Dalam hal pelestarian cagar budaya, Yogyakarta termasuk salah satu kota yang beruntung dibanding kota-kota lain. Tak sebatas di Indonesia, bahkan di tingkat dunia.
Meski tak semua sempurna, begitu banyak cagar budaya yang terjaga kelestariannya. Rentang usianya pun cukup lebar. Mulai dari zaman kolonial satu dua abad yang lalu, hingga zaman peradaban Hindu-Buddha, lebih dari 10 abad lalu. Termasuk diantaranya deretan cagar budaya itu adalah dua bangunan pertahanan yang berdiri megah di tengah kota, Benteng Baluwerti dan Benteng Vredeburg.
***
Kraton Kasultanan Yogyakarta dikelilingi oleh sebuah benteng besar yang didirikan sebagai sarana pertahanan serta untuk mengantisipasi serangan musuh dari luar wilayah Keraton. Benteng ini dinamai Benteng Baluwerti, yang berarti jatuhnya peluru laksana hujan.
Benteng Baluwerti dibangun atas prakarsa Pangeran Adipati Anom, putra mahkota Sultan Hamengku Buwono I, untuk mengimbangi berdirinya benteng VOC di sebelah utara Kraton, yang dikenal dengan nama Benteng Vredeburg. Pembangunan Benteng Baluwerti sendiri ditandai dengan ornamen simbolik berupa suryasengkala yang berbunyi Paningaling Kawicakranan Salingga Bathara yang bermakna tahun 1785 Masehi.
Untuk mempersiapkan diri menghadapi serangan Daendels, Pada bulan November 1809, Pangeran Adipati Anom yang telah naik tahta menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono II, semakin menyempurnakan bangunan ini.
Benteng Baluwerti berbentuk segi empat, mengelilingi kompleks Keraton seluas lebih kurang satu kilometer persegi. Tembok benteng setinggi 3,5 meter dengan lebar antara 3-4 meter yang membentuk anjungan. Tebalnya tembok benteng memungkinkan orang atau kereta kuda melintas diatasnya. Sisa anjungan pada tembok Benteng Baluwerti masih bisa disaksikan pada sisi selatan sebelah timur.
Benteng Baluwerti memiliki 5 buah gerbang yang disebut plengkung. Plengkung Tarunasura atau Plengkung Wijilan berada di sisi utara sebelah timur, sekaligus menjadi pintu gerbang istana putra mahkota atau Kadipaten. Plengkung ini bentuknya masih utuh.
Plengkung Jagasura atau Plengkung Ngasem berada di sisi utara sebelah barat. Plengkung ini pada masa Sultan Hamengku Buwono VIII telah mengalami perubahan bentuk menjadi gerbang bentar.
Di sebelah barat dahulu berdiri Plengkung Jagabaya atau Plengkung Tamansari yang saat ini juga sudah berubah bentuk menjadi gapura. Sementara di sisi sebelah timur, dahulu berdiri Plengkung Madyasura yang disebut pula Plengkung Tambakbaya. Plengkung ini sudah rata dengan tanah. Ada pula yang menyebutnya dengan nama Plengkung Buntet, karena pernah ditutup menjelang serangan balatentara Inggris pada tahun 1812.
Satu lagi plengkung yang terdapat di sisi selatan masih berdiri utuh dan dikenal dengan nama Plengkung Nirboyo atau Plengkung Gadhing. Fungsi khusus gerbang ini adalah sebagai jalan untuk menghantar Sultan yang wafat menuju makam para raja di Pajimatan Imogiri. Pada sisi kiri dan kanan pintu terdapat ragam hias kepala raksasa yang disebut Kala atau Kemamang sebagai simbol pelepasan mangkatnya sang raja.
Pada setiap sudut Benteng Baluwerti terdapat bangunan bastion yang berfungsi sebagai titik pengintaian dengan sejumlah lubang dan relung yang berfungsi untuk menempatkan meriam atau senjata lainnya. 3 dari 4 bastion ini masih berdiri utuh, yaitu yang berada di sebelah tenggara, barat daya dan barat laut.
