Industri gula pernah mencapai kejayaannya di negeri ini. Menjelang dekade 1930-an, Hindia Belanda telah menjadi pengekspor gula terbesar di dunia setelah Kuba, dengan produksi mencapai 3 juta ton per tahun.
Saat itu ada sebanyak 179 pabrik gula yang rata-rata mampu memproduksi 14,8 ton gula pasir per hektar, dengan total areal lahan tebu seluas 200.000 hektar. Areal itu sebagian besar terkonsentrasi di Jawa, sekaligus menjadikan pulau ini sebagai salah satu produsen gula terkemuka di dunia.
Tak hanya di sisi jumlah produksi. Di bawah kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda, industri gula di Pulau Jawa menjadi bisnis unggulan yang terkenal dengan kecanggihan pengelolaannya, mulai dari teknik budidaya tanaman tebu hingga proses produksi dan pemasarannya sebagai komoditas yang sebagian besar ditujukan bagi pasar dunia.
Keseriusan Pemerintah Hindia Belanda dalam menangani industri ini juga ditunjukkan dengan dibangunnya sarana dan prasarana penunjang yang menghubungkan lahan pertanian dan pabrik pengolahannya dengan jalur distribusinya menuju pasar dunia. Mereka membangun jaringan jalan raya, jalur kereta api, jembatan dan pelabuhan. Mereka juga membangun kawasan industri yang terintegrasi dengan bangunan perkantoran serta perumahan yang menjadi tempat tinggal para karyawannya.
Sebagian dari infrastruktur peninggalan zaman keemasan itu masih bisa disaksikan hingga hari ini. Sebagian yang lain bahkan tetap berfungsi sebagai sarana vital pendukung kehidupan sosial ekonomi di masa kini, khususnya jaringan transportasi yang dibangun pada masa itu.
Konon, meski tanaman tebu telah ditemukan tumbuh di wilayah Nusantara sejak abad ke-4, baru 11 abad kemudian bumi ini mulai dimanfaatkan sebagai bakan baku gula. Sejak kedatangan pedagang Belanda pada tahun 1596 yang diikuti dengan terbentuknya Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) pada tahun 1602, industri gula mulai berkembang yang dipicu oleh meningkatnya permintaan gula dari Eropa.
Pada pertengahan abad ke-17, penggilingan tebu dalam skala besar pun mulai dilakukan oleh sebagian imigran Cina yang bermukim di Batavia. Tercatat, ekspor perdana gula dari Batavia menuju Eropa telah dilakukan pada tahun 1673.
Awalnya, teknologi yang dipergunakan masih teramat sederhana. Alat pengepresan tebu hanya terdiri dari dua buah silinder batu atau kayu yang saling berhimpitan. Pada salah satu silinder dipasang tonggak pemutar yang pada ujungnya digerakkan secara manual dengan tenaga manusia atau hewan. Batang-batang tebu dimasukkan diantara himpitan silinder dan hasilnya dialirkan ke dalam kuali besar di bawah kedua silinder. Alat giling sederhana ini dapat dipindah-pindahkan sesuai kebutuhan dan dibawa berkeliling lahan tanam di masa panen tebu.
Menjelang penghujung abad ke-18, penggilingan gula tradisional ini masih terus bertahan, meski jumlahnya semakin menurun. Dari sebanyak 80 penggilingan gula yang diketahui pada tahun 1750, menjadi hanya 55 penggilingan saja di tahun 1776.
Industri gula yang lebih modern sempat berdiri di awal abad ke-19 di Pamanukan, Ciasem, Jawa Barat yang dikelola oleh para pedagang besar asal Inggris. Sayang, karena kesalahan lokasi dan kekurangan tenaga kerja, pabrik ini hanya mampu bertahan selama satu dasawarsa.
