468x60bannerad

Minggu, 27 Januari 2013

Indonesia “Tempo Doeloe” di Lembar Kartu Coklat

Coklat adalah salah satu hidangan paling populer di dunia, baik dalam bentuk minuman maupun makanan. Sebagai minuman, coklat begitu sedap dinikmati dalam keadaan hangat maupun dingin. Coklat juga begitu lezat disantap sebagai makanan yang tersedia dalam berbagai bentuk, corak dan ramuan rasanya yang begitu unik.

Disamping citarasa dan kelezatannya yang khas, coklat juga dikenal berkhasiat memperbaiki suasana hati dan mempengaruhi munculnya hasrat bercinta.Karenanyalah kemudian muncul kebiasaan untuk saling berkirim coklat sebagai hadiah, baik sebagai ungkapan terima kasih, simpati, atensi maupun yang paling sering dilakukan adalah sebagai ungkapan rasa cinta dan kasih sayang.

Kebiasaan berbagi hadiah dengan coklat ditangkap dengan gesitnya oleh para pengusaha coklat sebagai salah satu gimmicks dalam memasarkan produknya. Di tahun 1868, Richard Cadbury, pengusaha coklat di Inggris mulai memperkenalkan sekotak coklat yang dikemas khusus sebagai kado Valentine, meski kebiasaan berbagi coklat sebagai kado Valentine sudah dilakukan orang Inggris sejak abad ke-17. Coklat juga lazim digunakan sebagai hadiah di Belgia. Ketika Jean Neuhaus menemukan ramuan coklat pralin di tahun 1912, segera saja produk baru ini menjadi salah satu hadiah yang paling populer di Belgia.

Masa-masa di sekitar pergantian abad ke-19 dan 20, coklat memang telah menjadi salah satu produk populer yang menjadi favorit masyarakat di berbagai penjuru dunia. Produsennya pun dikenal aktif dalam berpromosi. Begitu ketatnya persaingan, membuat mereka saling berlomba menciptakan materi promosi menarik untuk memikat hati para penikmat coklat.

Di Hindia Belanda kala itu, salah satu produk coklat yang banyak dikenal adalah Cacao & Chocolaad “A. Driessen” yang diimpor langsung dari Negeri Belanda. Pabriknya yang berlokasi di Rotterdam sudah berdiri sejak tahun 1820. Kakao mentah yang menjadi bahan bakunya didatangkan dari Suriname, negeri koloni Kerajaan Belanda di Amerika Tengah. Di penghujung abad ke-19, A. Driessen telah menjadi salah satu produsen coklat terbesar di Negeri Belanda. Sayang, pasca krisis pasaran kakao di tahun 1907 yang berlanjut dengan kegagalan di pasar saham pada tahun 1929, kejayaan A. Driessen terpaksa menyurut. Depresi ekonomi global di awal tahun 1930-an semakin memperparah kondisi perusahaan ini dan membawanya menuju kebangkrutan. Kejayaannya selama lebih dari satu abad pun berakhir ketika A. Driessen diambil alih oleh perusahaan coklat Breda Kwatta di tahun 1935.

Sebagaimana produk coklat lainnya, A. Driessen juga rajin berpromosi selama masa jayanya. Salah satu materi promosi yang begitu dikenal dan menjadi kejaran para kolektor adalah poster bergaya Art Nouveau karya Henri Privat-Livemont (1861-1936), seorang seniman dekorator asal Brussels, Belgia.

A. Driessen juga rajin menerbitkan serial kartu bergambar panorama dari seluruh dunia. Kartu berukuran mini ini disertakan dalam kemasan produknya. Yang istimewa, salah satu seri itu menampilkan sejumlah foto yang mengabadikan suasana di Hindia Belanda sekitar tahun 1920 hingga 1930an. Lebih dari 50 obyek ditampilkan dalam kartu yang bertuliskan “Wereld-Panorama ‘A. Driessen’ : extra serie Nederlandsch Oost-Indië” ini, dari potret, bangunan-bangunan penting, landmark kota, serta landscape dan panorama alam.

Dari judul-judulnya, bisa ditengarai identitas setiap obyek dalam foto-foto itu sekaligus melihat bagaimana keadaan negeri ini di masa lampau dan membandingkan dengan masa kini. Sebagian diantaranya tentu sudah banyak berubah, meski tak sedikit pula yang masih eksis di zaman ini, meski dengan nama, keadaan atau fungsi yang berbeda.

Diantara foto-foto terdapat beberapa potret yang menarik, seperti seorang Bupati dengan para bawahannya (Een regent met zijn ondergeschikten), Wedono dengan para bawahannya (Een wedono met zijn ondergeschikten), serta potret sebuah sekolah China dengan para guru dan komite sekolahnya (Chin. schoolkinderen met hun onderwijzers en schoolcommissie).

Ada pula foto Gereja Immanuel Jakarta yang dahulu bernama Willemskerk, Istana Negara Jakarta (Paleis van de Gouverneur-Generaal, Noordwijk, Batavia), Bangunan Lawang Sewu Semarang yang dahulu dipergunakan sebagai kantor Nederlandsch-Indische Spoorweg-Mattschapij (NISM), Jembatan Merah di Surabaya (Soerabaya, de Roode Brug), serta kantor pos dan kantor telepon di Surabaya tempo doeloe.

Suasana dan panorama alam antara lain diwakili oleh foto Kebun Raya Bogor (Botanische Tuin Buitenzorg), Lautan pasir di Gunung Bromo (Zandzee op den Bromo), danau kawah Gunung Ijen(Waterloop van het Idjen Kratermeer), serta air terjun Baong di Lawang, Jawa Timur, dan masih banyak lagi.

Obyek yang ditampilkan dalam kartu-kartu A. Driessen ini memang sebagian berada di pulau Jawa, yang didominasi oleh foto-foto yang diambil di Batavia, Semarang dan Jawa Timur. Meski penggambaran ini belum mewakili keadaan di Hindia Belanda secara keseluruhan, rasanya sudah cukup bermanfaat untuk mempromosikan kemolekan bumi Nusantara di dunia internasional pada masa lalu. Kartu-kartu A. Driessen itu juga menjadi arsip visual yang berharga di masa kini, memandu imajinasi untuk menjelajahi masa lalu, untuk memahami muasal dari kekinian yang kita miliki saat ini.

Teks: Agus Yuniarso untuk Kabare Magazine.

Jumat, 11 Januari 2013

Dua Benteng di Tengah Kota, Bersandingan Sepenembakan Meriam

Dalam hal pelestarian cagar budaya, Yogyakarta termasuk salah satu kota yang beruntung dibanding kota-kota lain. Tak sebatas di Indonesia, bahkan di tingkat dunia.

Meski tak semua sempurna, begitu banyak cagar budaya yang terjaga kelestariannya. Rentang usianya pun cukup lebar. Mulai dari zaman kolonial satu dua abad yang lalu, hingga zaman peradaban Hindu-Buddha, lebih dari 10 abad lalu. Termasuk diantaranya deretan cagar budaya itu adalah dua bangunan pertahanan yang berdiri megah di tengah kota, Benteng Baluwerti dan Benteng Vredeburg.

***

Kraton Kasultanan Yogyakarta dikelilingi oleh sebuah benteng besar yang didirikan sebagai sarana pertahanan serta untuk mengantisipasi serangan musuh dari luar wilayah Keraton. Benteng ini dinamai Benteng Baluwerti, yang berarti jatuhnya peluru laksana hujan.

