468x60bannerad

Senin, 26 Agustus 2013

“Heritage Tracking” Telusuri Situs Dinasti Mataram

Setelah Kerajaan Islam Demak runtuh, pusat-pusat kerajaan di Jawa Tengah pindah berturut-turut, dari Pajang, Kotagede, Kerta, Plered, Kartasura serta Surakarta dan Yogyakarta. Dinasti penguasa dari zaman Kotagede hingga Surakarta dan Yogyakarta dikenal sebagai Dinasti Mataram. Sering juga disebut Dinasti Mataram Islam, untuk membedakannya dengan Dinasti Mataram Hindu yang pernah berkuasa di tanah Jawa sebelum abad ke-10 Masehi.

Dinasti yang didirikan Panembahan Senopati di akhir abad ke-16 Masehi ini, merupakan salah satu bagian penting dalam sejarah aristokrasi di tanah Jawa, bahkan di penjuru Nusantara. Meski belakangan terpecah belah menjadi sejumlah pusat kekuasaan, Mataram menjadi dinasti yang paling lama berkuasa dan tetap bertahan sejak 5 abad yang lalu.

Sayang, situs kota kerajaan peninggalan Dinasti Mataram hanya sedikit yang masih berwujud dan menunjukkan sisa wajahnya sebagai bekas ibukota kerajaan. Surakarta dan Yogyakarta masih cukup lestari dan berkembang sebagai kota modern yang menjadi ibukota budaya Jawa di masa kini. Bisa dimaklumi karena kedua kota ini berada di rantai akhir dinasti. Kota Kartasura, meski tetap ramai, namun nyaris tak mewariskan identitas sebagai kota kerajaan. Demikian juga Kerta dan Plered yang telah berubah menjadi desa-desa biasa.

Yang menarik, sebagian besar situs peninggalan Dinasti Mataram ini berada di sekitar Kota Yogyakarta. Lima dari delapan situs di sekitar Yogyakarta adalah Kotagede, Kerta, Plered, Keraton Kasultanan Yogyakarta serta Pura Pakualaman. Tiga situs lainya berada di seputar Solo, yaitu Kartasura, Kasunanan Surakarta, dan Pura Mangkunegaran.

Heritage tracking menelusuri jejak masa lampu Dinasti Mataram, tentu menjadi aktifitas yang menarik dan mengasyikkan. Wisata tematik seperti ini tak sekedar membuang waktu dan tenaga, namun juga memperkaya wawasan dan pengetahuan. Menelusuri sejumlah lokasi yang saling berkaitan dalam jarak yang berdekatan, sekaligus menyaksikan kembali saksi bisu sejarah masa lampau dalam rentangan abad yang begitu panjang, sungguh menawarkan nuansa alternatif dibanding sekedar berjalan-jalan.

Penjelajahan tentu harus dimulai dari Kotagede, situs terpenting muasal Dinasti Mataram yang terletak di sudut tenggara Kota Yogyakarta. Berbeda dengan beberapa situs di era sesudahnya yang hampir tak berwujud, Kotagede terbilang istimewa. Keramaiannya boleh dibilang tak banyak berubah sejak hampir 5 abad yang lalu, lengkap dengan karakter fisik berikut tradisi sosio-kultural masyarakatnya masih menyisakan identitas yang khas sebagai bekas kota kerajaan. Meski tak semua utuh, Kotagede masih menunjukkan ciri sebuah kota lama, berikut sejumlah situs peninggalan yang terjaga lestari.

Situs sejarah penting yang masih berdiri kokoh dan menjaga lestarinya Kotagede adalah adanya Makam Raja-raja Dinasti Mataram serta Masjid Besar Mataram, yang sangat dimuliakan dan dihormati oleh Kasultanan Yogyakarta maupun Kasunanan Surakarta, dua kerajaan yang menjadi penerus Dinasti Mataram. Kedua situs ini terletak hanya beberapa ratus meter di sebelah selatan Pasar Kotagede sekarang.

Pohon beringin besar pada sebuah halaman yang cukup luas menandai sisi jalan menuju gerbang masuk kedua situs yang disebut Gapura Padureksa. Di kiri kanan jalan menuju gapura, berjajar sejumlah rumah tradisional yang disebut Dondhongan, tempat tinggal para abdi dalem yang bertugas membersihkan halaman makam dan masjid, sekaligus sebagai juru do’a di makam para raja, yang lazim disebut Makam Senopaten.

Masjid Besar Mataram adalah salah satu bagian penting Keraton Mataram yang masih berdiri hingga saat ini. Masjid yang selesai dibangun tahun 1589 ini memiliki bangunan berbentuk tajug dengan atap bertumpang tiga. Dinding ruang utama masjid ini diperkirakan masih asli karena terdiri dari susunan balok-balok batu kapur tanpa semen.

Di sisi selatan halaman masjid terdapat sebuah gapura yang menjadi gerbang masuk menuju kompleks Makam Senopaten. Di sini berdiri sejumlah bangunan yang menjadi tempat jaga para abdi dalem yang bertugas di Makam Senopaten, sekaligus menjadi tempat bagi para peziarah untuk beristirahat dan mempersiapkan diri sebelum memasuki kompleks makam. Untuk memasuki kompleks makam, para peziarah diwajibkan mengikuti sejumlah tata tertib, diantara yaitu kewajiban untuk memakai pakaian tradisional tertentu.

Makam Senopaten menjadi persemayaman para pendiri Dinasti Mataram beserta kerabat terdekatnya, diantaranya : Panembahan Senopati, Ki Ageng Pemanahan, Panembahan Sedo ing Krapak, Kanjeng Ratu Kalinyamat, Kanjeng Ratu Retno Dumilah, Nyai Ageng Nis, Nyai Ageng Mataram, Nyai Ageng Juru Mertani, serta sejumlah tokoh lainnya. Di makam ini juga disemayamkan Sri Sultan Hamengku Buwono II , satu-satunya raja Kasultanan Yogyakarta yang tidak dimakamkan di Imogiri, serta makam saudaranya, Pangeran Adipati Pakualam I.

Peziarah yang ingin bertirakat disyaratkan untuk mandi atau berendam di sepasang kolam di sebelah selatan makam yang disebut Sendhang Selirang Kakung dan Sendhang Selirang Putri. Di sebelah barat tembok makam juga terdapat sebuah sumber air bernama Sumber Kemuning.

Selain situs Makam Senopaten dan Masjid Besar Mataram, sisa wajah Kotagede sebagai bekas pusat kerajaan besar ditunjukkan dengan peninggalan berupa tembok benteng keraton. Meski sebagian besar telah kehilangan wujud, sisa dan reruntuhannya masih bisa disaksikan di sejumlah tempat. Dahulu, tembok benteng Keraton Mataram berdiri mengelilingi alun-alun, pasar, makam para raja, serta berbagai pemukiman penduduk, seperti pemukiman kaum bangsawan, para pandai besi, para penyamak kulit, abdi dalem, kaum ulama, para pembuat tembaga, penjagal ternak, para pembuat senjata, dan pemukiman golongan Kalang.

Di sekeliling tembok benteng terdapat jagang atau parit dalam yang berfungsi sebagai saluran air sekaligus juga sebagai sarana keamanan untuk menghambat masuknya musuh ke dalam Keraton. Selain tembok Benteng Cepuri yang mengelilingi Keraton, di luar masih ada lagi tembok besar mengelilingi kota, yang disebut Benteng Baluwerti.

Tempat dimana Panembahan Senopati tinggal, sampai sekarang dikenal dengan nama Kampung Dalem. yang terletak sekitar 300 meter di sebelah selatan Makam Senopaten. Bekas Dalem Ageng diperkirakan terletak di tempat dimana Pasareyan Hasto Renggo saat ini berada. Kompleks pemakaman ini dibangun pada tahun 1934, atas prakarsa Sultan Hamengku Buwono VIII sebagai makam keluarga Kasultanan Yogjakarta.