Mekanisasi industri gula baru diperkenalkan pada tahun 1826 oleh para pengusaha bermodal besar dengan mendatangkan mesin-mesin impor yang untuk pertama kalinya mulai dipergunakan di Jawa. Industri ini pun semakin berkembang sejak Johannes van den Bosch, Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu, mulai menerapkan Sistem Tanam Paksa atau Cultuurstelsel di tahun 1830. Dalam sistem ini, setiap desa diwajibkan menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanami komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu dan nila.
Kebijakan Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch ini semakin memacu pertumbuhan industri gula, selain berkat mulai dipergunakannya teknologi produksi yang semakin modern, juga karena ketersediaan bahan baku yang semakin melimpah. Bekerjasama dengan pengusaha-pengusaha non pribumi, lahan-lahan dibawah penguasaan Gubernemen juga didayagunakan sedemikian rupa menjadi perkebunan tebu yang menjadi bahan baku industri gula.
Di Pekalongan misalnya, pada tahun 1830 berdiri dua pabrik gula yang dikelola oleh orang Tionghoa, yaitu Gou Kan Tjou di Desa Wonopringo dan Tan Hong Jan di Desa Klidang. Sementara di Karanganjar, Pemalang, berdiri pabrik lainnya dikelola oleh Alexander Loudon, pedagang besar asal Inggris yang terlibat dalam kerja administratif di Hindia Belanda pasca Pemerintahan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles.
Pada tahun 1835-1836, bersama de Sturler dan Verbeek, Loudon juga membangun pabrik gula Poegoe dan Gemoe di wilayah Kendal. Sekitar tahun 1837-1838, di Pekalongan tercatat pernah beroperasi tiga pabrik gula modern, yaitu Wonopringo, Sragie dan Kalimatie. Ketiganya mendayagunakan tak kurang dari 1733 hektar lahan dengan tenaga kerja pribumi yang diikat kontrak secara tidak manusiawi oleh Gubernemen.
Meski belakangan terbukti memberikan sumbangan modal besar pada zaman keemasan kolonialis liberal Hindia Belanda (1835-1940), masa-masa pemberlakukan Sistem Tanam Paksa ini diakui menjadi era paling eksploitatif dalam praktek ekonomi di Hindia Belanda yang menyengsarakan kehidupan kaum pribumi. Protes keras muncul dari berbagai kalangan Negeri Belanda mengharuskan dihapuskannya Sistem Tanam Paksa pada tahun 1870 dan digantikan dengan Suikerwet atau Undang-undang Gula 1870 dan sistem sewa tanah yang menjadi bagian dari Undang-undang Agraria 1870.
Undang-undang Gula mengatur penghapusan kewajiban budidaya tebu bagi petani di Hindia Belanda yang dilakukan secara bertahap, hingga selesai dengan sempurna pada tahun 1891. Bersama sistem sewa tanah yang mulai diberlakukan, undang-undang ini kemudian memberi peluang kepada perusahaan-perusahaan swasta Eropa untuk mulai berinvestasi di bidang perkebunan tebu. Gula mentah yang diekstrak dari tebu oleh pabrik-pabrik di Hindia Belanda pun dikirim ke Belanda untuk dirafinasi dan dipasarkan.
Di tahun 1887, untuk menunjang optimalisasi budidaya tebu dan peningkatan industri gula, Pemerintah Hindia Belanda mengembangkan Het Proefstation voor de Java Suiker Industrie atau Pusat Penelitian Gula yang didirikan di Pasuruan, Jawa Timur.
Jawa Timur memang menjadi salah satu pusat konsentrasi lahan perkebunan tebu berikut pabrik-pabrik penggilingan gula yang tersebar di sejumlah kabupaten, seperti Bondowoso, Situbondo, Jombang, Jember, Mojokerto, Probolinggo, Lumajang, Madiun, Malang, Sidoarjo, Nganjuk, Tulungagung, Kediri dan Magetan.