Satu lagi bastion di sebelah timur laut telah lama runtuh, nyaris tidak lagi tersisa bekasnya. Sebuah prasasti yang ada di bekas bastion itu, menunjukkan sebab kerusakannya akibat serangan balatentara Inggris pada tahun 1812. Peristiwa yang terjadi pada masa Sultan Hamengku Buwono II tersebut dikenal sebagai Geger Sepoy atau Geger Spei.
Hingga sekitar abad ke-18, Benteng Baluwerti dikelilingi oleh selokan yang lebar dan dalam yang disebut jagang dengan jembatan gantung di depan setiap plengkungnya. Sepanjang tepian jagang ditanam deretan Pohon Gayam. Jika datang ancaman bahaya, jembatan-jembatan ini dapat ditarik ke atas hingga menutup jalan masuk menuju bagian dalam benteng.
Pada jamannya, plengkung-plengkung ditutup pada jam 8 malam dan dibuka kembali pada jam 5 pagi diiringi genderang dan terompet para prajurit di halaman Kemagangan.
***
Satu lagi benteng yang berdiri di tengah Kota Yogyakarta adalah Benteng Vredeburg, benteng megah yang saat ini berfungsi sebagai museum sejarah perjuangan Bangsa Indonesia.
Awalnya, Meski dipergunakan untuk kepentingan VOC, benteng ini tidak dibangun oleh orang-orang Belanda.
Benteng Vredeburg mulai dibangun pada tahun 1760 oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I. Pembangunan ini dilakukan atas permintaan VOC yang diwakili oleh Gubernur Pantai Utara Jawa, Nicolaas Hartingh, sebagai bagian dari kesepakatan dan keniscayaan politik di masa-masa awal berdirinya Kasultanan Yogyakarta, pasca peristiwa Palihan Nagari di tahun 1755.
Dalihnya demi membantu menjaga keamanan Kraton Kasultanan Yogyakarta, meski dengan mudah dapat dibaca sebagai upaya VOC untuk memantau pergerakan Kasultanan Yogyakarta sendiri. Karenanya, Sultan pun tak banyak menunjukkan semangat untuk mewujudkannya. Namun, meski dibangun dengan setengah hati, akhirnya berdiri jugalah sebuah benteng sederhana yang terletak sekitar 200 meter di sebelah utara Kraton.
Benteng berbentuk bujursangkar ini di keempat sudutnya dibuat tempat penjagaan yang disebut seleka atau bastion. Keempat sudut itu masing-masing diberi nama Jayawisesa di barat laut, Jayapurusa di timur laut, Jayaprakosaningprang di barat daya dan Jayaprayitna di tenggara.
Di tahun 1765, Gubernur W.H. Ossenberch yang menggantikan Nicolaas Hartingh mengusulkan agar benteng dibuat lebih permanen demi menjamin keamanan. Setelah tercapai kesepakatan dengan Sultan Yogyakarta, penyempurnaan bangunan benteng pun dimulai pada tahun 1767 dibawah pengawasan Frans Haak, seorang insinyur Belanda, dan baru berakhir di tahun 1787.
Penyempurnaan bangunan benteng ini memakan waktu cukup lama, karena Sultan bagaimanapun lebih memprioritaskan perhatiannya pada Kraton Kasultanan yang masa itu juga sedang dibangun. Setelah selesai disempurnakan, benteng ini kemudian diberi nama Fort Rustenburg, yang berarti Benteng Peristirahatan.
Hampir seabad kemudian, benteng yang cukup megah ini sempat mengalami kerusakan berat saat terjadinya gempa bumi besar yang melanda Kota Yogyakarta di tahun 1867. Setelah dilakukan pembenahan, Fort Rustenburg berganti nama menjadi Fort Vredeburg, yang berarti Benteng Perdamaian.
Benteng Vredeburg memiliki 3 buah pintu, yang terdapat di sisi sebelah barat, selatan dan timur, dengan pintu utama berada di sebelah barat. Awalny, sebagaimana lazimnya bangunan pertahanan di masa lalu, benteng ini juga dikelilingi parit sebagai konstruksi pertahanan di sisi terluar.
