ini dapat diamati pada bangunan-bangunan lawas yang dibangun pada masa penjajahan Belanda yang tersebar di kota-kota besar di Pulau Jawa. Bangunan-bangunan itu merupakan karya sejumlah perancang Belanda, seperti Albert Aalbers, Thomas Karsten, Henri Maclaine Pont, J Gerber and C.P.W. Schoemaker.
Bandung adalah kota yang pantas mendapatkan catatan khusus karena banyaknya sisa bangunan berlanggam art deco dari era tahun 1920-an dan masih berdiri kokoh hingga hari ini. Contoh yang masih bisa disaksikan saat ini adalah bangunan Hotel Savoy Homann yang direnovasi dengan tambahan gaya ekspresionis oleh Albert Aalbers pada tahun 1939, serta Concordia Societeit (sekarang Gedung Merdeka), tempat diselenggarakannya Konferensi Asia Afrika di tahun 1955, hasil rancangan Van Galen Last dan C.P.W Schoemaker. Contoh lain adalah bangunan Hotel Preanger serta Villa Isola (sekarang dipergunakan sebagai bangunan utama Universitas Pendidikan Bandung). Keduanya dirancang oleh C.P.W Schoemaker.
Di ibukota Jakarta, contoh penerapan langgam ini bisa diamati di gedung Museum Bank Mandiri yang dibangun pada tahun 1929 dengan nama Nederlandsche Handel Maatschappij. Gedung tersebut adalah buah rancangan J. de Bryun, A.P. Smiths, dan C. Van de Linde. Diseberang Museum Bank Mandiri, langgam yang sama bisa dilihat pada bangunan Stasiun Jakarta Kota (1929) dirancang oleh Frans Johan Louwrens Ghijsels pada tahun 1929. Tak kalah penting disebut adalah bekas gedung bioskop Metropole, belakangan dikenal dengan nama Megaria, yang terletak di Jalan Pangeran Diponegoro, Jakarta Pusat.
Di Indonesia, tak terbatas pada karya arsitektur, semestinya masih banyak bertebaran warisan budaya dari masa lampau yang menyandang langgam art deco. Dari produk perlengkapan rumah tangga, perhiasan, busana, hingga berbagai bentuk karya seni.
Tak ada salahnya untuk mencari, meneliti dan mengumpulkannya, karena bagaimanapun semua menjadi bagian dari keragaman warisan peradaban yang pada masa lampau pernah berkembang dan menjadi bagian dari sejarah negeri ini.
Dari sekian banyak pengaruh budaya asing itu, art deco adalah salah satu diantara unsur serapan dari budaya asing yang masih lestari hingga saat ini.
Art deco adalah langgam desain artistik yang awalnya diperkenalkan di Paris di tahun 1920-an dan berkembang mendunia sepanjang tahun 1930-an hingga era Perang Dunia II. Pengaruh gaya ini menyusup di berbagai wilayah desain, dari arsitektur dan interior, desain industri, fashion serta perhiasan, hingga di ranah seni visual seperti seni lukis, grafis serta film.
Istilah “art deco” sendiri muncul pada tahun 1966 dalam sebuah katalog yang diterbitkan oleh Musée des Arts Decoratifs di Paris yang saat itu menggelar pameran bertema “Les Années 25”. Pameran itu bertujuan memperingati pameran internasional “l’Expositioan Internationale des Arts Décoratifs et Industriels Modernes” yang diselenggarakan pada tahun 1925 di Paris. istilah ini semakin eksis dalam dunia seni setelah muncul dalam berbagai artikel, khususnya sejak diterbitkannya buku berjudul “Art Deco” karya Bevis Hillier di Amerika pada tahun 1969.
Pada dasarnya, art deco menampilkan perpaduan citra elegan, glamor, fungsional sekaligus modern. Garis-garis simetris art deco menjadi corak yang membedakannya dengan alur lengkungan asimetris ala art nouveau, sebuah gaya yang telah lahir sebelumnya. Langgam ini merupakan penyelarasan berbagai gaya yang berkembang sejak awal abad ke-20, seperti neoklasik, konstruktivisme, kubisme, modernisme serta futurisme, dan memadukan gaya yang berasal dari sejumlah peradaban kuno seperti Mesir dan Aztec.
Meski gerakan awalnya banyak dipengaruhi oleh pendekatan politis dan filosofis, namun desain art deco murni berkembang sebagai karya dekoratif. Perkembangannya, eksistensi art deco juga memberi pengaruh dan mewarnai gaya artistik yang lahir belakangan, seperti Memphis dan pop art.
Di bidang arsitektur, contoh penerapan gaya ini banyak dijumpai dalam bentuk bangunan di berbagai penjuru dunia. Di Kota New York misalnya, Empire State Building, Chrysler Building, dan Rockefeller Center adalah sebagian dari contoh terkenal yang menunjukkan langgam art deco.
Di Indonesia, penerapan langgam ini dapat diamati pada bangunan-bangunan lawas yang dibangun pada masa penjajahan Belanda yang tersebar di kota-kota besar di Pulau Jawa. Bangunan-bangunan itu merupakan karya sejumlah perancang Belanda, seperti Albert Aalbers, Thomas Karsten, Henri Maclaine Pont, J Gerber and C.P.W. Schoemaker.
Bandung adalah kota yang pantas mendapatkan catatan khusus karena banyaknya sisa bangunan berlanggam art deco dari era tahun 1920-an dan masih berdiri kokoh hingga hari ini. Contoh yang masih bisa disaksikan saat ini adalah bangunan Hotel Savoy Homann yang direnovasi dengan tambahan gaya ekspresionis oleh Albert Aalbers pada tahun 1939, serta Concordia Societeit (sekarang Gedung Merdeka), tempat diselenggarakannya Konferensi Asia Afrika di tahun 1955, hasil rancangan Van Galen Last dan C.P.W Schoemaker. Contoh lain adalah bangunan Hotel Preanger serta Villa Isola (sekarang dipergunakan sebagai bangunan utama Universitas Pendidikan Bandung). Keduanya dirancang oleh C.P.W Schoemaker.
Di ibukota Jakarta, contoh penerapan langgam ini bisa diamati di gedung Museum Bank Mandiri yang dibangun pada tahun 1929 dengan nama Nederlandsche Handel Maatschappij. Gedung tersebut adalah buah rancangan J. de Bryun, A.P. Smiths, dan C. Van de Linde. Diseberang Museum Bank Mandiri, langgam yang sama bisa dilihat pada bangunan Stasiun Jakarta Kota (1929) dirancang oleh Frans Johan Louwrens Ghijsels pada tahun 1929. Tak kalah penting disebut adalah bekas gedung bioskop Metropole, belakangan dikenal dengan nama Megaria, yang terletak di Jalan Pangeran Diponegoro, Jakarta Pusat.
Di Indonesia, tak terbatas pada karya arsitektur, semestinya masih banyak bertebaran warisan budaya dari masa lampau yang menyandang langgam art deco. Dari produk perlengkapan rumah tangga, perhiasan, busana, hingga berbagai bentuk karya seni.
Tak ada salahnya untuk mencari, meneliti dan mengumpulkannya, karena bagaimanapun semua menjadi bagian dari keragaman warisan peradaban yang pada masa lampau pernah berkembang dan menjadi bagian dari sejarah negeri ini.
Teks: Agus Yuniarso untuk Kabare Magazine.
This post have 0 Comment
EmoticonEmoticon