Benteng Baluwerti dibangun atas prakarsa Pangeran Adipati Anom, putra mahkota Sultan Hamengku Buwono I, untuk mengimbangi berdirinya benteng VOC di sebelah utara Kraton, yang dikenal dengan nama Benteng Vredeburg. Pembangunan Benteng Baluwerti sendiri ditandai dengan ornamen simbolik berupa suryasengkala yang berbunyi Paningaling Kawicakranan Salingga Bathara yang bermakna tahun 1785 Masehi.

Untuk mempersiapkan diri menghadapi serangan Daendels, Pada bulan November 1809, Pangeran Adipati Anom yang telah naik tahta menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono II, semakin menyempurnakan bangunan ini.

Benteng Baluwerti berbentuk segi empat, mengelilingi kompleks Keraton seluas lebih kurang satu kilometer persegi. Tembok benteng setinggi 3,5 meter dengan lebar antara 3-4 meter yang membentuk anjungan. Tebalnya tembok benteng memungkinkan orang atau kereta kuda melintas diatasnya. Sisa anjungan pada tembok Benteng Baluwerti masih bisa disaksikan pada sisi selatan sebelah timur.

Benteng Baluwerti memiliki 5 buah gerbang yang disebut plengkung. Plengkung Tarunasura atau Plengkung Wijilan berada di sisi utara sebelah timur, sekaligus menjadi pintu gerbang istana putra mahkota atau Kadipaten. Plengkung ini bentuknya masih utuh.

Plengkung Jagasura atau Plengkung Ngasem berada di sisi utara sebelah barat. Plengkung ini pada masa Sultan Hamengku Buwono VIII telah mengalami perubahan bentuk menjadi gerbang bentar.

Di sebelah barat dahulu berdiri Plengkung Jagabaya atau Plengkung Tamansari yang saat ini juga sudah berubah bentuk menjadi gapura. Sementara di sisi sebelah timur, dahulu berdiri Plengkung Madyasura yang disebut pula Plengkung Tambakbaya. Plengkung ini sudah rata dengan tanah. Ada pula yang menyebutnya dengan nama Plengkung Buntet, karena pernah ditutup menjelang serangan balatentara Inggris pada tahun 1812.

Satu lagi plengkung yang terdapat di sisi selatan masih berdiri utuh dan dikenal dengan nama Plengkung Nirboyo atau Plengkung Gadhing. Fungsi khusus gerbang ini adalah sebagai jalan untuk menghantar Sultan yang wafat menuju makam para raja di Pajimatan Imogiri. Pada sisi kiri dan kanan pintu terdapat ragam hias kepala raksasa yang disebut Kala atau Kemamang sebagai simbol pelepasan mangkatnya sang raja.

Pada setiap sudut Benteng Baluwerti terdapat bangunan bastion yang berfungsi sebagai titik pengintaian dengan sejumlah lubang dan relung yang berfungsi untuk menempatkan meriam atau senjata lainnya. 3 dari 4 bastion ini masih berdiri utuh, yaitu yang berada di sebelah tenggara, barat daya dan barat laut.

Satu lagi bastion di sebelah timur laut telah lama runtuh, nyaris tidak lagi tersisa bekasnya. Sebuah prasasti yang ada di bekas bastion itu, menunjukkan sebab kerusakannya akibat serangan balatentara Inggris pada tahun 1812. Peristiwa yang terjadi pada masa Sultan Hamengku Buwono II tersebut dikenal sebagai Geger Sepoy atau Geger Spei.

Hingga sekitar abad ke-18, Benteng Baluwerti dikelilingi oleh selokan yang lebar dan dalam yang disebut jagang dengan jembatan gantung di depan setiap plengkungnya. Sepanjang tepian jagang ditanam deretan Pohon Gayam. Jika datang ancaman bahaya, jembatan-jembatan ini dapat ditarik ke atas hingga menutup jalan masuk menuju bagian dalam benteng.

Pada jamannya, plengkung-plengkung ditutup pada jam 8 malam dan dibuka kembali pada jam 5 pagi diiringi genderang dan terompet para prajurit di halaman Kemagangan.

***

Satu lagi benteng yang berdiri di tengah Kota Yogyakarta adalah Benteng Vredeburg, benteng megah yang saat ini berfungsi sebagai museum sejarah perjuangan Bangsa Indonesia.

Awalnya, Meski dipergunakan untuk kepentingan VOC, benteng ini tidak dibangun oleh orang-orang Belanda.

Benteng Vredeburg mulai dibangun pada tahun 1760 oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I. Pembangunan ini dilakukan atas permintaan VOC yang diwakili oleh Gubernur Pantai Utara Jawa, Nicolaas Hartingh, sebagai bagian dari kesepakatan dan keniscayaan politik di masa-masa awal berdirinya Kasultanan Yogyakarta, pasca peristiwa Palihan Nagari di tahun 1755.

Dalihnya demi membantu menjaga keamanan Kraton Kasultanan Yogyakarta, meski dengan mudah dapat dibaca sebagai upaya VOC untuk memantau pergerakan Kasultanan Yogyakarta sendiri. Karenanya, Sultan pun tak banyak menunjukkan semangat untuk mewujudkannya. Namun, meski dibangun dengan setengah hati, akhirnya berdiri jugalah sebuah benteng sederhana yang terletak sekitar 200 meter di sebelah utara Kraton.

Benteng berbentuk bujursangkar ini di keempat sudutnya dibuat tempat penjagaan yang disebut seleka atau bastion. Keempat sudut itu masing-masing diberi nama Jayawisesa di barat laut, Jayapurusa di timur laut, Jayaprakosaningprang di barat daya dan Jayaprayitna di tenggara.

Di tahun 1765, Gubernur W.H. Ossenberch yang menggantikan Nicolaas Hartingh mengusulkan agar benteng dibuat lebih permanen demi menjamin keamanan. Setelah tercapai kesepakatan dengan Sultan Yogyakarta, penyempurnaan bangunan benteng pun dimulai pada tahun 1767 dibawah pengawasan Frans Haak, seorang insinyur Belanda, dan baru berakhir di tahun 1787.

Penyempurnaan bangunan benteng ini memakan waktu cukup lama, karena Sultan bagaimanapun lebih memprioritaskan perhatiannya pada Kraton Kasultanan yang masa itu juga sedang dibangun. Setelah selesai disempurnakan, benteng ini kemudian diberi nama Fort Rustenburg, yang berarti Benteng Peristirahatan.

Hampir seabad kemudian, benteng yang cukup megah ini sempat mengalami kerusakan berat saat terjadinya gempa bumi besar yang melanda Kota Yogyakarta di tahun 1867. Setelah dilakukan pembenahan, Fort Rustenburg berganti nama menjadi Fort Vredeburg, yang berarti Benteng Perdamaian.

Benteng Vredeburg memiliki 3 buah pintu, yang terdapat di sisi sebelah barat, selatan dan timur, dengan pintu utama berada di sebelah barat. Awalny, sebagaimana lazimnya bangunan pertahanan di masa lalu, benteng ini juga dikelilingi parit sebagai konstruksi pertahanan di sisi terluar.

Sisa parit ini masih bisa dilihat di bawah jembatan depan gerbang utama. Dahulu juga terdapat jembatan gantung di atas parit di depan setiap pintunya.