Sisa parit ini masih bisa dilihat di bawah jembatan depan gerbang utama. Dahulu juga terdapat jembatan gantung di atas parit di depan setiap pintunya.
Tembok benteng adalah lapisan pertahanan kedua setelah parit, yang setiap sisi dalamnya dibuat anjungan. Di sepanjang anjungan ini terdapat sejumlah relung untuk menempatkan meriam kecil atau senjata tangan. Sebagian anjungan dan relung-relung di sebelah timur, selatan dan barat saat ini masih bisa disaksikan.
Sementara bangunan di dalam benteng terdiri dari perumahan perwira, sejumlah bangsal prajurit, gudang senjata, garasi, ruang tahanan serta kandang kuda. Sementara lapangan yang berada di tengah benteng menjadi tempat persiapan, latihan maupun upacara-upacara militer.
***
Benteng Baluwerti dan Benteng Vredeburg, dua benteng yang hanya berjarak sepenembakan meriam itu, kini menjadi landmark penting di tengah Kota Yogyakarta.
Benteng Vredeburg, selain fungsi utamanya sebagai sebuah museum, juga menjadi salah satu pusat kegiatan seni budaya penting di kota ini. Sementara Benteng Baluwerti, menjadi salah satu ciri khas keberadaan Kraton Kasultanan Yogyakarta yang masih terjaga lestari.
Terbersit kabar, Pemerintah Kota Yogyakarta berencana menata kembali lingkungan dan pemukiman di seputar Benteng Baluwerti untuk memunculkan kembali wajah asli dinding-dinding di setiap sisinya.
Jika rencana ini berjalan mulus tanpa gejolak, tentu akan menjadi prestasi tersendiri dalam bidang tata kota dan pelestarian cagar budaya.
Perhatian dan kepedulian masyarakat Yogyakarta demi lestarinya kedua benteng bersejarah ini, semoga dapat membangkitkan inspirasi bagi pengelolaan benteng-benteng lain di seluruh penjuru Nusantara.
Meski tak semua sempurna, begitu banyak cagar budaya yang terjaga kelestariannya. Rentang usianya pun cukup lebar. Mulai dari zaman kolonial satu dua abad yang lalu, hingga zaman peradaban Hindu-Buddha, lebih dari 10 abad lalu. Termasuk diantaranya deretan cagar budaya itu adalah dua bangunan pertahanan yang berdiri megah di tengah kota, Benteng Baluwerti dan Benteng Vredeburg.
***
Kraton Kasultanan Yogyakarta dikelilingi oleh sebuah benteng besar yang didirikan sebagai sarana pertahanan serta untuk mengantisipasi serangan musuh dari luar wilayah Keraton. Benteng ini dinamai Benteng Baluwerti, yang berarti jatuhnya peluru laksana hujan.
Benteng Baluwerti dibangun atas prakarsa Pangeran Adipati Anom, putra mahkota Sultan Hamengku Buwono I, untuk mengimbangi berdirinya benteng VOC di sebelah utara Kraton, yang dikenal dengan nama Benteng Vredeburg. Pembangunan Benteng Baluwerti sendiri ditandai dengan ornamen simbolik berupa suryasengkala yang berbunyi Paningaling Kawicakranan Salingga Bathara yang bermakna tahun 1785 Masehi.
Untuk mempersiapkan diri menghadapi serangan Daendels, Pada bulan November 1809, Pangeran Adipati Anom yang telah naik tahta menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono II, semakin menyempurnakan bangunan ini.
Benteng Baluwerti berbentuk segi empat, mengelilingi kompleks Keraton seluas lebih kurang satu kilometer persegi. Tembok benteng setinggi 3,5 meter dengan lebar antara 3-4 meter yang membentuk anjungan. Tebalnya tembok benteng memungkinkan orang atau kereta kuda melintas diatasnya. Sisa anjungan pada tembok Benteng Baluwerti masih bisa disaksikan pada sisi selatan sebelah timur.