Di Jawa Tengah, lahan tebu dan kawasan pabrik gula dapat dijumpai di seputar Klaten, Karanganyar, Sragen, Pati, Kudus, Pekalongan, Banyumas, Purwokerto, Tegal, Brebes serta di wilayah Kasultanan Yogyakarta. Di Jawa Barat bisa dijumpai di seputar Majalengka, Cirebon, Indramayu dan Subang. Industri gula juga bisa dijumpai di luar Pulau Jawa, yaitu di Sumatera Selatan, Lampung dan Sulawesi Selatan.
Pesatnya perkembangan industri gula di Hindia Belanda juga melahirkan tokoh legendaris yang dikenal sebagai “Raja Gula Asia”. Adalah Oei Tiong Ham, seorang konglomerat kelahiran Semarang yang begitu tersohor pada dekade-dekade awal abad ke-20, sebagai pemilik perusahaan Oei Tiong Ham Concern dan N.V. Kian Gwam. Kedua perusahaan yang berpusat di Semarang ini memiliki sejumlah anak perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan tebu , pabrik gula, perbankan dan asuransi, selain di bidang import bahan-bahan pokok.
Bidang bisnis utama dan terpenting dari Oei Tiong Ham Concern adalah ekspor gula pasir. Untuk menunjang bisnis ini, Sang Konglomerat telah membangun 5 buah pabrik gula, yang semuanya berada di pulau Jawa.
Pada puncak kejayaan bisnisnya di dekade 1920-an, total kekayaannya ditaksir mencapai 200 juta Gulden. Namun justru pada periode tersebut, Oei Tiong Ham sudah tidak berada di Indonesia (Hindia Belanda) lagi. Ia meninggalkan Semarang menuju ke Singapura pada tahun 1921, karena perselisihan dengan pemerintah Hindia Belanda mengenai aturan pajak ganda serta masalah hukum waris.
Industri gula juga berkembang pesat di wilayah “Kepangeranan” di Surakarta dan Yogyakarta. Di wilayah Surakarta, keberadaan pabrik gula di Colomadu dan Tasikmadu tak lepas dari kepemilikan dan pengelolaan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara IV yang bertahta antara tahun 1853 hingga 1881 dan dikenal dengan jiwa wirausahanya yang tinggi. Modal yang dimilikinya ditanamkan ke berbagai sektor usaha, termasuk industri gula.
Pabrik di Colomadu yang sudah didirikan pada tahun 1816 serta pabrik di Tasikmadu yang berdiri 10 tahun kemudian, menjadi pertanda sukses bisnis gula yang dikelola oleh keluarga Mangkunegaran. Kepemilikan kedua pabrik gula itu bahkan tak pernah tersentuh oleh pihak asing dan hampir selalu dikelola oleh pribumi.
Hingar bingar industri gula juga melanda wilayah Kasultanan Yogyakarta, yang mencapai masa keemasannya pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII yang bertahta antara tahun 1877 hingga 1921. Tercatat, ada 17 pabrik gula yang beroperasi di Yogyakarta dan sekitarnya, yaitu: Randugunting, Tanjungtirto, Kedaton Pleret, Wonocatur, Padokan, Bantul, Barongan, Sewu Galur, Gondanglipuro, Pundong, Gesikan, Rewulu, Demakijo, Cebongan, Beran, Medari, dan Sendangpitu.
Konon, dari setiap pendirian pabrik itu, Keraton Kasultanan Yogyakarta menerima pemasukan dana tak kurang dari Rp 200.000,00, sehingga Sultan Hamengku Buwono VII kemudian juga mendapat sebutan sebagai “Sultan Sugih”.
Sebagaimana tersebut dalam catatan Proefstation Voor Java Suikerindustrie (sekarang Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia atau P3GI), jumlah ini terbilang banyak, mengingat wilayah Yogyakarta yang tak terlalu luas, sehingga pabrik-pabrik itu berada pada lokasi yang relatif saling berdekatan.