Tembok benteng adalah lapisan pertahanan kedua setelah parit, yang setiap sisi dalamnya dibuat anjungan. Di sepanjang anjungan ini terdapat sejumlah relung untuk menempatkan meriam kecil atau senjata tangan. Sebagian anjungan dan relung-relung di sebelah timur, selatan dan barat saat ini masih bisa disaksikan.

Sementara bangunan di dalam benteng terdiri dari perumahan perwira, sejumlah bangsal prajurit, gudang senjata, garasi, ruang tahanan serta kandang kuda. Sementara lapangan yang berada di tengah benteng menjadi tempat persiapan, latihan maupun upacara-upacara militer.

***

Benteng Baluwerti dan Benteng Vredeburg, dua benteng yang hanya berjarak sepenembakan meriam itu, kini menjadi landmark penting di tengah Kota Yogyakarta.

Benteng Vredeburg, selain fungsi utamanya sebagai sebuah museum, juga menjadi salah satu pusat kegiatan seni budaya penting di kota ini. Sementara Benteng Baluwerti, menjadi salah satu ciri khas keberadaan Kraton Kasultanan Yogyakarta yang masih terjaga lestari.

Terbersit kabar, Pemerintah Kota Yogyakarta berencana menata kembali lingkungan dan pemukiman di seputar Benteng Baluwerti untuk memunculkan kembali wajah asli dinding-dinding di setiap sisinya.

Jika rencana ini berjalan mulus tanpa gejolak, tentu akan menjadi prestasi tersendiri dalam bidang tata kota dan pelestarian cagar budaya.
Perhatian dan kepedulian masyarakat Yogyakarta demi lestarinya kedua benteng bersejarah ini, semoga dapat membangkitkan inspirasi bagi pengelolaan benteng-benteng lain di seluruh penjuru Nusantara.

Bagian ketiga dari tiga artikel Laporan Utama (Regol) Kabare Magazine, edisi Desember 2012 (Teks: Agus Yuniarso; Foto: Hesti Rika Pratiwi, Budi Prast)

Kamis, 10 Januari 2013

Dari Benteng ke Benteng, Melacak Jejak Sejarah

Setiap wujud peninggalan masa lalu, selalu menarik untuk dikunjungi dan dipelajari. Di sanalah saksi peradaban manusia berada, yang menjadi salah satu sumber penting untuk mencatat perjalanan sejarah sebuah bangsa.

Salah satu peninggalan itu adalah bangunan benteng pertahanan yang banyak berdiri di seluruh penjuru Nusantara sejak beberapa abad lalu. Bagaimana riwayatnya kini?

Awal November 2012 lalu, Tim Kabare telah menjelajahi dan mendokumentasikan sejumlah benteng peninggalan masa lalu yang tersebar di Kota Cilacap, Gombong, Ambarawa, Ungaran, Ngawi, Surakarta dan Yogyakarta.

Meski memfokuskan diri pada sejumlah benteng peninggalan Belanda, tim juga berupaya menengok kembali keberadaan benteng asli peninggalan Dinasti Mataram Islam, khususnya Benteng Baluwerti di Kraton Kasultanan Yogyakarta yang masih menampakkan wujud aslinya.

Dalam perkembangannya saat ini, meski awalnya sebagian besar tetap menjadi aset dan fasilitas militer, kondisi dan fungsi setiap benteng itu berbeda-beda. Ada yang masih cenderung tertutup, ada pula yang sudah berubah menjadi ruang publik.

Tulisan ini merangkum seluruh hasil kunjungan Tim Kabare, kecuali riwayat tentang Benteng Vredeburg dan Benteng Baluwerti di Yogyakarta yang disajikan dalam tulisan tersendiri.

***

Dari Yogyakarta, Tim Kabare meluncur menuju Kota Cilacap di sudut barat daya Provinsi Jawa Tengah, mengunjungi sebuah obyek wisata yang sudah begitu dikenal: Benteng Pendem Cilacap, yang dalam literatur Belanda disebut sebagai Kustbatterij op de Landtong te Tjilatjap.

Konon, benteng berbentuk segi lima yang dibangun antara tahun 1861 hingga 1879 ini merupakan tiruan dari Fort Rhijnauwen, benteng terbesar di Utrecht, Negeri Belanda, yang dibangun pada masa yang sama.

Di masa kemerdekaan, sebagaimana benteng-benteng yang lain, Benteng Pendem Cilacap diambil alih oleh tentara Indonesia. Meski tidak dipergunakan secara intensif, tempat ini pernah menjadi ajang sejumlah aktifitas militer.

Salah satunya di tahun 1960-an, saat Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD), yang sekarang bernama Komando Pasukan Khusus (Kopassus), mempergunakannya sebagai markas latihan lintas hutan, gunung, rawa dan laut. Aktifitas ini ditandai dengan didirikannya Tugu Monumen Peluru di salah satu sisi yang menjadi gerbang masuknya kala itu.

Selama dua dasawarsa semenjak tidak dipergunakan lagi oleh RPKAD, Benteng Pendem ini sempat tak terurus, tertutup semak perdu dan tertimbun pasir. Baru di tahun 1986, Pemerintah Kabupaten Cilacap berupaya menggali kembali, bersamaan dengan dimulainya pembangunan dermaga kapal, perkantoran dan tangki-tangki minyak yang dikelola oleh Pertamina Unit Produksi IV Cilacap.

Di tahun yang sama pula, Atas inisiatif seorang warga Cilacap bernama Adi Wardoyo, kawasan benteng mulai dibuka dan ditata, hingga mulai bisa dikunjungi umum pada tahun 1987.

Benteng Pendem Cilacap diperkirakan memiliki luas asli sekitar 10 hektar. Denah dan struktur reruangannya secara lengkap kemungkinan sulit disingkap, karena sekitar 4 hektar dari luas kawasannya terlanjut dipergunakan sebagai fasilitas operasional Pertamina.

Saat ini, selain benteng perlindungan, ruang pengintaian dan parit di sisi luar, sebagian bangunan yang masih bisa diidentifikasi adalah barak prajurit, ruang rapat, klinik, gudang senjata dan mesiu, penjara, dapur serta terowongan bawah tanah. Konon, sebagian dari terowongan ini memanjang menembus laut, menuju Benteng Karangbolong, sebuah benteng di Pulau Nusakambangan yang juga dibangun oleh Belanda di tahun 1873.

Di wilayah Gombong, Kabupaten Kebumen, berdiri bekas benteng yang sekarang berubah menjadi obyek wisata yang terkenal bernama Benteng Van der Wijck. Terakhir, sebelum akhirnya dikelola oleh swasta, benteng ini dipergunakan sebagai bagian dari Sekolah Calon Tamtama A dibawah Kodam IV / Diponegoro.

Meski relatif utuh dan kokoh, tak banyak tersedia catatan yang berkaitan dengan sejarah pendirian benteng bersegi delapan ini. Ditilik dari bentuk bangunannya, Benteng Van der Wijck kemungkinan dibangun pada periode yang sama dengan pembangunan Benteng Willem I di Ambarawa dan Benteng Prins Oranje di Semarang, buah dari kebijakan Benteng Stelsel di masa pemerintahan Gubernur Jenderal Hendrik Merkus Baron de Kock.

Sebelumnya, benteng ini juga dikenal dengan nama Fort Frans David Cochius. Penamaan ini sebagai penghargaan Raja Belanda Willem I kepada Mayor Jenderal Frans David Cochius, atas jasanya memenangkan pertempuran di Pegunungan Bonjol, Sumatera Barat (1837). Penaklukan ini mengakhiri perlawanan Kaum Adat dan Kaum Padri yang berlangsung sejak tahun 1831. Selain pernah bertugas di wilayah Kedu, Jawa Tengah, Cochius juga dikenal sebagai perancang strategi Benteng Stelsel.

