Setiap wujud peninggalan masa lalu, selalu menarik untuk dikunjungi dan dipelajari. Di sanalah saksi peradaban manusia berada, yang menjadi salah satu sumber penting untuk mencatat perjalanan sejarah sebuah bangsa.
Salah satu peninggalan itu adalah bangunan benteng pertahanan yang banyak berdiri di seluruh penjuru Nusantara sejak beberapa abad lalu. Bagaimana riwayatnya kini?
Awal November 2012 lalu, Tim Kabare telah menjelajahi dan mendokumentasikan sejumlah benteng peninggalan masa lalu yang tersebar di Kota Cilacap, Gombong, Ambarawa, Ungaran, Ngawi, Surakarta dan Yogyakarta.
Meski memfokuskan diri pada sejumlah benteng peninggalan Belanda, tim juga berupaya menengok kembali keberadaan benteng asli peninggalan Dinasti Mataram Islam, khususnya Benteng Baluwerti di Kraton Kasultanan Yogyakarta yang masih menampakkan wujud aslinya.
Dalam perkembangannya saat ini, meski awalnya sebagian besar tetap menjadi aset dan fasilitas militer, kondisi dan fungsi setiap benteng itu berbeda-beda. Ada yang masih cenderung tertutup, ada pula yang sudah berubah menjadi ruang publik.
Tulisan ini merangkum seluruh hasil kunjungan Tim Kabare, kecuali riwayat tentang Benteng Vredeburg dan Benteng Baluwerti di Yogyakarta yang disajikan dalam tulisan tersendiri.
***
Dari Yogyakarta, Tim Kabare meluncur menuju Kota Cilacap di sudut barat daya Provinsi Jawa Tengah, mengunjungi sebuah obyek wisata yang sudah begitu dikenal: Benteng Pendem Cilacap, yang dalam literatur Belanda disebut sebagai Kustbatterij op de Landtong te Tjilatjap.
Konon, benteng berbentuk segi lima yang dibangun antara tahun 1861 hingga 1879 ini merupakan tiruan dari Fort Rhijnauwen, benteng terbesar di Utrecht, Negeri Belanda, yang dibangun pada masa yang sama.
Di masa kemerdekaan, sebagaimana benteng-benteng yang lain, Benteng Pendem Cilacap diambil alih oleh tentara Indonesia. Meski tidak dipergunakan secara intensif, tempat ini pernah menjadi ajang sejumlah aktifitas militer.
Salah satunya di tahun 1960-an, saat Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD), yang sekarang bernama Komando Pasukan Khusus (Kopassus), mempergunakannya sebagai markas latihan lintas hutan, gunung, rawa dan laut. Aktifitas ini ditandai dengan didirikannya Tugu Monumen Peluru di salah satu sisi yang menjadi gerbang masuknya kala itu.
Selama dua dasawarsa semenjak tidak dipergunakan lagi oleh RPKAD, Benteng Pendem ini sempat tak terurus, tertutup semak perdu dan tertimbun pasir. Baru di tahun 1986, Pemerintah Kabupaten Cilacap berupaya menggali kembali, bersamaan dengan dimulainya pembangunan dermaga kapal, perkantoran dan tangki-tangki minyak yang dikelola oleh Pertamina Unit Produksi IV Cilacap.
Di tahun yang sama pula, Atas inisiatif seorang warga Cilacap bernama Adi Wardoyo, kawasan benteng mulai dibuka dan ditata, hingga mulai bisa dikunjungi umum pada tahun 1987.
Benteng Pendem Cilacap diperkirakan memiliki luas asli sekitar 10 hektar. Denah dan struktur reruangannya secara lengkap kemungkinan sulit disingkap, karena sekitar 4 hektar dari luas kawasannya terlanjut dipergunakan sebagai fasilitas operasional Pertamina.
Saat ini, selain benteng perlindungan, ruang pengintaian dan parit di sisi luar, sebagian bangunan yang masih bisa diidentifikasi adalah barak prajurit, ruang rapat, klinik, gudang senjata dan mesiu, penjara, dapur serta terowongan bawah tanah. Konon, sebagian dari terowongan ini memanjang menembus laut, menuju Benteng Karangbolong, sebuah benteng di Pulau Nusakambangan yang juga dibangun oleh Belanda di tahun 1873.