Selepas dari Kotagede, kita beranjak sekitar 4 kilometer ke arah selatan menuju kawasan Plered di wilayahKabupaten Bantul. Disini terdapat dua situs penting yang pernah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Mataram, yaitu Kerta dan Plered.

Kerta, saat ini hanyalah nama sebuah dusun di Kalurahan Plered, Kecamatan Plered, Kabupaten Bantul. Nyaris tak ada yang tersisa dari zaman keemasannya di masa lampau, kecuali sepasang umpak atau penyangga tiang dari batu andesit, kompleks makam lama dan sisa-sisa bangunan masjid. Meski tanpa wujud yang memadai, dapat dibayangkan bagaimana suasana dusun ini di masa lampau.

Disinilah tempat yang menjadi kedhaton saat Sultan Agung Hanyokrokusumo bertahta antara tahun 1613 hingga 1645. Di dusun inilah sekian abad yang lampau, Sultan Agung, raja ketiga sekaligus raja terbesar Kerajaan Mataram, merencanakan dan mengendalikan dua kali penyerbuan ke pusat kekuasan VOC di Batavia.

Situs Kedhaton Plered tak seberapa jauh dari Dusun Kerta, berada di kecamatan yang sama. Kedhaton Plered adalah pusat pemerintahan Kerajaan Mataram pada saat Amangkurat I, putra Sultan Angung Hanyokrokusumo bertahta antara tahun 1645 hingga 1677.Kedhaton Plered adalah ibukota Kerajaan Mataram yang paling megah dan indah dibandingkan masa sebelum dan sesudahnya. Catatan-catatan kolonial Belanda menyebutkan keraton ini dibangun diantara danau buatan yang sangat luas dengan kanal-kanal di sekelilingnya, serta hamparan Pegunungan Seribu yang menjadi latar belakangnya.

Sayang, sebagaimana Kerta, Kedhaton Plered saat ini nyaris tak meninggalkan wujud masa kejayaannya. Wujud fisik yang masih bisa dijumpai diantaranya situs Sumur Gumuling, sejumlah umpak Masjid Agung, reruntuhan benteng, serta kontur tanah meninggi di sejumlah tempat bekas bangunan serta tanggul. Juga terdapat sejumlah makam kuno di seputar masjid serta puncak bukit bernama Gunung Kelir. Selebihnya hanyalah toponim yang terabadikan pada nama sejumlah dusun seperti Kedaton, Keputren, Kanoman, Kauman, Sampangan, Gerjen, Pungkuran dan Segarayasa.

Apapun wujud yang tersisa, penjelajahan ini tetap saja menarik. Terlebih jika kita menyempatkan diri membaca referensi sejarah terkait keberadaan situs-situs ini, baik sebelum maupun selama perjalanan. Imajinasi historis selama perjalanan serta panduan narasumber selama perjalanan , tentu akan semakin mengasyikkan, seolah menjadikannya sebagai sebuah perjalanan ke masa lampau.

Setidaknya dibutuhkan waktu dua hari untuk menempuh jelajah warisan budaya ini. Kotagede, Kerta dan Plered menjadi agenda di hari pertama, ditambah kunjungan ke Pajimatan Imogiri, makam para raja Dinasti Mataram. Perjalanan di hari kedua sebagai pelengkapnya, tentu dengan mengunjungi kompleks Keraton Kasultanan Yogyakarta serta Pura Pakualaman, pewaris Dinasti Mataram yang masih terjaga lestari hingga hari ini. Selamat berwisata sejarah!

Teks: Agus Yuniarso untuk Kabare Magazine.

Sabtu, 24 Agustus 2013

Wat Pho, Temple of the Reclining Buddha

Berlokasi di tepi sungai Chao Phraya, Kota Bangkok yang telah menjadi ibukota Thailand selama lebih dari dua abad, adalah satu dari sedikit kota besar di dunia yang mampu mempersandingan unsur-unsur tradisional dengan modernisme. Di sela gebung-gebung pencakar langit, Skytrain yang membelah kota dengan kereta cepatnya, jaringan kereta bawah tanah serta pusat belanja dan hiburan bertaraf internasional, situs-situs warisan kuno dari masa lampau masih tegak berdiri dan terjaga lestari. Semuanya berbaur harmonis menyuguhkan daya tarik wisata di Negeri Gajah Putih ini.

Salah satu warisan kuno yang begitu menarik dan “wajib” dikunjungi adalah Wat Phra Chetuphon, atau yang lebih mudah diingat dengan sebutan singkatnya “Wat Pho”. Nama resminya sendiri cukup panjang, yaitu “Wat Phra Chettuphon Wimon Mangkhlaram Ratchaworamahawihan”. Kuil tertua dan terbesar di Kota Bangkok yang dibangun pada tahun 1668 ini begitu dikenal seantero dunia, karena disinilah terdapat sebuah patung Buddha berukuran raksasa dalam posisi berbaring. Patung sepanjang 46 meter dengan tinggi 15 meter ini dikenal sebagai The Reclining Buddha, sementara Wat Pho, kuil yang ditempatinya dikenal sebagai The Temple of the Reclining Budhha yang menjadi salah satu ikon Kota Bangkok.

The Reclining Buddha, sungguh sebuah karya yang begitu indah dan istimewa. Adegan tidur yang digambarkan oleh patung ini bertujuan untuk mengenang saat Sang Buddha beranjak memasuki nirwana. Seluruh tubuh patung berlapiskan emas 18 karat, sementara bagian mata dan kaki Sang Buddha berlapiskan kulit kerang mutiara. 108 lambang suci Sang Buddha terukir pada kulit kerang mutiara di bagian kakinya. Sejumlah lukisan dengan nuansa merah bergoreskan tinta emas menghiasi dinding-dinding yang mengelilinginya.

Wat Pho terletak di distrik Phra Nakhon, tak seberapa jauh dari Grand Palace. Untuk memasuki kuil yang dibuka dari pukul 08.00 pagi hingga pukul 05.00 sore hari ini, setiap pengunjung dikenakan biaya sebesar 50 Baht sekali masuk, ditambah tips bagi guide yang besarnya tergantung dari jumlah pengunjung yang menggunakan jasanya.

Sebagaimana layaknya obyek wisata yang sekaligus juga menjadi tempat peribadatan, pengunjung diwajibkan untuk berpakaian sopan selama memasuki kuil ini. Sepatu juga harus dilepas dan diletakkan di tempat yang tersedia.

Wat Pho juga menjadi biara sekaligus tempat pendidikan bagi para biksu. Dalam budaya Thai, remaja laki-laki yang telah menginjak usia 20 tahun wajib berguru di kuil selama 3 bulan untuk mempelajari nilai-nilai Buddhisme, seperti larangan untuk membunuh, berbohong, minum minuman keras, tidak boleh bercerai dan sejumlah tata nilai untuk menyikapi perkembangan modernisme di negerinya.

Para gadis yang menghadapi pernikahan biasanya juga mengajak calon pasangannya untuk datang ke kuil, dengan harapan jika telah resmi kelak akan menjadi suami sekaligus ayah yang baik sesuai ajaran Buddha. Salah satu cara untuk menyampaikan permohonan dilakukan dengan memasukkan koin ke dalam mangkuk-mangkuk logam, sembari menyebutkan niat dan tujuannya. Acapkali, begitu banyaknya pengunjung yang melakukan permohonan, hingga menimbulkan bunyi gemerincing lemparan koin yang menjadi salah satu ciri ruang utama kuil ini.

Patung-patung Sang Buddha yang banyak terdapat di Wat Pho secara umum terdiri dari 3 kelompok, yaitu dalam posisi berdiri, tidur dan duduk. Dalam kelompok posisi duduk terdapat 394 buah patung yang menggambarkan sejumlah makna, seperti menghentikan iblis, meditasi, memberi berkah, menghentikan kekerasan serta ketenangan.