Sementara Van der Wijck, nama yang tertera di gerbang masuk dan menjadi nama benteng saat ini, belum dijumpai keterangan yang akurat tentang biografinya. Di akhir abad ke-19, setidaknya ada 2 tokoh penting bernama Van der Wijck. Yang pertama adalah Johan Cornelis van der Wijck, seorang Letnan Jenderal Hindia Belanda yang pernah menjabat sebagai salah satu komandan militer wilayah Jawa (1900), Gubernur Militer di wilayah Aceh dan sekitarnya (1904) dan terakhir sebagai Panglima sekaligus Kepala Departemen Perang Pemerintah Kolonial Hindia Belanda (1905).

Tokoh kedua adalah Carel Herman Aart van der Wijck, Gubernur Jenderal Hindia yang memerintah dari tahun 1893 hingga 1899. Bagi Kerajaan Belanda, tokoh ini dianggap berjasa atas keberhasilannya mengendalikan peperangan antara orang Sasak dan Bali di Lombok, yang berakhir dengan jatuhnya Istana Cakranegara di Ampenan serta penguasaan penuh Belanda atas pulau itu (Peristiwa ini juga “menyelamatkan” Naskah Negarakertagama dari istana yang terbakar dan membawanya ke Negeri Belanda).

Namanya diabadikan sebagai nama sebuah kapal mewah yang kemudian karam di dekat Lamongan dan diceritakan kembali oleh Hamka dalam karyanya ”Tenggelamnya Kapal Van der Wijck”. Sumber lain juga menyebutkan pengabadian namanya pada saluran irigasi penting di Yogyakarta, yang dikenal dengan nama Selokan Van der Wijck (dibangun tahun 1909).

***

Perjalanan Tim Kabare berlanjut menuju wilayah Ungaran, di Kabupaten Semarang. Di lintasan utama yang menghubungkan Semarang dengan Surakarta dan Yogyakarta ini berdiri salah satu benteng tua yang berdiri sejak abad ke-18 yang dikenal dengan nama Benteng Willem II.

Keberadaannya bermula dari sebuah benteng sederhana yang diberi nama Fort Ontmoeting atau Benteng Pertemuan, sebagai peringatan pertemuan bersejarah antara Sri Susuhunan Paku Buwono II dengan Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron van Imhoff, 11 Mei 1746. Benteng ini kemudian disempurnakan bangunannya pada tahun 1786 dan dikenal dengan nama Fort Oenarang (sebutan lama Ungaran).

Setelah berakhirnya Perang Jawa (1827-1830), seiring dibangunnya benteng yang lebih besar di Ambarawa, benteng ini kemudian berubah nama menjadi Fort Willem II, mengabadikan nama Raja Belanda kedua, Willem Frederik George Lodewijk van Oranje-Nassau atau Willem II yang memerintah dari tahun 1840-1849. Belakangan, benteng ini disebut dengan nama Benteng Diponegoro, karena disinilah Pangeran Diponegoro ditahan sementara sebelum akhirnya diasingkan ke Makassar.

Lokasi Benteng Willem II mudah dijumpai karena berada di tepi jalan raya utama Solo-Semarang, sekitar 35 km dari Ambarawa, tepatnya di depan Gedung Sekretariat Daerah Kabupaten Semarang. Benteng yang terdiri dari 2 bangunan bertingkat dengan tembok keliling setebal 1 meter ini pernah dipergunakan sebagai asrama polisi, sebelum akhirnya dikosongkan hingga saat ini.

Meski terkesan kurang terpelihara, kondisi fisik bangunannya relatif masih utuh. Lokasinya pun sangat strategis dan potensial untuk dikembang sebagai obyek wisata atau pusat aktifitas seni budaya. Sayang, upaya menuju kesana masih terhambat oleh sengketa kepemilikan lahan sehingga belum sepenuhnya bisa terealisasikan.

Namun upaya pelestariannya sebagai cagar budaya secara bertahap telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Semarang. Sebagian kawasan Benteng Willem II, sementara ini telah mulai difungsikan menjadi ruang publik, lengkap dengan fasilitas taman, tempat duduk, tempat parkir, hingga hotspot area. Halaman depan benteng yang disebut dengan “Taman Beteng” ini, menjadi salah satu tempat favorit warga masyarakat Ungaran dan sekitarnya.

Masih di wilayah Kabupaten Semarang, tak jauh dari Museum Kereta Api Ambarawa, berdiri sebuah benteng peninggalan Belanda yang dikenal dengan nama Benteng Willem I. Saat ini, sebagian kawasan bekas benteng dipergunakan sebagai lembaga pemasyarakatan oleh Departemen Hukum dan HAM RI, sementara sebagian lainnya dimanfaatkan sebagai hunian keluarga militer dibawah pengelolaan Kodam IV / Diponegoro.

Benteng Ambarawa dibangun antara tahun 1834-1853 sebagai sebuah benteng modern, menempati bekas markas pasukan cadangan dan gudang logistik Belanda yang berperan penting selama berkecamuknya Perang Jawa (1825-1830). Benteng ini mengabadikan nama Raja Belanda pertama, Willem Frederik Prins van Oranje-Nassau atau Willem I Frederick yang memerintah dari tahun 1815-1840.

Kawasan benteng sangat luas, bahkan disebut sebagai salah satu benteng terbesar di Pulau Jawa. Benteng Willem I juga dikenal sebagai maskas Oost-Indische Leger, pasukan khusus Belanda dalam Perang Jawa yang direorganisasi akhir tahun 1830, cikal bakal dari Koninklijk Nederlands-Indisch Leger (KNIL) yang baru resmi dibentuk pada tahun 1933. Tahun 1873, ketika jaringan kereta api marak dibangun di Pulau Jawa, benteng ini juga membangun stasiun dan jalur khusus yang menghubungkannya ke Semarang dan Yogyakarta. Sebagaimana benteng, stasiun itu awalnya bernama Stasiun Willem I.

Sayang, sebagai sebuah cagar budaya, kondisi benteng ini cukup memprihatinkan. Berbeda dengan nasib Stasiun Willem I lestari dan tersohor sebagai Museum Kereta Api Ambarawa, kondisi fisik kawasan Benteng willem I tampak terbengkalai. Memang, melihat luasnya kawasan dan kondisinya saat ini, mudah dipahami jika pemeliharaan dan perbaikannya membutuhkan biaya yang sangat besar.

***

Dari Ambarawa, Tim Kabare langsung beranjak menuju Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Di kota ini berdiri sebuah benteng yang dahulu Fort Van den Bosch, dikenal juga dengan sebutan Benteng Pendem Ngawi. Benteng ini terletak tak jauh dari titik pertemuan (tempuran) Bengawan Solo dan Bengawan Madiun, di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Lokasinya mudah dijangkau, karena berada di pusat Kota Ngawi.

Semula, keberadaan benteng ini tak banyak diketahui, bahkan nyaris terlupakan. Maklum, pasca kemerdekaan, kawasan ini menjadi fasilitas militer yang tertutup bagi publik. Baru di awal 2011, benteng mulai dibuka untuk umum. Meski sudah mulai bisa dikunjungi, kawasan benteng masih berada di bawah pengelolaan Yon Armed 12/Kostrad Angicipi Yudha, batalyon artileri medan di bawah Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) yang pernah memanfaatkannya sebagai markas dalam kurun waktu yang cukup lama.