Di wilayah Gombong, Kabupaten Kebumen, berdiri bekas benteng yang sekarang berubah menjadi obyek wisata yang terkenal bernama Benteng Van der Wijck. Terakhir, sebelum akhirnya dikelola oleh swasta, benteng ini dipergunakan sebagai bagian dari Sekolah Calon Tamtama A dibawah Kodam IV / Diponegoro.
Meski relatif utuh dan kokoh, tak banyak tersedia catatan yang berkaitan dengan sejarah pendirian benteng bersegi delapan ini. Ditilik dari bentuk bangunannya, Benteng Van der Wijck kemungkinan dibangun pada periode yang sama dengan pembangunan Benteng Willem I di Ambarawa dan Benteng Prins Oranje di Semarang, buah dari kebijakan Benteng Stelsel di masa pemerintahan Gubernur Jenderal Hendrik Merkus Baron de Kock.
Sebelumnya, benteng ini juga dikenal dengan nama Fort Frans David Cochius. Penamaan ini sebagai penghargaan Raja Belanda Willem I kepada Mayor Jenderal Frans David Cochius, atas jasanya memenangkan pertempuran di Pegunungan Bonjol, Sumatera Barat (1837). Penaklukan ini mengakhiri perlawanan Kaum Adat dan Kaum Padri yang berlangsung sejak tahun 1831. Selain pernah bertugas di wilayah Kedu, Jawa Tengah, Cochius juga dikenal sebagai perancang strategi Benteng Stelsel.
Sementara Van der Wijck, nama yang tertera di gerbang masuk dan menjadi nama benteng saat ini, belum dijumpai keterangan yang akurat tentang biografinya. Di akhir abad ke-19, setidaknya ada 2 tokoh penting bernama Van der Wijck. Yang pertama adalah Johan Cornelis van der Wijck, seorang Letnan Jenderal Hindia Belanda yang pernah menjabat sebagai salah satu komandan militer wilayah Jawa (1900), Gubernur Militer di wilayah Aceh dan sekitarnya (1904) dan terakhir sebagai Panglima sekaligus Kepala Departemen Perang Pemerintah Kolonial Hindia Belanda (1905).
Tokoh kedua adalah Carel Herman Aart van der Wijck, Gubernur Jenderal Hindia yang memerintah dari tahun 1893 hingga 1899. Bagi Kerajaan Belanda, tokoh ini dianggap berjasa atas keberhasilannya mengendalikan peperangan antara orang Sasak dan Bali di Lombok, yang berakhir dengan jatuhnya Istana Cakranegara di Ampenan serta penguasaan penuh Belanda atas pulau itu (Peristiwa ini juga “menyelamatkan” Naskah Negarakertagama dari istana yang terbakar dan membawanya ke Negeri Belanda).
Namanya diabadikan sebagai nama sebuah kapal mewah yang kemudian karam di dekat Lamongan dan diceritakan kembali oleh Hamka dalam karyanya ”Tenggelamnya Kapal Van der Wijck”. Sumber lain juga menyebutkan pengabadian namanya pada saluran irigasi penting di Yogyakarta, yang dikenal dengan nama Selokan Van der Wijck (dibangun tahun 1909).
***
Perjalanan Tim Kabare berlanjut menuju wilayah Ungaran, di Kabupaten Semarang. Di lintasan utama yang menghubungkan Semarang dengan Surakarta dan Yogyakarta ini berdiri salah satu benteng tua yang berdiri sejak abad ke-18 yang dikenal dengan nama Benteng Willem II.
Keberadaannya bermula dari sebuah benteng sederhana yang diberi nama Fort Ontmoeting atau Benteng Pertemuan, sebagai peringatan pertemuan bersejarah antara Sri Susuhunan Paku Buwono II dengan Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron van Imhoff, 11 Mei 1746. Benteng ini kemudian disempurnakan bangunannya pada tahun 1786 dan dikenal dengan nama Fort Oenarang (sebutan lama Ungaran).
Setelah berakhirnya Perang Jawa (1827-1830), seiring dibangunnya benteng yang lebih besar di Ambarawa, benteng ini kemudian berubah nama menjadi Fort Willem II, mengabadikan nama Raja Belanda kedua, Willem Frederik George Lodewijk van Oranje-Nassau atau Willem II yang memerintah dari tahun 1840-1849. Belakangan, benteng ini disebut dengan nama Benteng Diponegoro, karena disinilah Pangeran Diponegoro ditahan sementara sebelum akhirnya diasingkan ke Makassar.