Sementara arsitektur bangunannya yang begitu khas juga menyimpan beragam makna. Adanya patung Sangkha misalnya, perpaduan wujud antara naga, garuda dan singa yang menjadi simbol perlindungan yang memadukan karakter dan kekuatan masing-masing hewan. Garuda sendiri merupakan simbol Dewa Wishnu yang melindungi rakyat dan menjadi kepercayaan rakyat Thailand bahwa raja merupakan titisan dari Dewa Wishnu.

Semburan warna-warni yang menghiasi atap di sejumlah bangunan melambangkan bentuk pelangi yang dipercaya sebagai titik awal di muka bumi untuk mencapai surga.

Satu hal yang menarik, Wat Pho juga dikenal sebagai tempat kelahiran sekaligus pusat pengobatan dan pemijatan tradisional khas ala Thailand. Sekolah pengobatan dan pemijatan tradisional telah dibuka di kuil ini sejak tahun 1962, berdasarkan inskripsi medis kuno yang tersimpan di dalam kuil sebagai acuan treatment-nya. Karenanya, jangan lupa untuk menyempatkan diri untuk mencoba. Dan para therapist serta pemijat tradisional terbaik telah siap untuk melayani Anda.

Sumber: Artin Wuriyani. Teks: Agus Yuniarso untuk Kabare Magazine.

Jumat, 23 Agustus 2013

Bergaya dengan Sepeda, “Let’s Back to Bike!”

Let’s back to bike!” Demam bersepeda atau gowes tampaknya semakin mewabah di Indonesia. Tak sebatas di kalangan masyarakat biasa. Tokoh ternama, selebriti hingga kalangan sosialita pun seolah terjangkiti virus bersepeda.

Sepeda tak lagi sekedar tunggangan. Sepeda telah beranjak menjadi bagian dari gaya hidup. Muncul dengan berbagai model dan pilihan kualitas, sepeda menjadi salah satu simbol kemapanan dan gengsi pemiliknya. Harganya pun bisa mencapai ratusan juta rupiah.

It’s not about having a bicycle, but if you have an expensive bicycle then you will get more pleasure to ride it,” demikian barangkali kilah para pemilik sepeda mahal. Orang Jawa bilang, ono rego ono rupo. Semakin banyak biaya yang harus dikeluarkan, sejajar pula dengan kualitas produk yang ditawarkan. Dan sepeda dengan harga selangit tak lagi hanya dimiliki oleh pebalap sepeda profesional. Sepeda biasa pun kini menggunakan ukuran dan kualitas terbaik sebagaimana yang biasa dipakai di arena olah raga.

Dua sepeda yang berdiri sejajar, selintas bisa terlihat sama. Dibalik itu, salah satunya bisa berharga sekian kali lipat dibanding sepeda di sebelahnya. Perbedaan asesori bisa jadi membedakan satu sepeda dengan sepeda yang lain, dan menciptakan selisih harga. Asesori bisa membuat selisih harga hingga berlipat ganda? Tentu saja tidak. Meski fungsi dan penampilan relatif sama, selisih harga yang tinggi bisa terjadi karena adanya produk massal dan produk terbatas yang diproduksi secara hand-made dan menawarkan sesuatu lain yang tak tertawarkan di produk massal.

Untuk menentukan kualitas sebuah sepeda, setidaknya ada 3 hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu: kinerja, daya tahan dan estetika. Kinerja menyangkut geometri dan kemampuannya untuk memberikan rasa nyaman saat dikendarai. Daya tahan menyangkut bahan dan kemampuannya untuk menjelajahi berbagai medan, sesuai dengan peruntukannya. Sementara estetika menyangkut penampilan dan keindahan visualnya, serta karakteristik yang sesuai bagi siapa yang mengendarainya. Kombinasi antara kinerja, daya tahan dan estetika, otomatis akan menentukan tinggi rendahnya harga sepeda yang ditawarkan.

Meski berbagai jenis sepeda ditawarkan dengan harga selangit, selalu saja ada yang membelinya. Lalu, seperti apa sajakah sepeda-sepeda termahal di dunia?

The Aurumania’s Gold Bike Crystal Edition, boleh jadi adalah sepeda paling mahal di dunia yang dibandrol dengan harga € 80.000, setara dengan US$ 114,464 atau lebih dari 1 milyar rupiah. Produsennya membalut setiap bagian sepeda ini dengan emas 24 karat.

Tak sebatas pada rangka, bahkan hingga jeruji-jerujinya. Sadel dan pegangan pada setang pun diberi sentuhan akhir dengan kulit asli berkualitas tinggi. Melengkapi kemewahannya, sepeda ini juga ditaburi dengan 600 kristal Swarovski di seputar logo yang terdapat pada sudut-sudut rangkanya. The Aurumania’s Gold Bike Crystal Edition adalah produk terbatas yang hanya tersedia sebanyak 10 unit di seluruh dunia. Produk pertamanya dibeli oleh kolektor asal London yang kemudian memajangnya sebagai penghias dinding rumahnya.

Gelimang perhiasan juga tampil di tubuh Madone 5.9 SL-7 Diamonds, sepeda impian yang menjadi proyek kolaborasi antara Nike, Trek Bikes, Lenny Futura (perancangnya) serta Alan Friedman (desainer perhiasan). Sepeda ini hanya diproduksi 1 unit saja, untuk menandai 7 kemenangan berturut-turut Lance Armstrong, pebalap sepeda profesional Amerika dalam ajang bergengsi Tour de France (1999-2005). Rangka sepeda dibalut emas serta dihiasi dengan 7 butir berlian buatan tangan, masih ditambah dengan 300 biji berlian putih. Sepeda ini dijual dalam sebuah lelang di markas Lance Armstrong pada tahun 2005 dan laku terjual senilai US$ 75.000.

Sepeda mahal tak harus bergelimang perhiasan. Litespeed Blade misalnya. Tanpa imbuhan emas maupun berlian, sepeda ini ditawarkan dengan harga fantastis, mencapai kisaran US$ 38.000! Produsen mengklaim Litespeed Blade sebagai sepeda masa depan. Konon, berkat material ringan yang dipadu dengan bentuk aerodinamis serta kecanggihan teknologinya, akan membuat pengendaranya selaksa mengemudikan motor balap. Intinya, sepeda mewah ini menawarkan pengalaman bersepeda yang belum pernah dirasakan sebelumnya.

Harga “sedikit lebih murah” ditawarkan oleh KGS Bikes dengan produknya KGS Tier 3. Sepeda rancangan Kevin Saunders ini diproduksi dengan material terbaik serta konstruksi yang sangat detail. Nama “Tier 3” yang disandangnya menyesuaikan dengan harga yang ditawarkan sebesar US$ 30.000. KGS sendiri dikenal sebagai studio desain untuk sepeda yang diproduksi hanya untuk pesanan khusus pebalap sepeda, atlet triatlon, serta perseorangan. Komponennya sendiri bisa berasal dari berbagai merek seperti Parlee, Passoni, Cyfac, Eriksen, Co-Motion dan Zinn, para pemilik fitur komponen terbaik di dunia.

Bagi Anda yang sangat mementingkan penampilan, Chanel Bike Limited Edition bisa menjadi pilihan. Sepeda mewah modis ini hanya diproduksi sebanyak 50 unit di seluruh dunia. Ditawarkan dengan kisaran harga antara US$ 17.000 hingga US$ 28.000, lengkap dengan berbagai asesori yang sangat modis. Maklum saja, sepeda ini diluncurkan oleh Chanel, salah satu merek fesyen dan produk asesori ternama.

