Senin, 26 Agustus 2013

Setelah Kerajaan Islam Demak runtuh, pusat-pusat kerajaan di Jawa Tengah pindah berturut-turut, dari Pajang, Kotagede, Kerta, Plered, Kartasura serta Surakarta dan Yogyakarta. Dinasti penguasa dari zaman Kotagede hingga Surakarta dan Yogyakarta dikenal sebagai Dinasti Mataram. Sering juga disebut Dinasti Mataram Islam, untuk membedakannya dengan Dinasti Mataram Hindu yang pernah berkuasa di tanah Jawa sebelum abad ke-10 Masehi.

Dinasti yang didirikan Panembahan Senopati di akhir abad ke-16 Masehi ini, merupakan salah satu bagian penting dalam sejarah aristokrasi di tanah Jawa, bahkan di penjuru Nusantara. Meski belakangan terpecah belah menjadi sejumlah pusat kekuasaan, Mataram menjadi dinasti yang paling lama berkuasa dan tetap bertahan sejak 5 abad yang lalu.

Sayang, situs kota kerajaan peninggalan Dinasti Mataram hanya sedikit yang masih berwujud dan menunjukkan sisa wajahnya sebagai bekas ibukota kerajaan. Surakarta dan Yogyakarta masih cukup lestari dan berkembang sebagai kota modern yang menjadi ibukota budaya Jawa di masa kini. Bisa dimaklumi karena kedua kota ini berada di rantai akhir dinasti. Kota Kartasura, meski tetap ramai, namun nyaris tak mewariskan identitas sebagai kota kerajaan. Demikian juga Kerta dan Plered yang telah berubah menjadi desa-desa biasa.

Yang menarik, sebagian besar situs peninggalan Dinasti Mataram ini berada di sekitar Kota Yogyakarta. Lima dari delapan situs di sekitar Yogyakarta adalah Kotagede, Kerta, Plered, Keraton Kasultanan Yogyakarta serta Pura Pakualaman. Tiga situs lainya berada di seputar Solo, yaitu Kartasura, Kasunanan Surakarta, dan Pura Mangkunegaran.

Heritage tracking menelusuri jejak masa lampu Dinasti Mataram, tentu menjadi aktifitas yang menarik dan mengasyikkan. Wisata tematik seperti ini tak sekedar membuang waktu dan tenaga, namun juga memperkaya wawasan dan pengetahuan. Menelusuri sejumlah lokasi yang saling berkaitan dalam jarak yang berdekatan, sekaligus menyaksikan kembali saksi bisu sejarah masa lampau dalam rentangan abad yang begitu panjang, sungguh menawarkan nuansa alternatif dibanding sekedar berjalan-jalan.

Penjelajahan tentu harus dimulai dari Kotagede, situs terpenting muasal Dinasti Mataram yang terletak di sudut tenggara Kota Yogyakarta. Berbeda dengan beberapa situs di era sesudahnya yang hampir tak berwujud, Kotagede terbilang istimewa. Keramaiannya boleh dibilang tak banyak berubah sejak hampir 5 abad yang lalu, lengkap dengan karakter fisik berikut tradisi sosio-kultural masyarakatnya masih menyisakan identitas yang khas sebagai bekas kota kerajaan. Meski tak semua utuh, Kotagede masih menunjukkan ciri sebuah kota lama, berikut sejumlah situs peninggalan yang terjaga lestari.

Situs sejarah penting yang masih berdiri kokoh dan menjaga lestarinya Kotagede adalah adanya Makam Raja-raja Dinasti Mataram serta Masjid Besar Mataram, yang sangat dimuliakan dan dihormati oleh Kasultanan Yogyakarta maupun Kasunanan Surakarta, dua kerajaan yang menjadi penerus Dinasti Mataram. Kedua situs ini terletak hanya beberapa ratus meter di sebelah selatan Pasar Kotagede sekarang.