Lokasi Benteng Willem II mudah dijumpai karena berada di tepi jalan raya utama Solo-Semarang, sekitar 35 km dari Ambarawa, tepatnya di depan Gedung Sekretariat Daerah Kabupaten Semarang. Benteng yang terdiri dari 2 bangunan bertingkat dengan tembok keliling setebal 1 meter ini pernah dipergunakan sebagai asrama polisi, sebelum akhirnya dikosongkan hingga saat ini.
Meski terkesan kurang terpelihara, kondisi fisik bangunannya relatif masih utuh. Lokasinya pun sangat strategis dan potensial untuk dikembang sebagai obyek wisata atau pusat aktifitas seni budaya. Sayang, upaya menuju kesana masih terhambat oleh sengketa kepemilikan lahan sehingga belum sepenuhnya bisa terealisasikan.
Namun upaya pelestariannya sebagai cagar budaya secara bertahap telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Semarang. Sebagian kawasan Benteng Willem II, sementara ini telah mulai difungsikan menjadi ruang publik, lengkap dengan fasilitas taman, tempat duduk, tempat parkir, hingga hotspot area. Halaman depan benteng yang disebut dengan “Taman Beteng” ini, menjadi salah satu tempat favorit warga masyarakat Ungaran dan sekitarnya.
Masih di wilayah Kabupaten Semarang, tak jauh dari Museum Kereta Api Ambarawa, berdiri sebuah benteng peninggalan Belanda yang dikenal dengan nama Benteng Willem I. Saat ini, sebagian kawasan bekas benteng dipergunakan sebagai lembaga pemasyarakatan oleh Departemen Hukum dan HAM RI, sementara sebagian lainnya dimanfaatkan sebagai hunian keluarga militer dibawah pengelolaan Kodam IV / Diponegoro.
Benteng Ambarawa dibangun antara tahun 1834-1853 sebagai sebuah benteng modern, menempati bekas markas pasukan cadangan dan gudang logistik Belanda yang berperan penting selama berkecamuknya Perang Jawa (1825-1830). Benteng ini mengabadikan nama Raja Belanda pertama, Willem Frederik Prins van Oranje-Nassau atau Willem I Frederick yang memerintah dari tahun 1815-1840.
Kawasan benteng sangat luas, bahkan disebut sebagai salah satu benteng terbesar di Pulau Jawa. Benteng Willem I juga dikenal sebagai maskas Oost-Indische Leger, pasukan khusus Belanda dalam Perang Jawa yang direorganisasi akhir tahun 1830, cikal bakal dari Koninklijk Nederlands-Indisch Leger (KNIL) yang baru resmi dibentuk pada tahun 1933. Tahun 1873, ketika jaringan kereta api marak dibangun di Pulau Jawa, benteng ini juga membangun stasiun dan jalur khusus yang menghubungkannya ke Semarang dan Yogyakarta. Sebagaimana benteng, stasiun itu awalnya bernama Stasiun Willem I.
Sayang, sebagai sebuah cagar budaya, kondisi benteng ini cukup memprihatinkan. Berbeda dengan nasib Stasiun Willem I lestari dan tersohor sebagai Museum Kereta Api Ambarawa, kondisi fisik kawasan Benteng willem I tampak terbengkalai. Memang, melihat luasnya kawasan dan kondisinya saat ini, mudah dipahami jika pemeliharaan dan perbaikannya membutuhkan biaya yang sangat besar.
***
Dari Ambarawa, Tim Kabare langsung beranjak menuju Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Di kota ini berdiri sebuah benteng yang dahulu Fort Van den Bosch, dikenal juga dengan sebutan Benteng Pendem Ngawi. Benteng ini terletak tak jauh dari titik pertemuan (tempuran) Bengawan Solo dan Bengawan Madiun, di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Lokasinya mudah dijangkau, karena berada di pusat Kota Ngawi.
Semula, keberadaan benteng ini tak banyak diketahui, bahkan nyaris terlupakan. Maklum, pasca kemerdekaan, kawasan ini menjadi fasilitas militer yang tertutup bagi publik. Baru di awal 2011, benteng mulai dibuka untuk umum. Meski sudah mulai bisa dikunjungi, kawasan benteng masih berada di bawah pengelolaan Yon Armed 12/Kostrad Angicipi Yudha, batalyon artileri medan di bawah Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) yang pernah memanfaatkannya sebagai markas dalam kurun waktu yang cukup lama.