Selain kelima sepeda diatas masih ada sejumlah sepeda yang masuk dalam deretan sepeda termahal di dunia, seperti Celebrity Gold Bike dengan kerangka berlapis 24 karat seharga lebih dari 4000 Euro. juga enigma Elle Bicycle yang bertahtakan berlian karya perancang perhiasan kondang Nicholas James, Koga Kimera yang dirancang untuk Tim Olimpiade Belanda, serta Beru F1 Systems Factor 001 Bicycle, sepeda seharga 20.000 Poundsterling yang hanya memiliki berat 7 kilogram.

Nah, sepeda manakah pilihan Anda? Mungkin, tak terlampau penting untuk memilih sepeda mana yang tepat untuk Anda. Lebih penting untuk memilih tetap bersepeda, apapun sepedanya. Let’s back to bike!

Teks: Agus Yuniarso untuk Kabare Magazine.


Sabtu, 01 Juni 2013

Jogja Travel Mart 2013: Tawarkan Potensi dan Daya Tarik Wisata Petualangan

Di Indonesia, tidak banyak destinasi wisata yang memiliki potensi dan daya tarik yang begitu beragam seperti yang ada di Kota Yogyakarta.

Potensi sosial budaya yang dimilikinya, dapat diolah menjadi beragam paket wisata. Dari wisata sejarah, wisata budaya, wisata religi, wisata alam, wisata kuliner, wisata belanja, wisata pendidikan, hingga beragam jenis wisata minat khusus lainnya.

Laksana magnet, kota dengan beragam atribut ini seolah tak pernah jenuh memancarkan daya tarik untuk memikat kehadiran wisatawan, baik dari penjuru Nusantara maupun mancanegara.

Ikon wisata Yogyakarta pun tak lagi didominasi oleh destinasi klasik seperti Keraton, Malioboro, Candi Prambanan, Candi Borobudur atau Pantai Parangtritis. Berbagai atraksi dan aktifitas seni budaya tergelar berkala sepanjang tahun, baik tradisional maupun kontemporer.

Komunitas lokal dengan karakteristik khasnya tersebar dari pusat kota hingga penjuru desa. Destinasi alternatif pun tersedia dalam beragam pilihan untuk dikunjungi, tak sebatas pada warisan budayanya yang tersohor di penjuru dunia.

Tak kalah menarik, dalam dasawarsa terakhir ini, pariwisata Yogyakarta semakin disemarakkan dengan hadirnya wisata alam alternatif yang menampilkan kekayaan ‘geoheritage’ yang sebelumnya tak terlampau dikenal luas. Sebut saja deretan pantai dan goa-goa eksotis serta gunung api purba di wilayah Gunung Kidul, serta kawasan di seputar Taman Nasional Gunung Merapi di wilayah Sleman.

Untuk semakin memasyarakatkan potensi dan daya tarik wisata itu, para pelaku industri pariwisata di Yogyakarta secara kolaboratif menggelar acara Jogja Travel Mart 2013 yang berlangsung dari tanggal 5 hingga 8 Mei 2013 lalu.

Setelah sukses mengusung tema ‘heritage’ di tahun 2012 lalu, agenda tahunan yang sudah digelar untuk keempat kalinya ini memilih potensi wisata petualangan (adventure) sebagai unggulannya, dengan mengangkat tema ‘Jogja Adventure Tourism Destinations’. Jenis wisata ini dinilai sebagai salah satu daya tarik yang belum banyak diketahui oleh wisatawan, baik Nusantara maupun mancanegara.

Tak kurang dari 122 buyers yang hadir, diantaranya 40 dari Thailand, 30 dari Malaysia, 15 dari Singapura, sejumlah buyers yang datang dari Jepang, Korea, Australia dan India, serta buyers dari dalam negeri. Agenda utamanya adalah sesi B2B (business to busines) yang diselenggarakan di hotel Sheraton Mustika Yogyakarta Resort & Spa pada tanggal 6 Mei 2013.

Acara dalam format table-top ini menjadi ajang komunikasi antara para buyers yang didominasi oleh pengelola biro perjalanan wisata dengan para sellers yang terdiri dari kalangan biro perjalanan wisata, pelaku bisnis perhotelan, badan promosi pariwisata,serta sejumlah pelaku industri pariwisata lainnya.

Dari agenda utama ini diharapkan akan muncul transaksi langsung atau kerjasama berkelanjutan yang saling menguntungkan antara kedua belah pihak, disamping menjadi ajang promosi langsung potensi pariwisata Yogyakarta berikut fasilitas dan paket-paket wisata yang dimilikinya.

Jogja Travel Mart 2013 ini melibatkan kerjasama antara Dinas Pariwisata DIY, DPD Asosiasi Perusahaan Perjalanan Indonesia (ASITA) DIY, BPD Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY, Badan Promosi Pariwisata Kota Yogyakarta (BP2KY), Badan Promosi Pariwisata Sleman (BPPS), DPD Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) DIY, Pemerintah Kota Yogyakarta, serta didukung oleh PT. Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan & Ratu Boko.

Kabare Magazine edisi Juni 2013 (Teks & Foto: Agus Yuniarso)

Jumat, 31 Mei 2013

Syukuran 11 Tahun Kabare Magazine



Genap 11 tahun Kabare Magazine diperingati pada tanggal 7 Juni 2013, bertempat di The Westlake Resto, Yogyakarta. Video oleh Agus Yuniarso.

Kamis, 14 Maret 2013

Ke Jogja Kita ‘kan Kembali

“Sepasang mata bola, dari balik jendela. Telah memandang beta, di Stasiun Jogja …”

Jauh sebelum Katon Bagaskara mendendangkan lagu “Yogyakarta” yang indah itu, Ismail Marzuki telah menyinggung romantisme Jogja dalam “Sepasang Mata Bola”, salah satu lagu legendaris buah karyanya di tahun 1946. Ikatan emosional dengan kota yang memiliki beragam atribut ini, menghinggapi hampir setiap orang yang pernah tinggal, atau setidaknya pernah singgah disini.

Jika para seniman mengabadikan kenangan berkesan dalam buah karya yang indah, orang kebanyakan bisa mewujudkannya dengan beragam cara dan gayanya sendiri-sendiri. Dan cara yang paling sederhana namun sempurna adalah datang kembali ke kota ini.

Romantisme Kota Jogja memang seolah tak bertepi. Dan karenanya, orang datang, pergi dan datang kembali. Ada kalanya dan acapkali terjadi, mereka datang sebagai orang biasa dan datang kembali dalam keadaan yang tak lagi biasa, datang dengan keadaan dan pengidupan yang lebih baik.

Berbekal sejumput ilmu dan pengalaman hidup penuh harmoni, mereka melanglang buana dan mendulang sukses, setidaknya meraih kemapanan dalam ukurannya masing-masing.

Tanpa harus menunggu datangnya puncak kemapanan, romantisme itu selalu memanggil untuk datang dan datang lagi ke Jogja. Sebagai kota nostalgia, Jogja menimang siapa saja untuk menggali dan menikmati pengalaman di masa lalu, sekaligus menciptakan pengalaman-pengalaman baru yang akan menjadi nostalgia di masa depan.

Pada gerbang-gerbang masuk kota ini, terekam dengan baik potret yang menggambarkan betapa orang lalu lalang dan keluar masuk tanpa pernah berhenti. Kesibukan ini tampak semakin nyata di penghujung pekan atau di bulan-bulan dengan hari libur panjang, khususnya di masa liburan sekolah.

Bisa dimaklumi jika Bandar Udara Internasional AdisutjiptoYogyakarta kemudian menempatkan diri sebagai bandar udara tersibuk ke-3 di Pulau Jawa, setelah Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta Jakarta dan Bandar Udara Internasional Juanda Surabaya. Rute domestik dan internasional yang dimilikinya nyaris tak pernah sepi dari penumpang. Kapasitasnya yang semakin terbatas bahkan menuntut dibangunnya sebuah bandara internasional baru, yang rencana tak lama lagi akan dibangun di wilayah Kabupaten Kulon Progo.