Benteng Baluwerti memiliki 5 buah gerbang yang disebut plengkung. Plengkung Tarunasura atau Plengkung Wijilan berada di sisi utara sebelah timur, sekaligus menjadi pintu gerbang istana putra mahkota atau Kadipaten. Plengkung ini bentuknya masih utuh.
Plengkung Jagasura atau Plengkung Ngasem berada di sisi utara sebelah barat. Plengkung ini pada masa Sultan Hamengku Buwono VIII telah mengalami perubahan bentuk menjadi gerbang bentar.
Di sebelah barat dahulu berdiri Plengkung Jagabaya atau Plengkung Tamansari yang saat ini juga sudah berubah bentuk menjadi gapura. Sementara di sisi sebelah timur, dahulu berdiri Plengkung Madyasura yang disebut pula Plengkung Tambakbaya. Plengkung ini sudah rata dengan tanah. Ada pula yang menyebutnya dengan nama Plengkung Buntet, karena pernah ditutup menjelang serangan balatentara Inggris pada tahun 1812.
Satu lagi plengkung yang terdapat di sisi selatan masih berdiri utuh dan dikenal dengan nama Plengkung Nirboyo atau Plengkung Gadhing. Fungsi khusus gerbang ini adalah sebagai jalan untuk menghantar Sultan yang wafat menuju makam para raja di Pajimatan Imogiri. Pada sisi kiri dan kanan pintu terdapat ragam hias kepala raksasa yang disebut Kala atau Kemamang sebagai simbol pelepasan mangkatnya sang raja.
Pada setiap sudut Benteng Baluwerti terdapat bangunan bastion yang berfungsi sebagai titik pengintaian dengan sejumlah lubang dan relung yang berfungsi untuk menempatkan meriam atau senjata lainnya. 3 dari 4 bastion ini masih berdiri utuh, yaitu yang berada di sebelah tenggara, barat daya dan barat laut.
Satu lagi bastion di sebelah timur laut telah lama runtuh, nyaris tidak lagi tersisa bekasnya. Sebuah prasasti yang ada di bekas bastion itu, menunjukkan sebab kerusakannya akibat serangan balatentara Inggris pada tahun 1812. Peristiwa yang terjadi pada masa Sultan Hamengku Buwono II tersebut dikenal sebagai Geger Sepoy atau Geger Spei.
Hingga sekitar abad ke-18, Benteng Baluwerti dikelilingi oleh selokan yang lebar dan dalam yang disebut jagang dengan jembatan gantung di depan setiap plengkungnya. Sepanjang tepian jagang ditanam deretan Pohon Gayam. Jika datang ancaman bahaya, jembatan-jembatan ini dapat ditarik ke atas hingga menutup jalan masuk menuju bagian dalam benteng.
Pada jamannya, plengkung-plengkung ditutup pada jam 8 malam dan dibuka kembali pada jam 5 pagi diiringi genderang dan terompet para prajurit di halaman Kemagangan.
***
Satu lagi benteng yang berdiri di tengah Kota Yogyakarta adalah Benteng Vredeburg, benteng megah yang saat ini berfungsi sebagai museum sejarah perjuangan Bangsa Indonesia.
Awalnya, Meski dipergunakan untuk kepentingan VOC, benteng ini tidak dibangun oleh orang-orang Belanda.
Benteng Vredeburg mulai dibangun pada tahun 1760 oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I. Pembangunan ini dilakukan atas permintaan VOC yang diwakili oleh Gubernur Pantai Utara Jawa, Nicolaas Hartingh, sebagai bagian dari kesepakatan dan keniscayaan politik di masa-masa awal berdirinya Kasultanan Yogyakarta, pasca peristiwa Palihan Nagari di tahun 1755.
Dalihnya demi membantu menjaga keamanan Kraton Kasultanan Yogyakarta, meski dengan mudah dapat dibaca sebagai upaya VOC untuk memantau pergerakan Kasultanan Yogyakarta sendiri. Karenanya, Sultan pun tak banyak menunjukkan semangat untuk mewujudkannya. Namun, meski dibangun dengan setengah hati, akhirnya berdiri jugalah sebuah benteng sederhana yang terletak sekitar 200 meter di sebelah utara Kraton.