Sebagaimana ditulis dalam buku “De Java Oorlog” karya Pjf. Louw (Jilid I, 1894), benteng ini dibangun pada tahun 1839 hingga 1845 sebagai sarana pertahanan menghadapi sisa-sisa laskar Pangeran Diponegoro di wilayah Ngawi yang dipimpin oleh Wirotani. Lokasinya sangat strategis, karena berada simpang lajur transportasi sungai yang menghubungkan aktifitas perdagangan dari Surakarta, Yogyakarta, Pacitan, Madiun dan Maospati, menuju bandar Surabaya.
Benteng ini dinamai Fort Van den Bosch, mengabadikan nama Gubernur Jenderal Johannes graaf van den Bosch yang memerintah di tahun 1830-1834.
Sebagai catatan, Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-43 ini dikenal sebagai penguasa Hindia Belanda menggagas dan memberlakukan Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel). Di pihak Belanda, meski telah menimbulkan kesengsaraan bagi kaum pribumi, sistem ini berhasil menyumbangkan keuntungan besar dan berperan penting dalam peningkatan kemakmuran di Negeri Belanda.
Belakangan, sistem ini juga telah melahirkan zaman keemasan kolonialisme liberal di Hindia Belanda (1835-1940). Karenanya, Raja Belanda William I menganugerahkan gelar Graaf kepada Van den Bosch pada tahun 1839. Pemberian nama benteng di Ngawi dengan namanya, kemungkinan adalah bagian dari pemberian penghargaan itu, bukan karena didirikan oleh Van den Bosch sebagaimana tertulis di sejumlah sumber.
Meski termakan usia, Benteng Van den Bosch masih tampak kokoh. Bangunan yang masih bisa disaksikan adalah gerbang utama, ratusan kamar para tentara, halaman tengah, dan beberapa ruang yang diyakini sebagai bekas kandang kuda.
Seperti umumnya, sisi luar benteng juga dikelilingi oleh parit selebar 5 meter yang saat ini telah tertimbun tanah. Benteng ini juga dikelilingi oleh gundukan tanah, sehingga memberi kesan terpendam, dan disebut dengan nama Benteng Pendem. Selain sebagai fungsi pertahanan, gundungan ini juga berguna untuk melindungi kawasan benteng jika sewaktu-waktu terjadi luapan air sungai Bengawan Solo atau Bengawan Madiun.
Kota Surakarta adalah persinggahan terakhir, sebelum kemudian kembali ke Yogyakarta. Di tengah kota, tepatnya di kawasan Gladak, berdiri bangunan Benteng Vastenburg yang berarti “benteng yang dikelilingi tembok kuat”. Benteng ini didirikan oleh pada 1775-1779 atau 32 tahun setelah berdirinya Kraton Kasunanan Surakarta, pada tempat yang sama dengan bangunan Fort De Grootmoedigheid yang dibangun oleh Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron van Imhoff di tahun 1745.
Bentuknya menyerupai Benteng Vredeburg di Yogyakarta, yang dibangun pada kisaran waktu yang sama, yaitu bujur sangkar dengan tonjolan di empat sudutnya yang disebut seleka atau bastion. Benteng ini juga dikelilingi parit dengan jembatan gantung di depan setiap gerbangnya. Sementara bangunan dalam benteng terdiri dari beberapa barak terpisah, serta lapangan terbuka di tengahnya yang dipergunakan sebagai tempat latihan, persiapan pasukan serta apel bendera.
Sebagaimana bangunan benteng lainnya, pasca kemerdekaan Benteng Vastenburg juga dipergunakan sebagai fasilitas militer TNI. Terakhir, benteng ini dipergunakan sebagai markas dan tempat latihan Brigif 6/Kostrad Trisakti Baladaya, brigade infanteri di bawah Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad).
Sayang, meski berada di tengah kota, kondisi Benteng Vastenburg sungguh terbengkalai dan tidak terawat. Ini terkait dengan sengketa kepemilikan lahan yang tak kunjung usai. Benteng Vastenburg di Surakarta, kemungkinan adalah satu-satunya benteng yang sepenuhnya dimiliki oleh pihak swasta. Sebuah bangunan cagar budaya penting yang tidak lagi dikuasai oleh negara.
Harapannya, semoga bisa segera dicapai mufakat yang mampu menyalurkan kepentingan setiap pihak yang terkait dengan keberadaan Benteng Vastenburg, demi kelestariannya sebagai cagar budaya dan saksi perjalanan sejarah bangsa. Harapan ini tak hanya berhenti di Surakarta, tapi juga di setiap benteng yang masih bisa diselamatkan keberadaanya di seluruh penjuru Nusantara.