Pemandangan tak jauh berbeda terlihat di Stasiun Tugu Yogyakarta, stasiun kereta api yang begitu legendaris, hingga dicatat oleh Ismail Marzuki dalam lagunya lebih dari setengah abad yang lalu. Bersama Stasiun Lempuyangan di sebelah timurnya, stasiun ini menjadi gerbang masuk yang menjadi saksi bisu datang dan perginya setiap orang dari dan menuju Jogja selama lebih dari seabad lamanya. Dari orang penting hingga orang biasa, serta orang biasa yang kelak di kemudian hari tampil menjadi orang penting di negeri ini.

Kesibukan naik dan turunnya penumpang di kedua stasiun ini terbaca dari jumlah kereta api yang melintasinya. Dari total sekitar 65 rangkaian kereta api yang ada di Indonesia, lebih dari 25 diantaranya datang, berangkat dan melintas di Stasiun Tugu dan Stasiun Lempuyangan Yogyakarta.

Berbeda dengan kota-kota lain di Indonesia, Yogyakarta dikunjungi untuk berbagai keperluan sekaligus. Dari wisata, pendidikan, pemerintahan, bisnis, hingga berbagai kepentingan yang jauh lebih personal seperti keluarga dan nostalgia. Karenanya, kesibukan kota ini menjadi begitu khas sebagai bauran dari berbagai kepentingan yang jarang bisa dijumpai di kota-kota besar lainnya. Perkembangan kota pun langsung maupun tidak langsung dipengaruhi oleh persilangan kepentingan dan kebutuhan hidup yang beraneka warna.

Properti adalah salah satu sektor yang “diuntungkan” dengan perkembangan Kota Yogyakarta. Dalam dekade terakhir, sektor ini marak bertumbuh mengiringi perkembangan kota dengan kebutuhannya yang semakin beragam. Investasi di bidang properti pun menjadi peluang emas yang semakin populer, baik di sisi konsumen maupun para pengembangnya.

Di sisi konsumen, Jogja menjadi pilihan investasi yang semakin menarik. Tawaran suasana aman, nyaman, toleran dan biaya hidup murah umumnya menjadi alasan utama, disamping lokasinya yang strategis sehingga bisa bepergian ke mana saja di seluruh Indonesia dengan biaya murah.

Bagi sebagian konsumen, kepemilikan properti di Jogja juga menjadi tabungan dengan nilai ekonomi yang tak pernah menyusut, sebelumnya akhirnya menjadi “rumah masa depan” tempat berlabuh di kemudian hari. Pengembang pun menangkap dengan jeli trend kebutuhan konsumen dan potensi bisnis yang sangat menggiurkan ini. Perumahan mewah, apartemen, kondotel hingga pusat belanja dan hotel-hotel baru pun bermunculan bagai cendawan di musim hujan.

Ketika begitu banyak yang mulai kembali ke Jogja, semoga romantisme kota ini tetap terjaga lestari. Sanjungan syahdu dari para seniman pun semoga menjadi tembang abadi, bukan sekedar menjadi tembang kenangan.

Teks: Agus Yuniarso untuk Kabare Magazine.

Minggu, 27 Januari 2013

Indonesia “Tempo Doeloe” di Lembar Kartu Coklat

Coklat adalah salah satu hidangan paling populer di dunia, baik dalam bentuk minuman maupun makanan. Sebagai minuman, coklat begitu sedap dinikmati dalam keadaan hangat maupun dingin. Coklat juga begitu lezat disantap sebagai makanan yang tersedia dalam berbagai bentuk, corak dan ramuan rasanya yang begitu unik.

Disamping citarasa dan kelezatannya yang khas, coklat juga dikenal berkhasiat memperbaiki suasana hati dan mempengaruhi munculnya hasrat bercinta.Karenanyalah kemudian muncul kebiasaan untuk saling berkirim coklat sebagai hadiah, baik sebagai ungkapan terima kasih, simpati, atensi maupun yang paling sering dilakukan adalah sebagai ungkapan rasa cinta dan kasih sayang.

Kebiasaan berbagi hadiah dengan coklat ditangkap dengan gesitnya oleh para pengusaha coklat sebagai salah satu gimmicks dalam memasarkan produknya. Di tahun 1868, Richard Cadbury, pengusaha coklat di Inggris mulai memperkenalkan sekotak coklat yang dikemas khusus sebagai kado Valentine, meski kebiasaan berbagi coklat sebagai kado Valentine sudah dilakukan orang Inggris sejak abad ke-17. Coklat juga lazim digunakan sebagai hadiah di Belgia. Ketika Jean Neuhaus menemukan ramuan coklat pralin di tahun 1912, segera saja produk baru ini menjadi salah satu hadiah yang paling populer di Belgia.

Masa-masa di sekitar pergantian abad ke-19 dan 20, coklat memang telah menjadi salah satu produk populer yang menjadi favorit masyarakat di berbagai penjuru dunia. Produsennya pun dikenal aktif dalam berpromosi. Begitu ketatnya persaingan, membuat mereka saling berlomba menciptakan materi promosi menarik untuk memikat hati para penikmat coklat.

Di Hindia Belanda kala itu, salah satu produk coklat yang banyak dikenal adalah Cacao & Chocolaad “A. Driessen” yang diimpor langsung dari Negeri Belanda. Pabriknya yang berlokasi di Rotterdam sudah berdiri sejak tahun 1820. Kakao mentah yang menjadi bahan bakunya didatangkan dari Suriname, negeri koloni Kerajaan Belanda di Amerika Tengah. Di penghujung abad ke-19, A. Driessen telah menjadi salah satu produsen coklat terbesar di Negeri Belanda. Sayang, pasca krisis pasaran kakao di tahun 1907 yang berlanjut dengan kegagalan di pasar saham pada tahun 1929, kejayaan A. Driessen terpaksa menyurut. Depresi ekonomi global di awal tahun 1930-an semakin memperparah kondisi perusahaan ini dan membawanya menuju kebangkrutan. Kejayaannya selama lebih dari satu abad pun berakhir ketika A. Driessen diambil alih oleh perusahaan coklat Breda Kwatta di tahun 1935.

Sebagaimana produk coklat lainnya, A. Driessen juga rajin berpromosi selama masa jayanya. Salah satu materi promosi yang begitu dikenal dan menjadi kejaran para kolektor adalah poster bergaya Art Nouveau karya Henri Privat-Livemont (1861-1936), seorang seniman dekorator asal Brussels, Belgia.

A. Driessen juga rajin menerbitkan serial kartu bergambar panorama dari seluruh dunia. Kartu berukuran mini ini disertakan dalam kemasan produknya. Yang istimewa, salah satu seri itu menampilkan sejumlah foto yang mengabadikan suasana di Hindia Belanda sekitar tahun 1920 hingga 1930an. Lebih dari 50 obyek ditampilkan dalam kartu yang bertuliskan “Wereld-Panorama ‘A. Driessen’ : extra serie Nederlandsch Oost-Indië” ini, dari potret, bangunan-bangunan penting, landmark kota, serta landscape dan panorama alam.

Dari judul-judulnya, bisa ditengarai identitas setiap obyek dalam foto-foto itu sekaligus melihat bagaimana keadaan negeri ini di masa lampau dan membandingkan dengan masa kini. Sebagian diantaranya tentu sudah banyak berubah, meski tak sedikit pula yang masih eksis di zaman ini, meski dengan nama, keadaan atau fungsi yang berbeda.

Diantara foto-foto terdapat beberapa potret yang menarik, seperti seorang Bupati dengan para bawahannya (Een regent met zijn ondergeschikten), Wedono dengan para bawahannya (Een wedono met zijn ondergeschikten), serta potret sebuah sekolah China dengan para guru dan komite sekolahnya (Chin. schoolkinderen met hun onderwijzers en schoolcommissie).

