Benteng adalah konstruksi bangunan yang (umumnya) dirancang sebagai pertahanan dalam menghadapi situasi perang. Di masa lalu, sebagai sarana mempertahankan diri dari serangan musuh, benteng banyak didirikan di seluruh penjuru dunia. Bentuk dan bahannya pun sangat beragam, mengikuti kondisi geografis dimana benteng itu berdiri serta peradaban dan teknologi yang berkembang pada zamannya.
Di Indonesia, berbagai bentuk benteng pertahanan pernah dibangun oleh kerajaan-kerajaan asli yang menjadi penguasa lokal, serta sejumlah bangsa asing yang pernah berkuasa, atau setidaknya berdagang di wilayah Nusantara, seperti bangsa Spanyol, Portugis, Inggris, Belanda dan Jepang.
Sejak paruh awal abad ke-19, semakin banyak jumlah benteng yang berdiri, khususnya di Pulau Jawa dan Sumatra, saat Pemerintah kolonial Hindia Belanda menerapkan strategi Benteng Stelsel untuk menghadapi berbagai perlawanan. Inti strategi ini adalah membangun benteng-benteng pertahanan berikut jalur transportasi yang saling menghubungkannya, pada setiap wilayah yang berhasil dikuasai.
Strategi yang dirancang oleh Frans David Cochius ini mulai diterapkan pada tahun 1827 oleh Gubernur Jenderal Hendrik Merkus baron de Kock, ditengah berkecamuknya Perang Diponegoro (1825-1830).
Untuk mempersempit gerak pasukan Pangeran Diponegoro, Belanda membangun sejumlah benteng di Semarang, Ambarawa, Muntilan, Kulon Progo dan Magelang, hingga kemudian menghasilkan tak kurang dari 165 benteng baru yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Strategi ini dianggap berhasil ketika Perang Diponegoro berakhir pada tahun 1830 dan dipergunakan kembali saat menghadapi Perang Padri di Sumatra (1803-1838).
Menarik untuk menelusuri dan mengamati keberadaan benteng-benteng yang pernah berdiri kokoh dan menjadi saksi sejarah pada zamannya itu. Sekilas studi visual yang dilakukan Tim Kabare pada foto, ilustrasi serta peta lama dari pertengahan abad ke-18 hingga akhir ke-19, menemukan sejumlah benteng peninggalan masa lalu yang meski tidak merata, tersebar di seluruh penjuru Nusantara.
Di Pulau Sumatera misalnya, berdiri sejumlah benteng diantaranya: Fort de Kock (Bukittinggi, Sumatera Barat), Fort der Capellen (Batusangkar, Sumatra Barat), Fort Poleoe Tjinkoe (Pesisir Selatan, Sumatra Barat), Fort Marlborough (Bengkulu), Fort Palembang (Palembang), Fort Tandjoengpinang dan Fort Prins Hendrik atau Fort Kroonprins (Riau), Fort Toboalij (Bangka), serta Fort Pakanbadak (Kutaraja, Aceh).
Di Pulau Jawa, hampir di setiap kota pernah berdiri benteng. Yang masih bisa dicatat antara lain: Fort Speelwijk (Banten), Fort Diamant (Serang), Castle of Batavia (Jakarta), Fort Prins van Oranje (Semarang), Fort Vredeburg dan Benteng Baluwerti (Yogyakarta), Fort Vastenburg (Solo), Fort Willem II (Ungaran), Fort Willem I (Ambarawa), Fort Kedoeng Kebo (Purworejo), Fort van der Wijck (Gombong), Fort Engelenburg (Klaten), Fort de Hersteller (Salatiga), Fort Djapara (Jepara), Fort Prins Hendrik (Surabaya), Fort Van den Bosch (Ngawi), Fort Erfprins (Gresik) dan Fort Utrecht (Banyuwangi) serta sejumlah benteng di beberapa kota lainnya.
Bangunan benteng juga banyak dijumpai di Kepulauan Maluku, yang hingga pertengahan abad ke-19 pernah menjadi surga rempah-rempah dunia. Di Ambon misalnya, selain Fort Nieuw Victoria yang sampai sekarang masih berdiri kokoh, juga pernah berdiri Fort Amsterdam (Hila), Fort Haarlem (Lima), dan Fort Middelburg (Paso).
Di Kepulauan Banda, setidaknya pernah berdiri 6 benteng, yaitu: Fort Belgica, Fort Nassau, Fort Kuilenburg, Fort Hollandia, Fort Concordia, dan Fort Revengie. Di wilayah Ternate, teridentifikasi 4 bangunan benteng: Fort Oranje, Fort Voorburg, Fort Tolluco dan Fort Kalamata. Masih terdapat belasan benteng lainnya yang tersebar di kepulauan ini.