Benteng berbentuk bujursangkar ini di keempat sudutnya dibuat tempat penjagaan yang disebut seleka atau bastion. Keempat sudut itu masing-masing diberi nama Jayawisesa di barat laut, Jayapurusa di timur laut, Jayaprakosaningprang di barat daya dan Jayaprayitna di tenggara.
Di tahun 1765, Gubernur W.H. Ossenberch yang menggantikan Nicolaas Hartingh mengusulkan agar benteng dibuat lebih permanen demi menjamin keamanan. Setelah tercapai kesepakatan dengan Sultan Yogyakarta, penyempurnaan bangunan benteng pun dimulai pada tahun 1767 dibawah pengawasan Frans Haak, seorang insinyur Belanda, dan baru berakhir di tahun 1787.
Penyempurnaan bangunan benteng ini memakan waktu cukup lama, karena Sultan bagaimanapun lebih memprioritaskan perhatiannya pada Kraton Kasultanan yang masa itu juga sedang dibangun. Setelah selesai disempurnakan, benteng ini kemudian diberi nama Fort Rustenburg, yang berarti Benteng Peristirahatan.
Hampir seabad kemudian, benteng yang cukup megah ini sempat mengalami kerusakan berat saat terjadinya gempa bumi besar yang melanda Kota Yogyakarta di tahun 1867. Setelah dilakukan pembenahan, Fort Rustenburg berganti nama menjadi Fort Vredeburg, yang berarti Benteng Perdamaian.
Benteng Vredeburg memiliki 3 buah pintu, yang terdapat di sisi sebelah barat, selatan dan timur, dengan pintu utama berada di sebelah barat. Awalny, sebagaimana lazimnya bangunan pertahanan di masa lalu, benteng ini juga dikelilingi parit sebagai konstruksi pertahanan di sisi terluar.
Sisa parit ini masih bisa dilihat di bawah jembatan depan gerbang utama. Dahulu juga terdapat jembatan gantung di atas parit di depan setiap pintunya.
Tembok benteng adalah lapisan pertahanan kedua setelah parit, yang setiap sisi dalamnya dibuat anjungan. Di sepanjang anjungan ini terdapat sejumlah relung untuk menempatkan meriam kecil atau senjata tangan. Sebagian anjungan dan relung-relung di sebelah timur, selatan dan barat saat ini masih bisa disaksikan.
Sementara bangunan di dalam benteng terdiri dari perumahan perwira, sejumlah bangsal prajurit, gudang senjata, garasi, ruang tahanan serta kandang kuda. Sementara lapangan yang berada di tengah benteng menjadi tempat persiapan, latihan maupun upacara-upacara militer.
***
Benteng Baluwerti dan Benteng Vredeburg, dua benteng yang hanya berjarak sepenembakan meriam itu, kini menjadi landmark penting di tengah Kota Yogyakarta.
Benteng Vredeburg, selain fungsi utamanya sebagai sebuah museum, juga menjadi salah satu pusat kegiatan seni budaya penting di kota ini. Sementara Benteng Baluwerti, menjadi salah satu ciri khas keberadaan Kraton Kasultanan Yogyakarta yang masih terjaga lestari.
Terbersit kabar, Pemerintah Kota Yogyakarta berencana menata kembali lingkungan dan pemukiman di seputar Benteng Baluwerti untuk memunculkan kembali wajah asli dinding-dinding di setiap sisinya.
Jika rencana ini berjalan mulus tanpa gejolak, tentu akan menjadi prestasi tersendiri dalam bidang tata kota dan pelestarian cagar budaya.
Perhatian dan kepedulian masyarakat Yogyakarta demi lestarinya kedua benteng bersejarah ini, semoga dapat membangkitkan inspirasi bagi pengelolaan benteng-benteng lain di seluruh penjuru Nusantara.
Bagian ketiga dari tiga artikel Laporan Utama (Regol) Kabare Magazine, edisi Desember 2012 (Teks: Agus Yuniarso; Foto: Hesti Rika Pratiwi, Budi Prast)