Ada pula foto Gereja Immanuel Jakarta yang dahulu bernama Willemskerk, Istana Negara Jakarta (Paleis van de Gouverneur-Generaal, Noordwijk, Batavia), Bangunan Lawang Sewu Semarang yang dahulu dipergunakan sebagai kantor Nederlandsch-Indische Spoorweg-Mattschapij (NISM), Jembatan Merah di Surabaya (Soerabaya, de Roode Brug), serta kantor pos dan kantor telepon di Surabaya tempo doeloe.

Suasana dan panorama alam antara lain diwakili oleh foto Kebun Raya Bogor (Botanische Tuin Buitenzorg), Lautan pasir di Gunung Bromo (Zandzee op den Bromo), danau kawah Gunung Ijen(Waterloop van het Idjen Kratermeer), serta air terjun Baong di Lawang, Jawa Timur, dan masih banyak lagi.

Obyek yang ditampilkan dalam kartu-kartu A. Driessen ini memang sebagian berada di pulau Jawa, yang didominasi oleh foto-foto yang diambil di Batavia, Semarang dan Jawa Timur. Meski penggambaran ini belum mewakili keadaan di Hindia Belanda secara keseluruhan, rasanya sudah cukup bermanfaat untuk mempromosikan kemolekan bumi Nusantara di dunia internasional pada masa lalu. Kartu-kartu A. Driessen itu juga menjadi arsip visual yang berharga di masa kini, memandu imajinasi untuk menjelajahi masa lalu, untuk memahami muasal dari kekinian yang kita miliki saat ini.

Teks: Agus Yuniarso untuk Kabare Magazine.

Jumat, 11 Januari 2013

Dua Benteng di Tengah Kota, Bersandingan Sepenembakan Meriam

Dalam hal pelestarian cagar budaya, Yogyakarta termasuk salah satu kota yang beruntung dibanding kota-kota lain. Tak sebatas di Indonesia, bahkan di tingkat dunia.

Meski tak semua sempurna, begitu banyak cagar budaya yang terjaga kelestariannya. Rentang usianya pun cukup lebar. Mulai dari zaman kolonial satu dua abad yang lalu, hingga zaman peradaban Hindu-Buddha, lebih dari 10 abad lalu. Termasuk diantaranya deretan cagar budaya itu adalah dua bangunan pertahanan yang berdiri megah di tengah kota, Benteng Baluwerti dan Benteng Vredeburg.

***

Kraton Kasultanan Yogyakarta dikelilingi oleh sebuah benteng besar yang didirikan sebagai sarana pertahanan serta untuk mengantisipasi serangan musuh dari luar wilayah Keraton. Benteng ini dinamai Benteng Baluwerti, yang berarti jatuhnya peluru laksana hujan.

Benteng Baluwerti dibangun atas prakarsa Pangeran Adipati Anom, putra mahkota Sultan Hamengku Buwono I, untuk mengimbangi berdirinya benteng VOC di sebelah utara Kraton, yang dikenal dengan nama Benteng Vredeburg. Pembangunan Benteng Baluwerti sendiri ditandai dengan ornamen simbolik berupa suryasengkala yang berbunyi Paningaling Kawicakranan Salingga Bathara yang bermakna tahun 1785 Masehi.

Untuk mempersiapkan diri menghadapi serangan Daendels, Pada bulan November 1809, Pangeran Adipati Anom yang telah naik tahta menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono II, semakin menyempurnakan bangunan ini.

Benteng Baluwerti berbentuk segi empat, mengelilingi kompleks Keraton seluas lebih kurang satu kilometer persegi. Tembok benteng setinggi 3,5 meter dengan lebar antara 3-4 meter yang membentuk anjungan. Tebalnya tembok benteng memungkinkan orang atau kereta kuda melintas diatasnya. Sisa anjungan pada tembok Benteng Baluwerti masih bisa disaksikan pada sisi selatan sebelah timur.

Benteng Baluwerti memiliki 5 buah gerbang yang disebut plengkung. Plengkung Tarunasura atau Plengkung Wijilan berada di sisi utara sebelah timur, sekaligus menjadi pintu gerbang istana putra mahkota atau Kadipaten. Plengkung ini bentuknya masih utuh.

Plengkung Jagasura atau Plengkung Ngasem berada di sisi utara sebelah barat. Plengkung ini pada masa Sultan Hamengku Buwono VIII telah mengalami perubahan bentuk menjadi gerbang bentar.

Di sebelah barat dahulu berdiri Plengkung Jagabaya atau Plengkung Tamansari yang saat ini juga sudah berubah bentuk menjadi gapura. Sementara di sisi sebelah timur, dahulu berdiri Plengkung Madyasura yang disebut pula Plengkung Tambakbaya. Plengkung ini sudah rata dengan tanah. Ada pula yang menyebutnya dengan nama Plengkung Buntet, karena pernah ditutup menjelang serangan balatentara Inggris pada tahun 1812.

Satu lagi plengkung yang terdapat di sisi selatan masih berdiri utuh dan dikenal dengan nama Plengkung Nirboyo atau Plengkung Gadhing. Fungsi khusus gerbang ini adalah sebagai jalan untuk menghantar Sultan yang wafat menuju makam para raja di Pajimatan Imogiri. Pada sisi kiri dan kanan pintu terdapat ragam hias kepala raksasa yang disebut Kala atau Kemamang sebagai simbol pelepasan mangkatnya sang raja.

Pada setiap sudut Benteng Baluwerti terdapat bangunan bastion yang berfungsi sebagai titik pengintaian dengan sejumlah lubang dan relung yang berfungsi untuk menempatkan meriam atau senjata lainnya. 3 dari 4 bastion ini masih berdiri utuh, yaitu yang berada di sebelah tenggara, barat daya dan barat laut.

Satu lagi bastion di sebelah timur laut telah lama runtuh, nyaris tidak lagi tersisa bekasnya. Sebuah prasasti yang ada di bekas bastion itu, menunjukkan sebab kerusakannya akibat serangan balatentara Inggris pada tahun 1812. Peristiwa yang terjadi pada masa Sultan Hamengku Buwono II tersebut dikenal sebagai Geger Sepoy atau Geger Spei.

Hingga sekitar abad ke-18, Benteng Baluwerti dikelilingi oleh selokan yang lebar dan dalam yang disebut jagang dengan jembatan gantung di depan setiap plengkungnya. Sepanjang tepian jagang ditanam deretan Pohon Gayam. Jika datang ancaman bahaya, jembatan-jembatan ini dapat ditarik ke atas hingga menutup jalan masuk menuju bagian dalam benteng.

Pada jamannya, plengkung-plengkung ditutup pada jam 8 malam dan dibuka kembali pada jam 5 pagi diiringi genderang dan terompet para prajurit di halaman Kemagangan.

***

Satu lagi benteng yang berdiri di tengah Kota Yogyakarta adalah Benteng Vredeburg, benteng megah yang saat ini berfungsi sebagai museum sejarah perjuangan Bangsa Indonesia.

Awalnya, Meski dipergunakan untuk kepentingan VOC, benteng ini tidak dibangun oleh orang-orang Belanda.

Benteng Vredeburg mulai dibangun pada tahun 1760 oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I. Pembangunan ini dilakukan atas permintaan VOC yang diwakili oleh Gubernur Pantai Utara Jawa, Nicolaas Hartingh, sebagai bagian dari kesepakatan dan keniscayaan politik di masa-masa awal berdirinya Kasultanan Yogyakarta, pasca peristiwa Palihan Nagari di tahun 1755.