Sebagaimana ditulis dalam buku “De Java Oorlog” karya Pjf. Louw (Jilid I, 1894), benteng ini dibangun pada tahun 1839 hingga 1845 sebagai sarana pertahanan menghadapi sisa-sisa laskar Pangeran Diponegoro di wilayah Ngawi yang dipimpin oleh Wirotani. Lokasinya sangat strategis, karena berada simpang lajur transportasi sungai yang menghubungkan aktifitas perdagangan dari Surakarta, Yogyakarta, Pacitan, Madiun dan Maospati, menuju bandar Surabaya.

Benteng ini dinamai Fort Van den Bosch, mengabadikan nama Gubernur Jenderal Johannes graaf van den Bosch yang memerintah di tahun 1830-1834.

Sebagai catatan, Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-43 ini dikenal sebagai penguasa Hindia Belanda menggagas dan memberlakukan Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel). Di pihak Belanda, meski telah menimbulkan kesengsaraan bagi kaum pribumi, sistem ini berhasil menyumbangkan keuntungan besar dan berperan penting dalam peningkatan kemakmuran di Negeri Belanda.

Belakangan, sistem ini juga telah melahirkan zaman keemasan kolonialisme liberal di Hindia Belanda (1835-1940). Karenanya, Raja Belanda William I menganugerahkan gelar Graaf kepada Van den Bosch pada tahun 1839. Pemberian nama benteng di Ngawi dengan namanya, kemungkinan adalah bagian dari pemberian penghargaan itu, bukan karena didirikan oleh Van den Bosch sebagaimana tertulis di sejumlah sumber.

Meski termakan usia, Benteng Van den Bosch masih tampak kokoh. Bangunan yang masih bisa disaksikan adalah gerbang utama, ratusan kamar para tentara, halaman tengah, dan beberapa ruang yang diyakini sebagai bekas kandang kuda.

Seperti umumnya, sisi luar benteng juga dikelilingi oleh parit selebar 5 meter yang saat ini telah tertimbun tanah. Benteng ini juga dikelilingi oleh gundukan tanah, sehingga memberi kesan terpendam, dan disebut dengan nama Benteng Pendem. Selain sebagai fungsi pertahanan, gundungan ini juga berguna untuk melindungi kawasan benteng jika sewaktu-waktu terjadi luapan air sungai Bengawan Solo atau Bengawan Madiun.

Kota Surakarta adalah persinggahan terakhir, sebelum kemudian kembali ke Yogyakarta. Di tengah kota, tepatnya di kawasan Gladak, berdiri bangunan Benteng Vastenburg yang berarti “benteng yang dikelilingi tembok kuat”. Benteng ini didirikan oleh pada 1775-1779 atau 32 tahun setelah berdirinya Kraton Kasunanan Surakarta, pada tempat yang sama dengan bangunan Fort De Grootmoedigheid yang dibangun oleh Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron van Imhoff di tahun 1745.

Bentuknya menyerupai Benteng Vredeburg di Yogyakarta, yang dibangun pada kisaran waktu yang sama, yaitu bujur sangkar dengan tonjolan di empat sudutnya yang disebut seleka atau bastion. Benteng ini juga dikelilingi parit dengan jembatan gantung di depan setiap gerbangnya. Sementara bangunan dalam benteng terdiri dari beberapa barak terpisah, serta lapangan terbuka di tengahnya yang dipergunakan sebagai tempat latihan, persiapan pasukan serta apel bendera.

Sebagaimana bangunan benteng lainnya, pasca kemerdekaan Benteng Vastenburg juga dipergunakan sebagai fasilitas militer TNI. Terakhir, benteng ini dipergunakan sebagai markas dan tempat latihan Brigif 6/Kostrad Trisakti Baladaya, brigade infanteri di bawah Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad).

Sayang, meski berada di tengah kota, kondisi Benteng Vastenburg sungguh terbengkalai dan tidak terawat. Ini terkait dengan sengketa kepemilikan lahan yang tak kunjung usai. Benteng Vastenburg di Surakarta, kemungkinan adalah satu-satunya benteng yang sepenuhnya dimiliki oleh pihak swasta. Sebuah bangunan cagar budaya penting yang tidak lagi dikuasai oleh negara.

Harapannya, semoga bisa segera dicapai mufakat yang mampu menyalurkan kepentingan setiap pihak yang terkait dengan keberadaan Benteng Vastenburg, demi kelestariannya sebagai cagar budaya dan saksi perjalanan sejarah bangsa. Harapan ini tak hanya berhenti di Surakarta, tapi juga di setiap benteng yang masih bisa diselamatkan keberadaanya di seluruh penjuru Nusantara.

Bagian kedua dari tiga artikel Laporan Utama (Regol)Kabare Magazine, edisi Desember 2012 (Teks: Agus Yuniarso, Della Yuanita; Foto: Budi Prast, Albert)

Rabu, 09 Januari 2013

Benteng, Tak Semua Mampu Bertahan

Benteng adalah konstruksi bangunan yang (umumnya) dirancang sebagai pertahanan dalam menghadapi situasi perang. Di masa lalu, sebagai sarana mempertahankan diri dari serangan musuh, benteng banyak didirikan di seluruh penjuru dunia. Bentuk dan bahannya pun sangat beragam, mengikuti kondisi geografis dimana benteng itu berdiri serta peradaban dan teknologi yang berkembang pada zamannya.

Di Indonesia, berbagai bentuk benteng pertahanan pernah dibangun oleh kerajaan-kerajaan asli yang menjadi penguasa lokal, serta sejumlah bangsa asing yang pernah berkuasa, atau setidaknya berdagang di wilayah Nusantara, seperti bangsa Spanyol, Portugis, Inggris, Belanda dan Jepang.

Sejak paruh awal abad ke-19, semakin banyak jumlah benteng yang berdiri, khususnya di Pulau Jawa dan Sumatra, saat Pemerintah kolonial Hindia Belanda menerapkan strategi Benteng Stelsel untuk menghadapi berbagai perlawanan. Inti strategi ini adalah membangun benteng-benteng pertahanan berikut jalur transportasi yang saling menghubungkannya, pada setiap wilayah yang berhasil dikuasai.

Strategi yang dirancang oleh Frans David Cochius ini mulai diterapkan pada tahun 1827 oleh Gubernur Jenderal Hendrik Merkus baron de Kock, ditengah berkecamuknya Perang Diponegoro (1825-1830).

Untuk mempersempit gerak pasukan Pangeran Diponegoro, Belanda membangun sejumlah benteng di Semarang, Ambarawa, Muntilan, Kulon Progo dan Magelang, hingga kemudian menghasilkan tak kurang dari 165 benteng baru yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Strategi ini dianggap berhasil ketika Perang Diponegoro berakhir pada tahun 1830 dan dipergunakan kembali saat menghadapi Perang Padri di Sumatra (1803-1838).

Menarik untuk menelusuri dan mengamati keberadaan benteng-benteng yang pernah berdiri kokoh dan menjadi saksi sejarah pada zamannya itu. Sekilas studi visual yang dilakukan Tim Kabare pada foto, ilustrasi serta peta lama dari pertengahan abad ke-18 hingga akhir ke-19, menemukan sejumlah benteng peninggalan masa lalu yang meski tidak merata, tersebar di seluruh penjuru Nusantara.