Salah satu peninggalan itu adalah bangunan benteng pertahanan yang banyak berdiri di seluruh penjuru Nusantara sejak beberapa abad lalu. Bagaimana riwayatnya kini?
Awal November 2012 lalu, Tim Kabare telah menjelajahi dan mendokumentasikan sejumlah benteng peninggalan masa lalu yang tersebar di Kota Cilacap, Gombong, Ambarawa, Ungaran, Ngawi, Surakarta dan Yogyakarta.
Meski memfokuskan diri pada sejumlah benteng peninggalan Belanda, tim juga berupaya menengok kembali keberadaan benteng asli peninggalan Dinasti Mataram Islam, khususnya Benteng Baluwerti di Kraton Kasultanan Yogyakarta yang masih menampakkan wujud aslinya.
Dalam perkembangannya saat ini, meski awalnya sebagian besar tetap menjadi aset dan fasilitas militer, kondisi dan fungsi setiap benteng itu berbeda-beda. Ada yang masih cenderung tertutup, ada pula yang sudah berubah menjadi ruang publik.
Tulisan ini merangkum seluruh hasil kunjungan Tim Kabare, kecuali riwayat tentang Benteng Vredeburg dan Benteng Baluwerti di Yogyakarta yang disajikan dalam tulisan tersendiri.
***
Dari Yogyakarta, Tim Kabare meluncur menuju Kota Cilacap di sudut barat daya Provinsi Jawa Tengah, mengunjungi sebuah obyek wisata yang sudah begitu dikenal: Benteng Pendem Cilacap, yang dalam literatur Belanda disebut sebagai Kustbatterij op de Landtong te Tjilatjap.
Konon, benteng berbentuk segi lima yang dibangun antara tahun 1861 hingga 1879 ini merupakan tiruan dari Fort Rhijnauwen, benteng terbesar di Utrecht, Negeri Belanda, yang dibangun pada masa yang sama.
Di masa kemerdekaan, sebagaimana benteng-benteng yang lain, Benteng Pendem Cilacap diambil alih oleh tentara Indonesia. Meski tidak dipergunakan secara intensif, tempat ini pernah menjadi ajang sejumlah aktifitas militer.
Salah satunya di tahun 1960-an, saat Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD), yang sekarang bernama Komando Pasukan Khusus (Kopassus), mempergunakannya sebagai markas latihan lintas hutan, gunung, rawa dan laut. Aktifitas ini ditandai dengan didirikannya Tugu Monumen Peluru di salah satu sisi yang menjadi gerbang masuknya kala itu.
Selama dua dasawarsa semenjak tidak dipergunakan lagi oleh RPKAD, Benteng Pendem ini sempat tak terurus, tertutup semak perdu dan tertimbun pasir. Baru di tahun 1986, Pemerintah Kabupaten Cilacap berupaya menggali kembali, bersamaan dengan dimulainya pembangunan dermaga kapal, perkantoran dan tangki-tangki minyak yang dikelola oleh Pertamina Unit Produksi IV Cilacap.
Di tahun yang sama pula, Atas inisiatif seorang warga Cilacap bernama Adi Wardoyo, kawasan benteng mulai dibuka dan ditata, hingga mulai bisa dikunjungi umum pada tahun 1987.
Benteng Pendem Cilacap diperkirakan memiliki luas asli sekitar 10 hektar. Denah dan struktur reruangannya secara lengkap kemungkinan sulit disingkap, karena sekitar 4 hektar dari luas kawasannya terlanjut dipergunakan sebagai fasilitas operasional Pertamina.
Saat ini, selain benteng perlindungan, ruang pengintaian dan parit di sisi luar, sebagian bangunan yang masih bisa diidentifikasi adalah barak prajurit, ruang rapat, klinik, gudang senjata dan mesiu, penjara, dapur serta terowongan bawah tanah. Konon, sebagian dari terowongan ini memanjang menembus laut, menuju Benteng Karangbolong, sebuah benteng di Pulau Nusakambangan yang juga dibangun oleh Belanda di tahun 1873.
Di wilayah Gombong, Kabupaten Kebumen, berdiri bekas benteng yang sekarang berubah menjadi obyek wisata yang terkenal bernama Benteng Van der Wijck. Terakhir, sebelum akhirnya dikelola oleh swasta, benteng ini dipergunakan sebagai bagian dari Sekolah Calon Tamtama A dibawah Kodam IV / Diponegoro.