Untuk mendukung pesatnya pertumbuhan industri gula di wilayah Kasultanan Yogyakarta ini, Pemerintah Hindia Belanda sempat berencana untuk membangun sebuah pelabuhan besar di Pantai Parangtritis. Sayang, belum sampai rencana ini terwujud, situasi krisis datang melanda di awal dekade 1930-an.
Di saat Hindia Belanda berada pada puncak kejayaan industri gula menjelang tahun 1930-an, krisis dahsyat disertai penurunan tingkat ekonomi secara dramatis melanda dunia. Rangkaian peristiwa yang dikenal sebagai Depresi Besar atau Zaman Malaise ini, bermula dari jatuhnya bursa saham New York pada bulan Oktober 1929 yang mengakibatkan berbagai kegiatan ekonomi, baik di negara industri maju maupun negara berkembang, hancur berantakan. Dampak berantai pun merambah berbagai sektor, seperti pertanian, pertambangan dan kehutanan.
Imbas peristiwa ini juga melanda Negeri Belanda berikut Hindia Belanda sebagai wilayah kolonialnya. Di bidang industri gula, kekacauan ekonomi menjadi sebab menumpuknya persediaan gula di tingkat dunia. Sebagai jalan keluar, disusunlah kesepakatan perdagangan internasional pertama yang mengatur produksi gula yang dikenal sebagai Charbourne Agreement yang ditandatangani pada tahun 1931.
Produksi gula di Hindia Belanda pun kemudian dibatasi, dari sekitar 3 juta ton menjadi hanya 1,4 juta ton per tahun. Akibatnya, banyak pabrik gula terpaksa ditutup dan menggulung tikar. Di Yogyakarta, dari semula 17 pabrik gula yang berdiri, hanya hanya tersisa 8 pabrik saja, yaitu: Tanjungtirto, Kedaton Pleret, Padokan, Gondanglipuro, Gesikan, Cebongan, Beran, dan Medari.
Secara umum, rentetan peristiwa pasca Malaise kemudian memudarkan era keemasan industri gula ini. Mulai dari krisis Perang Dunia II yang ditandai dengan penguasan bala tentara Jepang atas kepulauan Nusantara, era transisi di masa-masa awal era kemerdekaan di paruh kedua dekade 1940-an, hingga proses nasionalisasi yang menimpa nasib pabrik gula warisan zaman kolonial pada dekade 1950-an.
Delapan pabrik gula di Yogyakarta yang masih berdiri pasca Malaise hanya mampu bertahan hingga tahun 1948, saat Belanda melancarkan Agresi Militer II dan menjadi sasaran pembumihangusan hingga nyaris tak menyisakan bekasnya.
Baru di tahun 1955, sebuah pabrik gula baru didirikan di bekas lokasi pabrik gula Padokan. Pembangunan ini diprakarsai oleh Sri Sultan Hamengku Buwono ke IX dan diresmikan oleh Presiden RI Ir. Soekarno pada tanggal 29 Mei 1958. Ini menjadi satu-satunya pabrik gula yang masih berdiri di Yogyakarta hingga hari ini dan dikenal dengan nama pabrik gula Madukismo.
Jumlah penduduk yang tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat sejak tahun 1970-an telah menyebabkan semakin tingginya kebutuhan gula di Indonesia. Ketika industri nasional tak lagi sehebaat di zaman keemasannya, negeri ini pun kemudian berubah menjadi pengimpor gula.
Sejumlah pabrik gula warisan zaman kolonial yang tersisa masih tetap bertahan, namun dengan tingkat produksi yang sangat rendah. Sebagian besar diantaranya bahkan masih menggunakan mesin-mesin yang telah berusia lebih dari satu abad. Kualitas dan kuantitas gula yang dihasilkannya tentu tak akan mampu bersaing dengan gula impor yang tak hanya diuntungkan dari sisi teknologi produksi, namun juga di sisi tata niaganya.
Akhirnya, pasar gula Indonesia pun terbatasi bagi pemenuhan kebutuhan rumah tangga dalam skala lokal ataupun regional di sekitar lokasi pabrik-pabriknya.