Di Pulau Sumatera misalnya, berdiri sejumlah benteng diantaranya: Fort de Kock (Bukittinggi, Sumatera Barat), Fort der Capellen (Batusangkar, Sumatra Barat), Fort Poleoe Tjinkoe (Pesisir Selatan, Sumatra Barat), Fort Marlborough (Bengkulu), Fort Palembang (Palembang), Fort Tandjoengpinang dan Fort Prins Hendrik atau Fort Kroonprins (Riau), Fort Toboalij (Bangka), serta Fort Pakanbadak (Kutaraja, Aceh).

Di Pulau Jawa, hampir di setiap kota pernah berdiri benteng. Yang masih bisa dicatat antara lain: Fort Speelwijk (Banten), Fort Diamant (Serang), Castle of Batavia (Jakarta), Fort Prins van Oranje (Semarang), Fort Vredeburg dan Benteng Baluwerti (Yogyakarta), Fort Vastenburg (Solo), Fort Willem II (Ungaran), Fort Willem I (Ambarawa), Fort Kedoeng Kebo (Purworejo), Fort van der Wijck (Gombong), Fort Engelenburg (Klaten), Fort de Hersteller (Salatiga), Fort Djapara (Jepara), Fort Prins Hendrik (Surabaya), Fort Van den Bosch (Ngawi), Fort Erfprins (Gresik) dan Fort Utrecht (Banyuwangi) serta sejumlah benteng di beberapa kota lainnya.

Bangunan benteng juga banyak dijumpai di Kepulauan Maluku, yang hingga pertengahan abad ke-19 pernah menjadi surga rempah-rempah dunia. Di Ambon misalnya, selain Fort Nieuw Victoria yang sampai sekarang masih berdiri kokoh, juga pernah berdiri Fort Amsterdam (Hila), Fort Haarlem (Lima), dan Fort Middelburg (Paso).

Di Kepulauan Banda, setidaknya pernah berdiri 6 benteng, yaitu: Fort Belgica, Fort Nassau, Fort Kuilenburg, Fort Hollandia, Fort Concordia, dan Fort Revengie. Di wilayah Ternate, teridentifikasi 4 bangunan benteng: Fort Oranje, Fort Voorburg, Fort Tolluco dan Fort Kalamata. Masih terdapat belasan benteng lainnya yang tersebar di kepulauan ini.

Benteng lainnya tersebar di sejumlah wilayah, seperti Fort Rotterdam dan Fort Vredenburg (Makassar), Benteng Kesultanan Buton (Bau-bau), Fort Nieuw Amsterdam (Manado), Fort Tatas (Banjarmasin), Fort Du Bus (Pontianak), Fort Concordia (Kupang), dan Fort Du Bus (Papua).



Pusat Dokumentasi Arsitektur (PDA), sebuah lembaga yang menekuni penelitian dan dokumentasi arsitektur, khususnya bangunan dan kawasan cagar budaya di Indonesia, menyebut lebih dari 275 benteng peninggalan masa lalu yang tersebar di seluruh penjuru Nusantara. Bangunan ini tak hanya tersebar di pulau atau kota-kota besar, namun juga di pelosok wilayah dan pulau-pulau terpencil.

Sayang, sebagian bangunan benteng itu telah lenyap tanpa bekas. Sebagian yang lain hancur terlapukkan zaman, hanya menyisakan bekas-bekas bangunan beserta mitos dan legenda yang menyertai keberadaannya. Sebagian lagi masih menyisakan wujud aslinya, namun dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Tak cuma kondisi fisik, catatan sejarahnya pun sulit tertemukan. Jika data dan sejarah benteng di kota-kota besar saja acapkali tak terungkap dengan akurat, apalagi benteng yang berdiri di pelosok wilayah atau pulau-pulau terpencil.

Sementara bangunan benteng yang terjaga lestari sebagai cagar budaya warisan masa lalu, relatif terbilang dengan hitungan jari. Benteng-benteng beruntung yang panjang umur ini masih berdiri kokoh dengan beragam fungsi, meski kondisi bangunannya tak lagi seutuh di masa jayanya.

Benteng-benteng ini bahkan tampil menjadi landmark kotanya, seperti Benteng Malborough di Bengkulu, Benteng Rotterdam di Makassar, Benteng Vredeburg dan Benteng Baluwerti di Yogyakarta, Benteng Van der Wijck di Gombong, Benteng de Kock di Bukittinggi serta Benteng Nieuw Victoria di Ambon.

Ternyata, meski menjadi bangunan pertahanan, tak semua benteng mampu bertahan melawan arus perubahan zaman.

Bagian pertama dari tiga artikel Laporan Utama (Regol)Kabare Magazine, edisi Desember 2012 (Teks: Agus Yuniarso; Foto: Budi Prast).

Minggu, 06 Januari 2013

Pematung Ulung dari Prumpung, Kisah Anak-Cucu Pemahat Borobudur

Misteri yang menyelimuti Candi Borobudur, barangkali sebanding dengan bilangan tahun usianya. Sejarah hanya mencatat di mana bangunan raksasa ini dibangun pada masa kejayaan Dinasti Syailendra, sekitar abad ke-8 Masehi. Selebihnya, tidak ada catatan yang pasti tentang keberadaannya.

Yang kini tampak hanyalah keelokan sebuah candi dengan tinggi lebih dari 30 meter, yang memiliki diameter alas sepanjang 120 meter. Bagian-bagian tubuhnya dihiasi lebih dari 500 buah patung, serta sekitar 1.500 panel relief seluas 2.500 meter persegi.

Misteri Candi Borobudur tak semata pada sosok bangunannya, namun juga dalam proses pembangunannya. Sulit membayangkan bagaimana bangunan ini tercipta, mengingat teknologi yang ada pada masa itu. Entah berapa banyak waktu dan tenaga yang dibutuhkan untuk memindahkan, memotong dan memberikan karakter pada sekitar 1.600.000 blok batu andesit yang menjadi bagian tubuh Borobudur.

Yang mungkin bisa dibayangkan adalah keramaian pada masa itu. Setidaknya, inilah imajinasi masyarakat Dusun Prumpung yang memiliki cara tersendiri untuk menceritakan sejarah keberadaan dusun yang mereka tempati.

Dusun Prumpung, yang kini bernama Prumpung Sidoharjo, terletak di Desa Tamanagung, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Dalam lima dasawarsa terakhir, di dusun kecil ini berkembang kesenian pahat batu andesit yang mungkin merupakan satu-satunya di Indonesia, khususnya dalam penciptaan replika barca, relief, gapura, serta miniatur candi bernuansa Hinduisme dan Budhisme.

Mungkin memang bukan kebetulan jika komunitas seni pahat batu ini terletak tak jauh dari Gunung Merapi dan Candi Borobudur. Batuan yang mereka pahat berasal dari lereng Merapi. Dan kualitas karya mereka tak terpaut jauh dari keelokan seni pahat yang menghiasi Candi Borobudur.

Jika secara imajiner ditarik lintasan lurus dari kaki Gunung Merapi ke arah Candi Borobudur, maka Dusun Prumpung akan tepat berada pada titik tengahnya. Inilah lintasan sakral yang sangat dibanggakan, sekaligus menjadi salah satu kebetulan yang unik jika dipandang dari latar belakang sejarah pembangunan Borobudur, serta kisah-kisah yang berkembang turun-temurun dalam komunitas ini.