Dalihnya demi membantu menjaga keamanan Kraton Kasultanan Yogyakarta, meski dengan mudah dapat dibaca sebagai upaya VOC untuk memantau pergerakan Kasultanan Yogyakarta sendiri. Karenanya, Sultan pun tak banyak menunjukkan semangat untuk mewujudkannya. Namun, meski dibangun dengan setengah hati, akhirnya berdiri jugalah sebuah benteng sederhana yang terletak sekitar 200 meter di sebelah utara Kraton.

Benteng berbentuk bujursangkar ini di keempat sudutnya dibuat tempat penjagaan yang disebut seleka atau bastion. Keempat sudut itu masing-masing diberi nama Jayawisesa di barat laut, Jayapurusa di timur laut, Jayaprakosaningprang di barat daya dan Jayaprayitna di tenggara.

Di tahun 1765, Gubernur W.H. Ossenberch yang menggantikan Nicolaas Hartingh mengusulkan agar benteng dibuat lebih permanen demi menjamin keamanan. Setelah tercapai kesepakatan dengan Sultan Yogyakarta, penyempurnaan bangunan benteng pun dimulai pada tahun 1767 dibawah pengawasan Frans Haak, seorang insinyur Belanda, dan baru berakhir di tahun 1787.

Penyempurnaan bangunan benteng ini memakan waktu cukup lama, karena Sultan bagaimanapun lebih memprioritaskan perhatiannya pada Kraton Kasultanan yang masa itu juga sedang dibangun. Setelah selesai disempurnakan, benteng ini kemudian diberi nama Fort Rustenburg, yang berarti Benteng Peristirahatan.

Hampir seabad kemudian, benteng yang cukup megah ini sempat mengalami kerusakan berat saat terjadinya gempa bumi besar yang melanda Kota Yogyakarta di tahun 1867. Setelah dilakukan pembenahan, Fort Rustenburg berganti nama menjadi Fort Vredeburg, yang berarti Benteng Perdamaian.

Benteng Vredeburg memiliki 3 buah pintu, yang terdapat di sisi sebelah barat, selatan dan timur, dengan pintu utama berada di sebelah barat. Awalny, sebagaimana lazimnya bangunan pertahanan di masa lalu, benteng ini juga dikelilingi parit sebagai konstruksi pertahanan di sisi terluar.

Sisa parit ini masih bisa dilihat di bawah jembatan depan gerbang utama. Dahulu juga terdapat jembatan gantung di atas parit di depan setiap pintunya.

Tembok benteng adalah lapisan pertahanan kedua setelah parit, yang setiap sisi dalamnya dibuat anjungan. Di sepanjang anjungan ini terdapat sejumlah relung untuk menempatkan meriam kecil atau senjata tangan. Sebagian anjungan dan relung-relung di sebelah timur, selatan dan barat saat ini masih bisa disaksikan.

Sementara bangunan di dalam benteng terdiri dari perumahan perwira, sejumlah bangsal prajurit, gudang senjata, garasi, ruang tahanan serta kandang kuda. Sementara lapangan yang berada di tengah benteng menjadi tempat persiapan, latihan maupun upacara-upacara militer.

***

Benteng Baluwerti dan Benteng Vredeburg, dua benteng yang hanya berjarak sepenembakan meriam itu, kini menjadi landmark penting di tengah Kota Yogyakarta.

Benteng Vredeburg, selain fungsi utamanya sebagai sebuah museum, juga menjadi salah satu pusat kegiatan seni budaya penting di kota ini. Sementara Benteng Baluwerti, menjadi salah satu ciri khas keberadaan Kraton Kasultanan Yogyakarta yang masih terjaga lestari.

Terbersit kabar, Pemerintah Kota Yogyakarta berencana menata kembali lingkungan dan pemukiman di seputar Benteng Baluwerti untuk memunculkan kembali wajah asli dinding-dinding di setiap sisinya.

Jika rencana ini berjalan mulus tanpa gejolak, tentu akan menjadi prestasi tersendiri dalam bidang tata kota dan pelestarian cagar budaya.
Perhatian dan kepedulian masyarakat Yogyakarta demi lestarinya kedua benteng bersejarah ini, semoga dapat membangkitkan inspirasi bagi pengelolaan benteng-benteng lain di seluruh penjuru Nusantara.

Bagian ketiga dari tiga artikel Laporan Utama (Regol) Kabare Magazine, edisi Desember 2012 (Teks: Agus Yuniarso; Foto: Hesti Rika Pratiwi, Budi Prast)

Kamis, 10 Januari 2013

Dari Benteng ke Benteng, Melacak Jejak Sejarah

Setiap wujud peninggalan masa lalu, selalu menarik untuk dikunjungi dan dipelajari. Di sanalah saksi peradaban manusia berada, yang menjadi salah satu sumber penting untuk mencatat perjalanan sejarah sebuah bangsa.

Salah satu peninggalan itu adalah bangunan benteng pertahanan yang banyak berdiri di seluruh penjuru Nusantara sejak beberapa abad lalu. Bagaimana riwayatnya kini?

Awal November 2012 lalu, Tim Kabare telah menjelajahi dan mendokumentasikan sejumlah benteng peninggalan masa lalu yang tersebar di Kota Cilacap, Gombong, Ambarawa, Ungaran, Ngawi, Surakarta dan Yogyakarta.

Meski memfokuskan diri pada sejumlah benteng peninggalan Belanda, tim juga berupaya menengok kembali keberadaan benteng asli peninggalan Dinasti Mataram Islam, khususnya Benteng Baluwerti di Kraton Kasultanan Yogyakarta yang masih menampakkan wujud aslinya.

Dalam perkembangannya saat ini, meski awalnya sebagian besar tetap menjadi aset dan fasilitas militer, kondisi dan fungsi setiap benteng itu berbeda-beda. Ada yang masih cenderung tertutup, ada pula yang sudah berubah menjadi ruang publik.

Tulisan ini merangkum seluruh hasil kunjungan Tim Kabare, kecuali riwayat tentang Benteng Vredeburg dan Benteng Baluwerti di Yogyakarta yang disajikan dalam tulisan tersendiri.

***

Dari Yogyakarta, Tim Kabare meluncur menuju Kota Cilacap di sudut barat daya Provinsi Jawa Tengah, mengunjungi sebuah obyek wisata yang sudah begitu dikenal: Benteng Pendem Cilacap, yang dalam literatur Belanda disebut sebagai Kustbatterij op de Landtong te Tjilatjap.

Konon, benteng berbentuk segi lima yang dibangun antara tahun 1861 hingga 1879 ini merupakan tiruan dari Fort Rhijnauwen, benteng terbesar di Utrecht, Negeri Belanda, yang dibangun pada masa yang sama.

Di masa kemerdekaan, sebagaimana benteng-benteng yang lain, Benteng Pendem Cilacap diambil alih oleh tentara Indonesia. Meski tidak dipergunakan secara intensif, tempat ini pernah menjadi ajang sejumlah aktifitas militer.

Salah satunya di tahun 1960-an, saat Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD), yang sekarang bernama Komando Pasukan Khusus (Kopassus), mempergunakannya sebagai markas latihan lintas hutan, gunung, rawa dan laut. Aktifitas ini ditandai dengan didirikannya Tugu Monumen Peluru di salah satu sisi yang menjadi gerbang masuknya kala itu.

Selama dua dasawarsa semenjak tidak dipergunakan lagi oleh RPKAD, Benteng Pendem ini sempat tak terurus, tertutup semak perdu dan tertimbun pasir. Baru di tahun 1986, Pemerintah Kabupaten Cilacap berupaya menggali kembali, bersamaan dengan dimulainya pembangunan dermaga kapal, perkantoran dan tangki-tangki minyak yang dikelola oleh Pertamina Unit Produksi IV Cilacap.

Di tahun yang sama pula, Atas inisiatif seorang warga Cilacap bernama Adi Wardoyo, kawasan benteng mulai dibuka dan ditata, hingga mulai bisa dikunjungi umum pada tahun 1987.