Benteng lainnya tersebar di sejumlah wilayah, seperti Fort Rotterdam dan Fort Vredenburg (Makassar), Benteng Kesultanan Buton (Bau-bau), Fort Nieuw Amsterdam (Manado), Fort Tatas (Banjarmasin), Fort Du Bus (Pontianak), Fort Concordia (Kupang), dan Fort Du Bus (Papua).
Pusat Dokumentasi Arsitektur (PDA), sebuah lembaga yang menekuni penelitian dan dokumentasi arsitektur, khususnya bangunan dan kawasan cagar budaya di Indonesia, menyebut lebih dari 275 benteng peninggalan masa lalu yang tersebar di seluruh penjuru Nusantara. Bangunan ini tak hanya tersebar di pulau atau kota-kota besar, namun juga di pelosok wilayah dan pulau-pulau terpencil.
Sayang, sebagian bangunan benteng itu telah lenyap tanpa bekas. Sebagian yang lain hancur terlapukkan zaman, hanya menyisakan bekas-bekas bangunan beserta mitos dan legenda yang menyertai keberadaannya. Sebagian lagi masih menyisakan wujud aslinya, namun dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Tak cuma kondisi fisik, catatan sejarahnya pun sulit tertemukan. Jika data dan sejarah benteng di kota-kota besar saja acapkali tak terungkap dengan akurat, apalagi benteng yang berdiri di pelosok wilayah atau pulau-pulau terpencil.
Sementara bangunan benteng yang terjaga lestari sebagai cagar budaya warisan masa lalu, relatif terbilang dengan hitungan jari. Benteng-benteng beruntung yang panjang umur ini masih berdiri kokoh dengan beragam fungsi, meski kondisi bangunannya tak lagi seutuh di masa jayanya.
Benteng-benteng ini bahkan tampil menjadi landmark kotanya, seperti Benteng Malborough di Bengkulu, Benteng Rotterdam di Makassar, Benteng Vredeburg dan Benteng Baluwerti di Yogyakarta, Benteng Van der Wijck di Gombong, Benteng de Kock di Bukittinggi serta Benteng Nieuw Victoria di Ambon.
Ternyata, meski menjadi bangunan pertahanan, tak semua benteng mampu bertahan melawan arus perubahan zaman.
Di Indonesia, berbagai bentuk benteng pertahanan pernah dibangun oleh kerajaan-kerajaan asli yang menjadi penguasa lokal, serta sejumlah bangsa asing yang pernah berkuasa, atau setidaknya berdagang di wilayah Nusantara, seperti bangsa Spanyol, Portugis, Inggris, Belanda dan Jepang.
Sejak paruh awal abad ke-19, semakin banyak jumlah benteng yang berdiri, khususnya di Pulau Jawa dan Sumatra, saat Pemerintah kolonial Hindia Belanda menerapkan strategi Benteng Stelsel untuk menghadapi berbagai perlawanan. Inti strategi ini adalah membangun benteng-benteng pertahanan berikut jalur transportasi yang saling menghubungkannya, pada setiap wilayah yang berhasil dikuasai.
Strategi yang dirancang oleh Frans David Cochius ini mulai diterapkan pada tahun 1827 oleh Gubernur Jenderal Hendrik Merkus baron de Kock, ditengah berkecamuknya Perang Diponegoro (1825-1830).
Untuk mempersempit gerak pasukan Pangeran Diponegoro, Belanda membangun sejumlah benteng di Semarang, Ambarawa, Muntilan, Kulon Progo dan Magelang, hingga kemudian menghasilkan tak kurang dari 165 benteng baru yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Strategi ini dianggap berhasil ketika Perang Diponegoro berakhir pada tahun 1830 dan dipergunakan kembali saat menghadapi Perang Padri di Sumatra (1803-1838).
Menarik untuk menelusuri dan mengamati keberadaan benteng-benteng yang pernah berdiri kokoh dan menjadi saksi sejarah pada zamannya itu. Sekilas studi visual yang dilakukan Tim Kabare pada foto, ilustrasi serta peta lama dari pertengahan abad ke-18 hingga akhir ke-19, menemukan sejumlah benteng peninggalan masa lalu yang meski tidak merata, tersebar di seluruh penjuru Nusantara.