Sebagian masyarakat Prumpung meyakini bahwa bebatuan yang membangunan Candi Borobudur berasal dari Gunung Merapi. “Dan dusun inilah yang menjadi tempat persinggahan para pekerja, seniman dan arsitek pembangunan candi itu,” tutur Dulkamid Jayaprana, tokoh masyarakat Dusun Prumpung.

Dalam imajinasi mereka, proses panjang pembangunan Candi Borobudur telah melahirkan suasana semarak di dusunnya, lebih dari seribu tahun yang lalu. Perilaku simpatik para pendatang disambut keramahtamahan para pribumi. Gotong royong tercipta sebagai perwujudan dari interaksi sosial yang sangat dinamis. “Sejak saat itulah masyarakat pribumi mulai mengenal seni memahat batu,” tambah Dulkamid.

Jika masyarakat Prumpung telah mengenal kesenian pahat batu sejak lebih dari seribu tahun yang lalu, mengapa baru dalam lima dasawarsa terakhir kesenian ini menunjukkan gejala perkembangannya? Jawabnya sederhana saja; beragam riwayat dapat berkembang dalam setiap komunitas dan hanya mereka sendirilah yang memahami dan menghayati makna dan kebenarannya.

Sejarah jelas bukan hasil imajinasi. Sejarah harus dicatat dan dikabarkan. Kisah turun-temurun itu, mungkin dapat memperjelas sebagian dari ribuan misteri yang menyelimuti Candi Borobudur. Namun bukan mustahil justru akan menambah misteri itu sendiri. Masyarakat Prumpung, sebagaimana dituturkan Dulkamid Jayaprana, memiliki cara tersendiri dalam menuturkan sejarah keberadaannya.

Sumber: Kabare Magazine, edisi Desember 2012 (Teks: Agus Yuniarso; Foto: Albert).

Sabtu, 05 Januari 2013

Slovakia, Negeri yang Kaya Warisan Budaya Berkelas Dunia

“Mutiara Baru di Jantung Eropa” menjadi sebutan yang begitu pas bagi negeri tak berpantai yang dikelilingi oleh Austria, Ceko, Hongaria, Polandia dan Ukraina ini. Slovakia, separuh pecahan dari dua negara yang pernah bersatu di bawah bendera Cekoslovakia, bak mutiara yang berkilau indah.

Selain dianugerahi keindahan alam, negeri ini juga menyimpan kekayaan warisan budaya. Di negara yang berdiri sendiri sejak 1 Januari 1993 ini, warisan budaya dari masa lampau tertata apik dan lestari, berdampingan harmonis dengan keunikan alam serta gaya hidup modern khas Eropa yang tercermin di wajah ibukotanya, Brastilava.

Kota-kota di Slovakia sudah tumbuh dan berkembang sejak berabad-abad yang lampau. Zaman keemasan Revolusi Industri di Eropa pada abad ke-14 telah melahirkan kawasan industri di pinggiran kota dan menjadi urat nadi kehidupan warganya.

Hingga paruh akhir abad ke-19, Slovakia memiliki 25 kota kerajaan yang mandiri serta 227 desa dan kota yang sangat dijaga kelestariannya. Wajah-wajah dari masa lalu itu masih bisa disaksikan hingga saat ini dan telah diakui sebagai warisan berkelas dunia.

World heritage list yang dikeluarkan oleh UNESCO, resmi mencatat 7 warisan dunia yang berada di wilayah Slovakia, terdiri dari 5 warisan kultural dan 2 warisan alam, di samping 14 warisan lain yang telah tercatat dalam daftar tentatifnya. Tujuh warisan dunia itu adalah Bardejov, Banská Štiavnica, Spiš Castle, Vlkolínec, Wooden Churches, Slovak Karst, dan Primeval Beech Forests.

Bardejov adalah kota kecil yang memiliki bentuk asli kota benteng ala abad pertengahan dengan peninggalan yang sangat lengkap dan terawat dengan baik, termasuk alun-alun dan pasar yang telah menjadi pusat perdagangan dan menjadi persinggahan para pedagang di abad pertengahan.

Salah satu bangunan sakral yang dilestarikan adalah Basilica St. Egidius yang memiliki 11 altar bersayap bergaya gotik, menjadikannya salah satu gereja unik di Eropa. Di kota ini juga terdapat komunitas Yahudi di sekitar sinagog yang dibangun abad ke-18 yang masih terawat dengan baik.

Banská Štiavnica adalah pusat pertambangan tua di Eropa Tengah yang telah dikenal sejak berabad-abad lalu. Kunjungan para insinyur dan ilmuwan untuk menimba ilmu pertambangan di kota ini ikut berperan penting dalam melambungkan ketenarannya. Pusat perkotaan menyatu dalam lanskap sekitarnya, yang berisi peninggalan penting dari kegiatan pertambangan dan metalurgi dari masa lalu.

Di sini masih bisa disaksikan pusat-pusat pertambangan tua abad pertengahan, berdampingan dengan istana di tengah kota, bangunan gereja dari abad ke-16, serta bangunan kuno lainnya.

Spiš Castle adalah adalah satu benteng militer sekaligus pusat pemerintahan terbesar di Eropa Timur. Bangunan yang dibangun sekitar abad ke-13 hingga ke-14 masih menunjukkan keutuhan desain arsitekturnya yang memadukan gaya Romawi dan gotik. Keunikannya semakin lengkap dengan adanya kawasan bersejarah Levoča di dalam benteng. Semuanya masih terjaga lestari, termasuk bangunan gereja St. James yang dibangun pada abad ke-14.

Vlkolinec yang terletak di pusat Slovakia, adalah sebuah kawasan yang memiliki 45 bangunan cagar budaya yang dirawat dengan baik. Keseluruhan kawasan ini menunjukkan dengan lengkap bagaimana wajah sebuah desa tradisional di Eropa Tengah yang tak banyak berubah sejak berabad lampau.

Yang tak kalah menarik adalah sekumpulan bangunan gereja kayu yang berada di Pegunungan Carpathian di sisi wilayah Slovakia. Di sini berdiri 8 bangunan gereja kayu asli yang dibangun antara abad ke-16 hingga ke-18, terdiri dari 2 gereja Katholik Roma, 3 gereja Protestan, dan 3 gereja Ortodoks Yunani.

Bangunan peribadatan ini menampilkan tradisi lokal yang begitu kaya dengan arsitektur religius, ditandai dengan pertemuan budaya Latin dan Bizantium. Masing-masing bangunan menunjukkan ciri aristektur yang khas sesuai dengan ciri peribadatan masing-masing agama.

Selain kelima warisan budaya itu, Slovakia juga memiliki 2 warisan alam yang tercatat dalam World Heritage List UNESCO, yaitu Slovak Karst dan Primeval Beech Forests.

Slovak Karst adalah pegunungan kapur yang memiliki 712 gua. Fakta alami di kawasan ini tergolong langka karena menampilkan kombinasi efek antara iklim tropis dan glasial, sehingga dapat dipelajari sejarah geologi dalam rentang waktu puluhan juta tahun lamanya.

Sementara Primeval Beech Forests merupakan hamparan hutan ‘perawan’ yang jarang terjamah manusia. Tempat ini menjadi contoh berlangsungnya evolusi biologi dan ekologi pada ekosistem darat pascaglasial, yang sangat diperlukan untuk memperlajari penyebaran flora di belahan bumi utara.