Pohon beringin besar pada sebuah halaman yang cukup luas menandai sisi jalan menuju gerbang masuk kedua situs yang disebut Gapura Padureksa. Di kiri kanan jalan menuju gapura, berjajar sejumlah rumah tradisional yang disebut Dondhongan, tempat tinggal para abdi dalem yang bertugas membersihkan halaman makam dan masjid, sekaligus sebagai juru do’a di makam para raja, yang lazim disebut Makam Senopaten.

Masjid Besar Mataram adalah salah satu bagian penting Keraton Mataram yang masih berdiri hingga saat ini. Masjid yang selesai dibangun tahun 1589 ini memiliki bangunan berbentuk tajug dengan atap bertumpang tiga. Dinding ruang utama masjid ini diperkirakan masih asli karena terdiri dari susunan balok-balok batu kapur tanpa semen.

Di sisi selatan halaman masjid terdapat sebuah gapura yang menjadi gerbang masuk menuju kompleks Makam Senopaten. Di sini berdiri sejumlah bangunan yang menjadi tempat jaga para abdi dalem yang bertugas di Makam Senopaten, sekaligus menjadi tempat bagi para peziarah untuk beristirahat dan mempersiapkan diri sebelum memasuki kompleks makam. Untuk memasuki kompleks makam, para peziarah diwajibkan mengikuti sejumlah tata tertib, diantara yaitu kewajiban untuk memakai pakaian tradisional tertentu.

Makam Senopaten menjadi persemayaman para pendiri Dinasti Mataram beserta kerabat terdekatnya, diantaranya : Panembahan Senopati, Ki Ageng Pemanahan, Panembahan Sedo ing Krapak, Kanjeng Ratu Kalinyamat, Kanjeng Ratu Retno Dumilah, Nyai Ageng Nis, Nyai Ageng Mataram, Nyai Ageng Juru Mertani, serta sejumlah tokoh lainnya. Di makam ini juga disemayamkan Sri Sultan Hamengku Buwono II , satu-satunya raja Kasultanan Yogyakarta yang tidak dimakamkan di Imogiri, serta makam saudaranya, Pangeran Adipati Pakualam I.

Peziarah yang ingin bertirakat disyaratkan untuk mandi atau berendam di sepasang kolam di sebelah selatan makam yang disebut Sendhang Selirang Kakung dan Sendhang Selirang Putri. Di sebelah barat tembok makam juga terdapat sebuah sumber air bernama Sumber Kemuning.

Selain situs Makam Senopaten dan Masjid Besar Mataram, sisa wajah Kotagede sebagai bekas pusat kerajaan besar ditunjukkan dengan peninggalan berupa tembok benteng keraton. Meski sebagian besar telah kehilangan wujud, sisa dan reruntuhannya masih bisa disaksikan di sejumlah tempat. Dahulu, tembok benteng Keraton Mataram berdiri mengelilingi alun-alun, pasar, makam para raja, serta berbagai pemukiman penduduk, seperti pemukiman kaum bangsawan, para pandai besi, para penyamak kulit, abdi dalem, kaum ulama, para pembuat tembaga, penjagal ternak, para pembuat senjata, dan pemukiman golongan Kalang.

Di sekeliling tembok benteng terdapat jagang atau parit dalam yang berfungsi sebagai saluran air sekaligus juga sebagai sarana keamanan untuk menghambat masuknya musuh ke dalam Keraton. Selain tembok Benteng Cepuri yang mengelilingi Keraton, di luar masih ada lagi tembok besar mengelilingi kota, yang disebut Benteng Baluwerti.

Tempat dimana Panembahan Senopati tinggal, sampai sekarang dikenal dengan nama Kampung Dalem. yang terletak sekitar 300 meter di sebelah selatan Makam Senopaten. Bekas Dalem Ageng diperkirakan terletak di tempat dimana Pasareyan Hasto Renggo saat ini berada. Kompleks pemakaman ini dibangun pada tahun 1934, atas prakarsa Sultan Hamengku Buwono VIII sebagai makam keluarga Kasultanan Yogjakarta.