Saat itu ada sebanyak 179 pabrik gula yang rata-rata mampu memproduksi 14,8 ton gula pasir per hektar, dengan total areal lahan tebu seluas 200.000 hektar. Areal itu sebagian besar terkonsentrasi di Jawa, sekaligus menjadikan pulau ini sebagai salah satu produsen gula terkemuka di dunia.
Tak hanya di sisi jumlah produksi. Di bawah kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda, industri gula di Pulau Jawa menjadi bisnis unggulan yang terkenal dengan kecanggihan pengelolaannya, mulai dari teknik budidaya tanaman tebu hingga proses produksi dan pemasarannya sebagai komoditas yang sebagian besar ditujukan bagi pasar dunia.
Keseriusan Pemerintah Hindia Belanda dalam menangani industri ini juga ditunjukkan dengan dibangunnya sarana dan prasarana penunjang yang menghubungkan lahan pertanian dan pabrik pengolahannya dengan jalur distribusinya menuju pasar dunia. Mereka membangun jaringan jalan raya, jalur kereta api, jembatan dan pelabuhan. Mereka juga membangun kawasan industri yang terintegrasi dengan bangunan perkantoran serta perumahan yang menjadi tempat tinggal para karyawannya.
Sebagian dari infrastruktur peninggalan zaman keemasan itu masih bisa disaksikan hingga hari ini. Sebagian yang lain bahkan tetap berfungsi sebagai sarana vital pendukung kehidupan sosial ekonomi di masa kini, khususnya jaringan transportasi yang dibangun pada masa itu.
Konon, meski tanaman tebu telah ditemukan tumbuh di wilayah Nusantara sejak abad ke-4, baru 11 abad kemudian bumi ini mulai dimanfaatkan sebagai bakan baku gula. Sejak kedatangan pedagang Belanda pada tahun 1596 yang diikuti dengan terbentuknya Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) pada tahun 1602, industri gula mulai berkembang yang dipicu oleh meningkatnya permintaan gula dari Eropa.
Pada pertengahan abad ke-17, penggilingan tebu dalam skala besar pun mulai dilakukan oleh sebagian imigran Cina yang bermukim di Batavia. Tercatat, ekspor perdana gula dari Batavia menuju Eropa telah dilakukan pada tahun 1673.
Awalnya, teknologi yang dipergunakan masih teramat sederhana. Alat pengepresan tebu hanya terdiri dari dua buah silinder batu atau kayu yang saling berhimpitan. Pada salah satu silinder dipasang tonggak pemutar yang pada ujungnya digerakkan secara manual dengan tenaga manusia atau hewan. Batang-batang tebu dimasukkan diantara himpitan silinder dan hasilnya dialirkan ke dalam kuali besar di bawah kedua silinder. Alat giling sederhana ini dapat dipindah-pindahkan sesuai kebutuhan dan dibawa berkeliling lahan tanam di masa panen tebu.
Menjelang penghujung abad ke-18, penggilingan gula tradisional ini masih terus bertahan, meski jumlahnya semakin menurun. Dari sebanyak 80 penggilingan gula yang diketahui pada tahun 1750, menjadi hanya 55 penggilingan saja di tahun 1776.
Industri gula yang lebih modern sempat berdiri di awal abad ke-19 di Pamanukan, Ciasem, Jawa Barat yang dikelola oleh para pedagang besar asal Inggris. Sayang, karena kesalahan lokasi dan kekurangan tenaga kerja, pabrik ini hanya mampu bertahan selama satu dasawarsa.
Mekanisasi industri gula baru diperkenalkan pada tahun 1826 oleh para pengusaha bermodal besar dengan mendatangkan mesin-mesin impor yang untuk pertama kalinya mulai dipergunakan di Jawa. Industri ini pun semakin berkembang sejak Johannes van den Bosch, Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu, mulai menerapkan Sistem Tanam Paksa atau Cultuurstelsel di tahun 1830. Dalam sistem ini, setiap desa diwajibkan menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanami komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu dan nila.