Meski relatif utuh dan kokoh, tak banyak tersedia catatan yang berkaitan dengan sejarah pendirian benteng bersegi delapan ini. Ditilik dari bentuk bangunannya, Benteng Van der Wijck kemungkinan dibangun pada periode yang sama dengan pembangunan Benteng Willem I di Ambarawa dan Benteng Prins Oranje di Semarang, buah dari kebijakan Benteng Stelsel di masa pemerintahan Gubernur Jenderal Hendrik Merkus Baron de Kock.
Sebelumnya, benteng ini juga dikenal dengan nama Fort Frans David Cochius. Penamaan ini sebagai penghargaan Raja Belanda Willem I kepada Mayor Jenderal Frans David Cochius, atas jasanya memenangkan pertempuran di Pegunungan Bonjol, Sumatera Barat (1837). Penaklukan ini mengakhiri perlawanan Kaum Adat dan Kaum Padri yang berlangsung sejak tahun 1831. Selain pernah bertugas di wilayah Kedu, Jawa Tengah, Cochius juga dikenal sebagai perancang strategi Benteng Stelsel.
Sementara Van der Wijck, nama yang tertera di gerbang masuk dan menjadi nama benteng saat ini, belum dijumpai keterangan yang akurat tentang biografinya. Di akhir abad ke-19, setidaknya ada 2 tokoh penting bernama Van der Wijck. Yang pertama adalah Johan Cornelis van der Wijck, seorang Letnan Jenderal Hindia Belanda yang pernah menjabat sebagai salah satu komandan militer wilayah Jawa (1900), Gubernur Militer di wilayah Aceh dan sekitarnya (1904) dan terakhir sebagai Panglima sekaligus Kepala Departemen Perang Pemerintah Kolonial Hindia Belanda (1905).
Tokoh kedua adalah Carel Herman Aart van der Wijck, Gubernur Jenderal Hindia yang memerintah dari tahun 1893 hingga 1899. Bagi Kerajaan Belanda, tokoh ini dianggap berjasa atas keberhasilannya mengendalikan peperangan antara orang Sasak dan Bali di Lombok, yang berakhir dengan jatuhnya Istana Cakranegara di Ampenan serta penguasaan penuh Belanda atas pulau itu (Peristiwa ini juga “menyelamatkan” Naskah Negarakertagama dari istana yang terbakar dan membawanya ke Negeri Belanda).
Namanya diabadikan sebagai nama sebuah kapal mewah yang kemudian karam di dekat Lamongan dan diceritakan kembali oleh Hamka dalam karyanya ”Tenggelamnya Kapal Van der Wijck”. Sumber lain juga menyebutkan pengabadian namanya pada saluran irigasi penting di Yogyakarta, yang dikenal dengan nama Selokan Van der Wijck (dibangun tahun 1909).
***
Perjalanan Tim Kabare berlanjut menuju wilayah Ungaran, di Kabupaten Semarang. Di lintasan utama yang menghubungkan Semarang dengan Surakarta dan Yogyakarta ini berdiri salah satu benteng tua yang berdiri sejak abad ke-18 yang dikenal dengan nama Benteng Willem II.
Keberadaannya bermula dari sebuah benteng sederhana yang diberi nama Fort Ontmoeting atau Benteng Pertemuan, sebagai peringatan pertemuan bersejarah antara Sri Susuhunan Paku Buwono II dengan Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron van Imhoff, 11 Mei 1746. Benteng ini kemudian disempurnakan bangunannya pada tahun 1786 dan dikenal dengan nama Fort Oenarang (sebutan lama Ungaran).
Setelah berakhirnya Perang Jawa (1827-1830), seiring dibangunnya benteng yang lebih besar di Ambarawa, benteng ini kemudian berubah nama menjadi Fort Willem II, mengabadikan nama Raja Belanda kedua, Willem Frederik George Lodewijk van Oranje-Nassau atau Willem II yang memerintah dari tahun 1840-1849. Belakangan, benteng ini disebut dengan nama Benteng Diponegoro, karena disinilah Pangeran Diponegoro ditahan sementara sebelum akhirnya diasingkan ke Makassar.
Lokasi Benteng Willem II mudah dijumpai karena berada di tepi jalan raya utama Solo-Semarang, sekitar 35 km dari Ambarawa, tepatnya di depan Gedung Sekretariat Daerah Kabupaten Semarang. Benteng yang terdiri dari 2 bangunan bertingkat dengan tembok keliling setebal 1 meter ini pernah dipergunakan sebagai asrama polisi, sebelum akhirnya dikosongkan hingga saat ini.