Selepas dari Kotagede, kita beranjak sekitar 4 kilometer ke arah selatan menuju kawasan Plered di wilayahKabupaten Bantul. Disini terdapat dua situs penting yang pernah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Mataram, yaitu Kerta dan Plered.

Kerta, saat ini hanyalah nama sebuah dusun di Kalurahan Plered, Kecamatan Plered, Kabupaten Bantul. Nyaris tak ada yang tersisa dari zaman keemasannya di masa lampau, kecuali sepasang umpak atau penyangga tiang dari batu andesit, kompleks makam lama dan sisa-sisa bangunan masjid. Meski tanpa wujud yang memadai, dapat dibayangkan bagaimana suasana dusun ini di masa lampau.

Disinilah tempat yang menjadi kedhaton saat Sultan Agung Hanyokrokusumo bertahta antara tahun 1613 hingga 1645. Di dusun inilah sekian abad yang lampau, Sultan Agung, raja ketiga sekaligus raja terbesar Kerajaan Mataram, merencanakan dan mengendalikan dua kali penyerbuan ke pusat kekuasan VOC di Batavia.

Situs Kedhaton Plered tak seberapa jauh dari Dusun Kerta, berada di kecamatan yang sama. Kedhaton Plered adalah pusat pemerintahan Kerajaan Mataram pada saat Amangkurat I, putra Sultan Angung Hanyokrokusumo bertahta antara tahun 1645 hingga 1677.Kedhaton Plered adalah ibukota Kerajaan Mataram yang paling megah dan indah dibandingkan masa sebelum dan sesudahnya. Catatan-catatan kolonial Belanda menyebutkan keraton ini dibangun diantara danau buatan yang sangat luas dengan kanal-kanal di sekelilingnya, serta hamparan Pegunungan Seribu yang menjadi latar belakangnya.

Sayang, sebagaimana Kerta, Kedhaton Plered saat ini nyaris tak meninggalkan wujud masa kejayaannya. Wujud fisik yang masih bisa dijumpai diantaranya situs Sumur Gumuling, sejumlah umpak Masjid Agung, reruntuhan benteng, serta kontur tanah meninggi di sejumlah tempat bekas bangunan serta tanggul. Juga terdapat sejumlah makam kuno di seputar masjid serta puncak bukit bernama Gunung Kelir. Selebihnya hanyalah toponim yang terabadikan pada nama sejumlah dusun seperti Kedaton, Keputren, Kanoman, Kauman, Sampangan, Gerjen, Pungkuran dan Segarayasa.

Apapun wujud yang tersisa, penjelajahan ini tetap saja menarik. Terlebih jika kita menyempatkan diri membaca referensi sejarah terkait keberadaan situs-situs ini, baik sebelum maupun selama perjalanan. Imajinasi historis selama perjalanan serta panduan narasumber selama perjalanan , tentu akan semakin mengasyikkan, seolah menjadikannya sebagai sebuah perjalanan ke masa lampau.

Setidaknya dibutuhkan waktu dua hari untuk menempuh jelajah warisan budaya ini. Kotagede, Kerta dan Plered menjadi agenda di hari pertama, ditambah kunjungan ke Pajimatan Imogiri, makam para raja Dinasti Mataram. Perjalanan di hari kedua sebagai pelengkapnya, tentu dengan mengunjungi kompleks Keraton Kasultanan Yogyakarta serta Pura Pakualaman, pewaris Dinasti Mataram yang masih terjaga lestari hingga hari ini. Selamat berwisata sejarah!

Teks: Agus Yuniarso untuk Kabare Magazine.

This post have 0 Comment


EmoticonEmoticon

Next article Next Post
Previous article Previous Post

Advertisement

Subscribe
Boleh Juga Inc.