Kebijakan Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch ini semakin memacu pertumbuhan industri gula, selain berkat mulai dipergunakannya teknologi produksi yang semakin modern, juga karena ketersediaan bahan baku yang semakin melimpah. Bekerjasama dengan pengusaha-pengusaha non pribumi, lahan-lahan dibawah penguasaan Gubernemen juga didayagunakan sedemikian rupa menjadi perkebunan tebu yang menjadi bahan baku industri gula.
Di Pekalongan misalnya, pada tahun 1830 berdiri dua pabrik gula yang dikelola oleh orang Tionghoa, yaitu Gou Kan Tjou di Desa Wonopringo dan Tan Hong Jan di Desa Klidang. Sementara di Karanganjar, Pemalang, berdiri pabrik lainnya dikelola oleh Alexander Loudon, pedagang besar asal Inggris yang terlibat dalam kerja administratif di Hindia Belanda pasca Pemerintahan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles.
Pada tahun 1835-1836, bersama de Sturler dan Verbeek, Loudon juga membangun pabrik gula Poegoe dan Gemoe di wilayah Kendal. Sekitar tahun 1837-1838, di Pekalongan tercatat pernah beroperasi tiga pabrik gula modern, yaitu Wonopringo, Sragie dan Kalimatie. Ketiganya mendayagunakan tak kurang dari 1733 hektar lahan dengan tenaga kerja pribumi yang diikat kontrak secara tidak manusiawi oleh Gubernemen.
Meski belakangan terbukti memberikan sumbangan modal besar pada zaman keemasan kolonialis liberal Hindia Belanda (1835-1940), masa-masa pemberlakukan Sistem Tanam Paksa ini diakui menjadi era paling eksploitatif dalam praktek ekonomi di Hindia Belanda yang menyengsarakan kehidupan kaum pribumi. Protes keras muncul dari berbagai kalangan Negeri Belanda mengharuskan dihapuskannya Sistem Tanam Paksa pada tahun 1870 dan digantikan dengan Suikerwet atau Undang-undang Gula 1870 dan sistem sewa tanah yang menjadi bagian dari Undang-undang Agraria 1870.
Undang-undang Gula mengatur penghapusan kewajiban budidaya tebu bagi petani di Hindia Belanda yang dilakukan secara bertahap, hingga selesai dengan sempurna pada tahun 1891. Bersama sistem sewa tanah yang mulai diberlakukan, undang-undang ini kemudian memberi peluang kepada perusahaan-perusahaan swasta Eropa untuk mulai berinvestasi di bidang perkebunan tebu. Gula mentah yang diekstrak dari tebu oleh pabrik-pabrik di Hindia Belanda pun dikirim ke Belanda untuk dirafinasi dan dipasarkan.
Di tahun 1887, untuk menunjang optimalisasi budidaya tebu dan peningkatan industri gula, Pemerintah Hindia Belanda mengembangkan Het Proefstation voor de Java Suiker Industrie atau Pusat Penelitian Gula yang didirikan di Pasuruan, Jawa Timur.
Jawa Timur memang menjadi salah satu pusat konsentrasi lahan perkebunan tebu berikut pabrik-pabrik penggilingan gula yang tersebar di sejumlah kabupaten, seperti Bondowoso, Situbondo, Jombang, Jember, Mojokerto, Probolinggo, Lumajang, Madiun, Malang, Sidoarjo, Nganjuk, Tulungagung, Kediri dan Magetan.
Di Jawa Tengah, lahan tebu dan kawasan pabrik gula dapat dijumpai di seputar Klaten, Karanganyar, Sragen, Pati, Kudus, Pekalongan, Banyumas, Purwokerto, Tegal, Brebes serta di wilayah Kasultanan Yogyakarta. Di Jawa Barat bisa dijumpai di seputar Majalengka, Cirebon, Indramayu dan Subang. Industri gula juga bisa dijumpai di luar Pulau Jawa, yaitu di Sumatera Selatan, Lampung dan Sulawesi Selatan.