Meski terkesan kurang terpelihara, kondisi fisik bangunannya relatif masih utuh. Lokasinya pun sangat strategis dan potensial untuk dikembang sebagai obyek wisata atau pusat aktifitas seni budaya. Sayang, upaya menuju kesana masih terhambat oleh sengketa kepemilikan lahan sehingga belum sepenuhnya bisa terealisasikan.
Namun upaya pelestariannya sebagai cagar budaya secara bertahap telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Semarang. Sebagian kawasan Benteng Willem II, sementara ini telah mulai difungsikan menjadi ruang publik, lengkap dengan fasilitas taman, tempat duduk, tempat parkir, hingga hotspot area. Halaman depan benteng yang disebut dengan “Taman Beteng” ini, menjadi salah satu tempat favorit warga masyarakat Ungaran dan sekitarnya.
Masih di wilayah Kabupaten Semarang, tak jauh dari Museum Kereta Api Ambarawa, berdiri sebuah benteng peninggalan Belanda yang dikenal dengan nama Benteng Willem I. Saat ini, sebagian kawasan bekas benteng dipergunakan sebagai lembaga pemasyarakatan oleh Departemen Hukum dan HAM RI, sementara sebagian lainnya dimanfaatkan sebagai hunian keluarga militer dibawah pengelolaan Kodam IV / Diponegoro.
Benteng Ambarawa dibangun antara tahun 1834-1853 sebagai sebuah benteng modern, menempati bekas markas pasukan cadangan dan gudang logistik Belanda yang berperan penting selama berkecamuknya Perang Jawa (1825-1830). Benteng ini mengabadikan nama Raja Belanda pertama, Willem Frederik Prins van Oranje-Nassau atau Willem I Frederick yang memerintah dari tahun 1815-1840.
Kawasan benteng sangat luas, bahkan disebut sebagai salah satu benteng terbesar di Pulau Jawa. Benteng Willem I juga dikenal sebagai maskas Oost-Indische Leger, pasukan khusus Belanda dalam Perang Jawa yang direorganisasi akhir tahun 1830, cikal bakal dari Koninklijk Nederlands-Indisch Leger (KNIL) yang baru resmi dibentuk pada tahun 1933. Tahun 1873, ketika jaringan kereta api marak dibangun di Pulau Jawa, benteng ini juga membangun stasiun dan jalur khusus yang menghubungkannya ke Semarang dan Yogyakarta. Sebagaimana benteng, stasiun itu awalnya bernama Stasiun Willem I.
Sayang, sebagai sebuah cagar budaya, kondisi benteng ini cukup memprihatinkan. Berbeda dengan nasib Stasiun Willem I lestari dan tersohor sebagai Museum Kereta Api Ambarawa, kondisi fisik kawasan Benteng willem I tampak terbengkalai. Memang, melihat luasnya kawasan dan kondisinya saat ini, mudah dipahami jika pemeliharaan dan perbaikannya membutuhkan biaya yang sangat besar.
***
Dari Ambarawa, Tim Kabare langsung beranjak menuju Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Di kota ini berdiri sebuah benteng yang dahulu Fort Van den Bosch, dikenal juga dengan sebutan Benteng Pendem Ngawi. Benteng ini terletak tak jauh dari titik pertemuan (tempuran) Bengawan Solo dan Bengawan Madiun, di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Lokasinya mudah dijangkau, karena berada di pusat Kota Ngawi.
Semula, keberadaan benteng ini tak banyak diketahui, bahkan nyaris terlupakan. Maklum, pasca kemerdekaan, kawasan ini menjadi fasilitas militer yang tertutup bagi publik. Baru di awal 2011, benteng mulai dibuka untuk umum. Meski sudah mulai bisa dikunjungi, kawasan benteng masih berada di bawah pengelolaan Yon Armed 12/Kostrad Angicipi Yudha, batalyon artileri medan di bawah Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) yang pernah memanfaatkannya sebagai markas dalam kurun waktu yang cukup lama.
Sebagaimana ditulis dalam buku “De Java Oorlog” karya Pjf. Louw (Jilid I, 1894), benteng ini dibangun pada tahun 1839 hingga 1845 sebagai sarana pertahanan menghadapi sisa-sisa laskar Pangeran Diponegoro di wilayah Ngawi yang dipimpin oleh Wirotani. Lokasinya sangat strategis, karena berada simpang lajur transportasi sungai yang menghubungkan aktifitas perdagangan dari Surakarta, Yogyakarta, Pacitan, Madiun dan Maospati, menuju bandar Surabaya.