Di Pulau Sumatera misalnya, berdiri sejumlah benteng diantaranya: Fort de Kock (Bukittinggi, Sumatera Barat), Fort der Capellen (Batusangkar, Sumatra Barat), Fort Poleoe Tjinkoe (Pesisir Selatan, Sumatra Barat), Fort Marlborough (Bengkulu), Fort Palembang (Palembang), Fort Tandjoengpinang dan Fort Prins Hendrik atau Fort Kroonprins (Riau), Fort Toboalij (Bangka), serta Fort Pakanbadak (Kutaraja, Aceh).
Di Pulau Jawa, hampir di setiap kota pernah berdiri benteng. Yang masih bisa dicatat antara lain: Fort Speelwijk (Banten), Fort Diamant (Serang), Castle of Batavia (Jakarta), Fort Prins van Oranje (Semarang), Fort Vredeburg dan Benteng Baluwerti (Yogyakarta), Fort Vastenburg (Solo), Fort Willem II (Ungaran), Fort Willem I (Ambarawa), Fort Kedoeng Kebo (Purworejo), Fort van der Wijck (Gombong), Fort Engelenburg (Klaten), Fort de Hersteller (Salatiga), Fort Djapara (Jepara), Fort Prins Hendrik (Surabaya), Fort Van den Bosch (Ngawi), Fort Erfprins (Gresik) dan Fort Utrecht (Banyuwangi) serta sejumlah benteng di beberapa kota lainnya.
Bangunan benteng juga banyak dijumpai di Kepulauan Maluku, yang hingga pertengahan abad ke-19 pernah menjadi surga rempah-rempah dunia. Di Ambon misalnya, selain Fort Nieuw Victoria yang sampai sekarang masih berdiri kokoh, juga pernah berdiri Fort Amsterdam (Hila), Fort Haarlem (Lima), dan Fort Middelburg (Paso).
Di Kepulauan Banda, setidaknya pernah berdiri 6 benteng, yaitu: Fort Belgica, Fort Nassau, Fort Kuilenburg, Fort Hollandia, Fort Concordia, dan Fort Revengie. Di wilayah Ternate, teridentifikasi 4 bangunan benteng: Fort Oranje, Fort Voorburg, Fort Tolluco dan Fort Kalamata. Masih terdapat belasan benteng lainnya yang tersebar di kepulauan ini.
Benteng lainnya tersebar di sejumlah wilayah, seperti Fort Rotterdam dan Fort Vredenburg (Makassar), Benteng Kesultanan Buton (Bau-bau), Fort Nieuw Amsterdam (Manado), Fort Tatas (Banjarmasin), Fort Du Bus (Pontianak), Fort Concordia (Kupang), dan Fort Du Bus (Papua).
Pusat Dokumentasi Arsitektur (PDA), sebuah lembaga yang menekuni penelitian dan dokumentasi arsitektur, khususnya bangunan dan kawasan cagar budaya di Indonesia, menyebut lebih dari 275 benteng peninggalan masa lalu yang tersebar di seluruh penjuru Nusantara. Bangunan ini tak hanya tersebar di pulau atau kota-kota besar, namun juga di pelosok wilayah dan pulau-pulau terpencil.
Sayang, sebagian bangunan benteng itu telah lenyap tanpa bekas. Sebagian yang lain hancur terlapukkan zaman, hanya menyisakan bekas-bekas bangunan beserta mitos dan legenda yang menyertai keberadaannya. Sebagian lagi masih menyisakan wujud aslinya, namun dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Tak cuma kondisi fisik, catatan sejarahnya pun sulit tertemukan. Jika data dan sejarah benteng di kota-kota besar saja acapkali tak terungkap dengan akurat, apalagi benteng yang berdiri di pelosok wilayah atau pulau-pulau terpencil.
Sementara bangunan benteng yang terjaga lestari sebagai cagar budaya warisan masa lalu, relatif terbilang dengan hitungan jari. Benteng-benteng beruntung yang panjang umur ini masih berdiri kokoh dengan beragam fungsi, meski kondisi bangunannya tak lagi seutuh di masa jayanya.
Benteng-benteng ini bahkan tampil menjadi landmark kotanya, seperti Benteng Malborough di Bengkulu, Benteng Rotterdam di Makassar, Benteng Vredeburg dan Benteng Baluwerti di Yogyakarta, Benteng Van der Wijck di Gombong, Benteng de Kock di Bukittinggi serta Benteng Nieuw Victoria di Ambon.
Ternyata, meski menjadi bangunan pertahanan, tak semua benteng mampu bertahan melawan arus perubahan zaman.
Bagian pertama dari tiga artikel Laporan Utama (Regol)Kabare Magazine, edisi Desember 2012 (Teks: Agus Yuniarso; Foto: Budi Prast).