Tak terbatas pada warisan alam dan budayanya, Slovakia masih menyimpan begitu banyak daya tarik dan keunikan, seperti Kota Trnava yang dikenal dengan industri otomotifnya (VW, Peugeout dan Audi dirancang di kota ini), Kota Trencin dengan kastilnya, Kosice sebagai kota terbesar kedua di Slowakia, Zilina, Presov, Nitra, atau High Tatras, kawasan pegunungan yang terkenal sebagai pusat olah raga ski.

Last but not least, Slowakia juga memiliki begitu banyak fasilitas spa untuk kesehatan dan terapi berbagai penyakit yang dikenal luas dan dikunjungi para pasien dari berbagai penjuru dunia.

Dengan segala kekayaannya, Slovakia tentu menjadi pilihan menarik untuk berlibur dan layak masuk dalam agenda perjalanan para petualang. Visa yang dikeluarkan Kedutaan Besar Republik Slovakia adalah Visa Schenghen yang dapat dipergunakan untuk berkunjung ke negara Eropa lainnya dalam lingkungan Uni Eropa.

Hampir semua penerbangan internasional dari Jakarta menuju Eropa bisa dipergunakan sebelum berganti penerbangan menuju Kota Wina (Austria), titik terdekat menuju Bratislava, ibukota Slowakia. Dari Wina, perjalanan dapat dilanjutkan menggunakan bis antar kota atau kereta api yang menyatu dengan bandara Wina menuju Brastilava yang hanya memakan waktu 1 jam perjalanan.

Di Brastilava, tinggal memilih tujuan yang akan disinggahi berikutnya. Penginapan tersedia dari yang paling mewah (bintang lima) hingga kelas backpacker. Untuk transoprtasi lokal, tersedia bis kota, kereta api, kapal sungai, trem, taxi hingga mobil, motor dan sepeda yang bisa disewa dengan mudah. Meski lebih dari 80% warga Slowakia menggunakan Bahasa Slowakia, namun Bahasa Inggris dan Jerman mudah dipergunakan di tempat umum.

Yang penting diingat, Slowakia sebagaimana negara Eropa lainnya adalah negara yang memilki empat musim, yaitu musim dingin di penghujung tahun (kadang mencapai -20 derajat Celcius dan bersalju), musim semi sekitar bulan Maret hingga Mei, musim panas antara bulan Juni hingga Juli, dan musim gugur di bulan Agustus hingga September.

Tentukan waktu yang tepat sesuai dengan rencana kunjungan dan minat khusus jenis obyek wisata yang akan dikunjungi.

Sumber: Kabare Magazine, edisi Desember 2012 (Teks: Agus Yuniarso; Foto: Kedutaan Besar Republik Slovakia).

Kamis, 03 Januari 2013

Album 'Anak Angin': Bisikan Rancak ala Sawung Jabo dan Sirkus Barock



Kerinduan penggemar rock progresif di Jogja, sontak terobati ketika Sawung Jabo bersama Sirkus Barock tampil di Gedung Societet, Taman Budaya Yogyakarta (TBY), awal November 2012 lalu.

Gelar pentas ini menandai pelepasan album “Anak Angin”, album ke-6 Sirkus Barock sejak dibentuk 37 tahun lalu. Pada saat yang sama, panggung “Nyawung Jaboan” digelar oleh komunitas Folk Mataram Institute (FMI) bersama sejumlah seniman Jogja, sebagai spontanitas menyambut kehadiran kembali Sang Maestro. Mereka membawakan kembali lagu-lagu Sawung Jabo dan Sirkus Barock dengan gaya dan interpretasi mereka sendiri.

Sebagaimana adatnya, album baru yang melanjutkan rangkaian perjalanan kreatif Sawung Jabo bersama kelompok musik bentukannya ini, dengan lugas melantunkan pandangan dan kepedulian terhadap realitas sosial sehari-hari. Bedanya, konsep tematik dan tuturan yang diusung kali ini tak terlalu ekspansif, cenderung mendendangkan introspeksi dan kontemplasi.

Album ini merupakan perenungan perjalanan pribadi dan pemaknaan kenyataan hidup Sang Maestro. “Tapi yang pasti dalam berkarya kami berusaha selalu jujur dan mengungkapkan kenyataan berdasarkan pandangan dan opini.” kata Sawung Jabo.

Dari 11 lagu dalam album Anak Angin ini, dimunculkan kembali 2 lagu lawas berjudul “Goro-goro” dan” Tuhan Itu?”. Keduanya diaransemen ulang sewarna dengan keseluruhan garapan musik di album baru ini yang menyatukan instrumen modern dan gamelan yang menghadirkan sajian musik yang unik dan menarik. Proses pembuatannya sendiri melibatkan sejumlah musisi muda, seperti Joel (gitar), Sinung (bas), Bagus (kibor), Ucok (biola), Endi (drum), Denny (perkusi), dan Giana (backing vocal).

Berawal dari kolaborasi Komunitas Arek-arek Suroboyo (KAAS) dan mahasiswa Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) di Yogyakarta, Jabo membentuk Sirkus Barock pada tahun 1976. Innisisri, Nanoe, Totok Tewel dan Edi Darome adalah nama-nama yang tercatat sebagai musisi tetapnya. Diluar mereka, masih banyak musisi lain yang terlibat sepanjang lebih dari tiga dekade perjalanannya.

”Sirkus Barock merupakan kelompok musisi yang terbuka bagi siapa saja. Ada ratusan musisi yang telah bergabung dengan Sirkus Barock sejak pertama kali terbentuk.” ungkap Jabo.

Sebelum album Anak Angin, Sirkus Barock telah menelurkan sejumlah album, diantaranya: Anak Setan (1986), 10 Bintang Nusantara (album kompilasi, 1988), Bukan Debu Jalanan (1989), Kanvas Putih (1993), Fatamorgana (1994) dan Jula Juli Anak Negeri (2001).

Sawung Jabo sendiri lahir di Surabaya dengan nama Mochamad Djohansyah, 61 tahun yang lalu. Sebagai seniman dan musisi kawakan, nama Jabo makin dikenal luas sejak kerjasamanya dengan Iwan Fals dalam album Swami (1989), yang berlanjut dengan kolaborasi mereka berdua dengan Setiawan Djodi, W.S. Rendra dan Jockie Suryoprajogo dalam kelompok musik Kantata Taqwa (1990).

Dari album Swami I (1989) yang tercatat dalam daftar 150 Album Indonesia Terbaik versi majalah The Rolling Stone (2007), lahir 2 tembang legendaris “Bento” dan “Bongkar”, Swami II (1991) memunculkan tembang “Hio” dan “Kuda Lumping” yang begitu rancak, sementara album Kantata Taqwa (1990) yang juga masuk dalam daftar 150 Album Indonesia Terbaik, melahirkan sejumlah tembang yang begitu akrab di telinga pecintanya, seperti “Kantata Taqwa”, “Kesaksian”, “Paman Doblang” dan “Air Mata”.

Selepas tahun 2000, Sawung Jabo lebih banyak melansir lagu-lagu yang bernuansa religius, menggali makna kehidupan, percintaan, dan perenungan diri.

Gedung Societet TBY malam itu, menjadi saksi betapa masih digdayanya Sawung Jabo membius para penggemar rock progresif Indonesia, membisikkan pandangan dan kepedulian terhadap realitas sosial sehari-hari, dalam teriakan berirama yang begitu rancak dan penuh gairah.

Kabare Magazine, edisi Desember 2012 (Teks: Agus Yuniarso; Foto: Budi Prast)
Copyright © Catatan Agus Yuniarso - Except where otherwise noted, content on this site is licensed under Creative Commons license.