Benteng ini dinamai Fort Van den Bosch, mengabadikan nama Gubernur Jenderal Johannes graaf van den Bosch yang memerintah di tahun 1830-1834.
Sebagai catatan, Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-43 ini dikenal sebagai penguasa Hindia Belanda menggagas dan memberlakukan Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel). Di pihak Belanda, meski telah menimbulkan kesengsaraan bagi kaum pribumi, sistem ini berhasil menyumbangkan keuntungan besar dan berperan penting dalam peningkatan kemakmuran di Negeri Belanda.
Belakangan, sistem ini juga telah melahirkan zaman keemasan kolonialisme liberal di Hindia Belanda (1835-1940). Karenanya, Raja Belanda William I menganugerahkan gelar Graaf kepada Van den Bosch pada tahun 1839. Pemberian nama benteng di Ngawi dengan namanya, kemungkinan adalah bagian dari pemberian penghargaan itu, bukan karena didirikan oleh Van den Bosch sebagaimana tertulis di sejumlah sumber.
Meski termakan usia, Benteng Van den Bosch masih tampak kokoh. Bangunan yang masih bisa disaksikan adalah gerbang utama, ratusan kamar para tentara, halaman tengah, dan beberapa ruang yang diyakini sebagai bekas kandang kuda.
Seperti umumnya, sisi luar benteng juga dikelilingi oleh parit selebar 5 meter yang saat ini telah tertimbun tanah. Benteng ini juga dikelilingi oleh gundukan tanah, sehingga memberi kesan terpendam, dan disebut dengan nama Benteng Pendem. Selain sebagai fungsi pertahanan, gundungan ini juga berguna untuk melindungi kawasan benteng jika sewaktu-waktu terjadi luapan air sungai Bengawan Solo atau Bengawan Madiun.
Kota Surakarta adalah persinggahan terakhir, sebelum kemudian kembali ke Yogyakarta. Di tengah kota, tepatnya di kawasan Gladak, berdiri bangunan Benteng Vastenburg yang berarti “benteng yang dikelilingi tembok kuat”. Benteng ini didirikan oleh pada 1775-1779 atau 32 tahun setelah berdirinya Kraton Kasunanan Surakarta, pada tempat yang sama dengan bangunan Fort De Grootmoedigheid yang dibangun oleh Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron van Imhoff di tahun 1745.
Bentuknya menyerupai Benteng Vredeburg di Yogyakarta, yang dibangun pada kisaran waktu yang sama, yaitu bujur sangkar dengan tonjolan di empat sudutnya yang disebut seleka atau bastion. Benteng ini juga dikelilingi parit dengan jembatan gantung di depan setiap gerbangnya. Sementara bangunan dalam benteng terdiri dari beberapa barak terpisah, serta lapangan terbuka di tengahnya yang dipergunakan sebagai tempat latihan, persiapan pasukan serta apel bendera.
Sebagaimana bangunan benteng lainnya, pasca kemerdekaan Benteng Vastenburg juga dipergunakan sebagai fasilitas militer TNI. Terakhir, benteng ini dipergunakan sebagai markas dan tempat latihan Brigif 6/Kostrad Trisakti Baladaya, brigade infanteri di bawah Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad).
Sayang, meski berada di tengah kota, kondisi Benteng Vastenburg sungguh terbengkalai dan tidak terawat. Ini terkait dengan sengketa kepemilikan lahan yang tak kunjung usai. Benteng Vastenburg di Surakarta, kemungkinan adalah satu-satunya benteng yang sepenuhnya dimiliki oleh pihak swasta. Sebuah bangunan cagar budaya penting yang tidak lagi dikuasai oleh negara.
Harapannya, semoga bisa segera dicapai mufakat yang mampu menyalurkan kepentingan setiap pihak yang terkait dengan keberadaan Benteng Vastenburg, demi kelestariannya sebagai cagar budaya dan saksi perjalanan sejarah bangsa. Harapan ini tak hanya berhenti di Surakarta, tapi juga di setiap benteng yang masih bisa diselamatkan keberadaanya di seluruh penjuru Nusantara.
Bagian kedua dari tiga artikel Laporan Utama (Regol)Kabare Magazine, edisi Desember 2012 (Teks: Agus Yuniarso, Della Yuanita; Foto: Budi Prast, Albert)