Pesatnya perkembangan industri gula di Hindia Belanda juga melahirkan tokoh legendaris yang dikenal sebagai “Raja Gula Asia”. Adalah Oei Tiong Ham, seorang konglomerat kelahiran Semarang yang begitu tersohor pada dekade-dekade awal abad ke-20, sebagai pemilik perusahaan Oei Tiong Ham Concern dan N.V. Kian Gwam. Kedua perusahaan yang berpusat di Semarang ini memiliki sejumlah anak perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan tebu , pabrik gula, perbankan dan asuransi, selain di bidang import bahan-bahan pokok.
Bidang bisnis utama dan terpenting dari Oei Tiong Ham Concern adalah ekspor gula pasir. Untuk menunjang bisnis ini, Sang Konglomerat telah membangun 5 buah pabrik gula, yang semuanya berada di pulau Jawa.
Pada puncak kejayaan bisnisnya di dekade 1920-an, total kekayaannya ditaksir mencapai 200 juta Gulden. Namun justru pada periode tersebut, Oei Tiong Ham sudah tidak berada di Indonesia (Hindia Belanda) lagi. Ia meninggalkan Semarang menuju ke Singapura pada tahun 1921, karena perselisihan dengan pemerintah Hindia Belanda mengenai aturan pajak ganda serta masalah hukum waris.
Industri gula juga berkembang pesat di wilayah “Kepangeranan” di Surakarta dan Yogyakarta. Di wilayah Surakarta, keberadaan pabrik gula di Colomadu dan Tasikmadu tak lepas dari kepemilikan dan pengelolaan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara IV yang bertahta antara tahun 1853 hingga 1881 dan dikenal dengan jiwa wirausahanya yang tinggi. Modal yang dimilikinya ditanamkan ke berbagai sektor usaha, termasuk industri gula.
Pabrik di Colomadu yang sudah didirikan pada tahun 1816 serta pabrik di Tasikmadu yang berdiri 10 tahun kemudian, menjadi pertanda sukses bisnis gula yang dikelola oleh keluarga Mangkunegaran. Kepemilikan kedua pabrik gula itu bahkan tak pernah tersentuh oleh pihak asing dan hampir selalu dikelola oleh pribumi.
Hingar bingar industri gula juga melanda wilayah Kasultanan Yogyakarta, yang mencapai masa keemasannya pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII yang bertahta antara tahun 1877 hingga 1921. Tercatat, ada 17 pabrik gula yang beroperasi di Yogyakarta dan sekitarnya, yaitu: Randugunting, Tanjungtirto, Kedaton Pleret, Wonocatur, Padokan, Bantul, Barongan, Sewu Galur, Gondanglipuro, Pundong, Gesikan, Rewulu, Demakijo, Cebongan, Beran, Medari, dan Sendangpitu.
Konon, dari setiap pendirian pabrik itu, Keraton Kasultanan Yogyakarta menerima pemasukan dana tak kurang dari Rp 200.000,00, sehingga Sultan Hamengku Buwono VII kemudian juga mendapat sebutan sebagai “Sultan Sugih”.
Sebagaimana tersebut dalam catatan Proefstation Voor Java Suikerindustrie (sekarang Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia atau P3GI), jumlah ini terbilang banyak, mengingat wilayah Yogyakarta yang tak terlalu luas, sehingga pabrik-pabrik itu berada pada lokasi yang relatif saling berdekatan.
Untuk mendukung pesatnya pertumbuhan industri gula di wilayah Kasultanan Yogyakarta ini, Pemerintah Hindia Belanda sempat berencana untuk membangun sebuah pelabuhan besar di Pantai Parangtritis. Sayang, belum sampai rencana ini terwujud, situasi krisis datang melanda di awal dekade 1930-an.
Di saat Hindia Belanda berada pada puncak kejayaan industri gula menjelang tahun 1930-an, krisis dahsyat disertai penurunan tingkat ekonomi secara dramatis melanda dunia. Rangkaian peristiwa yang dikenal sebagai Depresi Besar atau Zaman Malaise ini, bermula dari jatuhnya bursa saham New York pada bulan Oktober 1929 yang mengakibatkan berbagai kegiatan ekonomi, baik di negara industri maju maupun negara berkembang, hancur berantakan. Dampak berantai pun merambah berbagai sektor, seperti pertanian, pertambangan dan kehutanan.
Imbas peristiwa ini juga melanda Negeri Belanda berikut Hindia Belanda sebagai wilayah kolonialnya. Di bidang industri gula, kekacauan ekonomi menjadi sebab menumpuknya persediaan gula di tingkat dunia. Sebagai jalan keluar, disusunlah kesepakatan perdagangan internasional pertama yang mengatur produksi gula yang dikenal sebagai Charbourne Agreement yang ditandatangani pada tahun 1931.
Produksi gula di Hindia Belanda pun kemudian dibatasi, dari sekitar 3 juta ton menjadi hanya 1,4 juta ton per tahun. Akibatnya, banyak pabrik gula terpaksa ditutup dan menggulung tikar. Di Yogyakarta, dari semula 17 pabrik gula yang berdiri, hanya hanya tersisa 8 pabrik saja, yaitu: Tanjungtirto, Kedaton Pleret, Padokan, Gondanglipuro, Gesikan, Cebongan, Beran, dan Medari.
Secara umum, rentetan peristiwa pasca Malaise kemudian memudarkan era keemasan industri gula ini. Mulai dari krisis Perang Dunia II yang ditandai dengan penguasan bala tentara Jepang atas kepulauan Nusantara, era transisi di masa-masa awal era kemerdekaan di paruh kedua dekade 1940-an, hingga proses nasionalisasi yang menimpa nasib pabrik gula warisan zaman kolonial pada dekade 1950-an.
Delapan pabrik gula di Yogyakarta yang masih berdiri pasca Malaise hanya mampu bertahan hingga tahun 1948, saat Belanda melancarkan Agresi Militer II dan menjadi sasaran pembumihangusan hingga nyaris tak menyisakan bekasnya.
Baru di tahun 1955, sebuah pabrik gula baru didirikan di bekas lokasi pabrik gula Padokan. Pembangunan ini diprakarsai oleh Sri Sultan Hamengku Buwono ke IX dan diresmikan oleh Presiden RI Ir. Soekarno pada tanggal 29 Mei 1958. Ini menjadi satu-satunya pabrik gula yang masih berdiri di Yogyakarta hingga hari ini dan dikenal dengan nama pabrik gula Madukismo.
Jumlah penduduk yang tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat sejak tahun 1970-an telah menyebabkan semakin tingginya kebutuhan gula di Indonesia. Ketika industri nasional tak lagi sehebaat di zaman keemasannya, negeri ini pun kemudian berubah menjadi pengimpor gula.
Sejumlah pabrik gula warisan zaman kolonial yang tersisa masih tetap bertahan, namun dengan tingkat produksi yang sangat rendah. Sebagian besar diantaranya bahkan masih menggunakan mesin-mesin yang telah berusia lebih dari satu abad. Kualitas dan kuantitas gula yang dihasilkannya tentu tak akan mampu bersaing dengan gula impor yang tak hanya diuntungkan dari sisi teknologi produksi, namun juga di sisi tata niaganya.
Akhirnya, pasar gula Indonesia pun terbatasi bagi pemenuhan kebutuhan rumah tangga dalam skala lokal ataupun regional di sekitar lokasi pabrik-pabriknya.
This post have 0 Comment
EmoticonEmoticon