Benteng Pendem Cilacap diperkirakan memiliki luas asli sekitar 10 hektar. Denah dan struktur reruangannya secara lengkap kemungkinan sulit disingkap, karena sekitar 4 hektar dari luas kawasannya terlanjut dipergunakan sebagai fasilitas operasional Pertamina.

Saat ini, selain benteng perlindungan, ruang pengintaian dan parit di sisi luar, sebagian bangunan yang masih bisa diidentifikasi adalah barak prajurit, ruang rapat, klinik, gudang senjata dan mesiu, penjara, dapur serta terowongan bawah tanah. Konon, sebagian dari terowongan ini memanjang menembus laut, menuju Benteng Karangbolong, sebuah benteng di Pulau Nusakambangan yang juga dibangun oleh Belanda di tahun 1873.

Di wilayah Gombong, Kabupaten Kebumen, berdiri bekas benteng yang sekarang berubah menjadi obyek wisata yang terkenal bernama Benteng Van der Wijck. Terakhir, sebelum akhirnya dikelola oleh swasta, benteng ini dipergunakan sebagai bagian dari Sekolah Calon Tamtama A dibawah Kodam IV / Diponegoro.

Meski relatif utuh dan kokoh, tak banyak tersedia catatan yang berkaitan dengan sejarah pendirian benteng bersegi delapan ini. Ditilik dari bentuk bangunannya, Benteng Van der Wijck kemungkinan dibangun pada periode yang sama dengan pembangunan Benteng Willem I di Ambarawa dan Benteng Prins Oranje di Semarang, buah dari kebijakan Benteng Stelsel di masa pemerintahan Gubernur Jenderal Hendrik Merkus Baron de Kock.

Sebelumnya, benteng ini juga dikenal dengan nama Fort Frans David Cochius. Penamaan ini sebagai penghargaan Raja Belanda Willem I kepada Mayor Jenderal Frans David Cochius, atas jasanya memenangkan pertempuran di Pegunungan Bonjol, Sumatera Barat (1837). Penaklukan ini mengakhiri perlawanan Kaum Adat dan Kaum Padri yang berlangsung sejak tahun 1831. Selain pernah bertugas di wilayah Kedu, Jawa Tengah, Cochius juga dikenal sebagai perancang strategi Benteng Stelsel.

Sementara Van der Wijck, nama yang tertera di gerbang masuk dan menjadi nama benteng saat ini, belum dijumpai keterangan yang akurat tentang biografinya. Di akhir abad ke-19, setidaknya ada 2 tokoh penting bernama Van der Wijck. Yang pertama adalah Johan Cornelis van der Wijck, seorang Letnan Jenderal Hindia Belanda yang pernah menjabat sebagai salah satu komandan militer wilayah Jawa (1900), Gubernur Militer di wilayah Aceh dan sekitarnya (1904) dan terakhir sebagai Panglima sekaligus Kepala Departemen Perang Pemerintah Kolonial Hindia Belanda (1905).

Tokoh kedua adalah Carel Herman Aart van der Wijck, Gubernur Jenderal Hindia yang memerintah dari tahun 1893 hingga 1899. Bagi Kerajaan Belanda, tokoh ini dianggap berjasa atas keberhasilannya mengendalikan peperangan antara orang Sasak dan Bali di Lombok, yang berakhir dengan jatuhnya Istana Cakranegara di Ampenan serta penguasaan penuh Belanda atas pulau itu (Peristiwa ini juga “menyelamatkan” Naskah Negarakertagama dari istana yang terbakar dan membawanya ke Negeri Belanda).

Namanya diabadikan sebagai nama sebuah kapal mewah yang kemudian karam di dekat Lamongan dan diceritakan kembali oleh Hamka dalam karyanya ”Tenggelamnya Kapal Van der Wijck”. Sumber lain juga menyebutkan pengabadian namanya pada saluran irigasi penting di Yogyakarta, yang dikenal dengan nama Selokan Van der Wijck (dibangun tahun 1909).

***

Perjalanan Tim Kabare berlanjut menuju wilayah Ungaran, di Kabupaten Semarang. Di lintasan utama yang menghubungkan Semarang dengan Surakarta dan Yogyakarta ini berdiri salah satu benteng tua yang berdiri sejak abad ke-18 yang dikenal dengan nama Benteng Willem II.

Keberadaannya bermula dari sebuah benteng sederhana yang diberi nama Fort Ontmoeting atau Benteng Pertemuan, sebagai peringatan pertemuan bersejarah antara Sri Susuhunan Paku Buwono II dengan Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron van Imhoff, 11 Mei 1746. Benteng ini kemudian disempurnakan bangunannya pada tahun 1786 dan dikenal dengan nama Fort Oenarang (sebutan lama Ungaran).

Setelah berakhirnya Perang Jawa (1827-1830), seiring dibangunnya benteng yang lebih besar di Ambarawa, benteng ini kemudian berubah nama menjadi Fort Willem II, mengabadikan nama Raja Belanda kedua, Willem Frederik George Lodewijk van Oranje-Nassau atau Willem II yang memerintah dari tahun 1840-1849. Belakangan, benteng ini disebut dengan nama Benteng Diponegoro, karena disinilah Pangeran Diponegoro ditahan sementara sebelum akhirnya diasingkan ke Makassar.

Lokasi Benteng Willem II mudah dijumpai karena berada di tepi jalan raya utama Solo-Semarang, sekitar 35 km dari Ambarawa, tepatnya di depan Gedung Sekretariat Daerah Kabupaten Semarang. Benteng yang terdiri dari 2 bangunan bertingkat dengan tembok keliling setebal 1 meter ini pernah dipergunakan sebagai asrama polisi, sebelum akhirnya dikosongkan hingga saat ini.

Meski terkesan kurang terpelihara, kondisi fisik bangunannya relatif masih utuh. Lokasinya pun sangat strategis dan potensial untuk dikembang sebagai obyek wisata atau pusat aktifitas seni budaya. Sayang, upaya menuju kesana masih terhambat oleh sengketa kepemilikan lahan sehingga belum sepenuhnya bisa terealisasikan.

Namun upaya pelestariannya sebagai cagar budaya secara bertahap telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Semarang. Sebagian kawasan Benteng Willem II, sementara ini telah mulai difungsikan menjadi ruang publik, lengkap dengan fasilitas taman, tempat duduk, tempat parkir, hingga hotspot area. Halaman depan benteng yang disebut dengan “Taman Beteng” ini, menjadi salah satu tempat favorit warga masyarakat Ungaran dan sekitarnya.

Masih di wilayah Kabupaten Semarang, tak jauh dari Museum Kereta Api Ambarawa, berdiri sebuah benteng peninggalan Belanda yang dikenal dengan nama Benteng Willem I. Saat ini, sebagian kawasan bekas benteng dipergunakan sebagai lembaga pemasyarakatan oleh Departemen Hukum dan HAM RI, sementara sebagian lainnya dimanfaatkan sebagai hunian keluarga militer dibawah pengelolaan Kodam IV / Diponegoro.

Benteng Ambarawa dibangun antara tahun 1834-1853 sebagai sebuah benteng modern, menempati bekas markas pasukan cadangan dan gudang logistik Belanda yang berperan penting selama berkecamuknya Perang Jawa (1825-1830). Benteng ini mengabadikan nama Raja Belanda pertama, Willem Frederik Prins van Oranje-Nassau atau Willem I Frederick yang memerintah dari tahun 1815-1840.

Kawasan benteng sangat luas, bahkan disebut sebagai salah satu benteng terbesar di Pulau Jawa. Benteng Willem I juga dikenal sebagai maskas Oost-Indische Leger, pasukan khusus Belanda dalam Perang Jawa yang direorganisasi akhir tahun 1830, cikal bakal dari Koninklijk Nederlands-Indisch Leger (KNIL) yang baru resmi dibentuk pada tahun 1933. Tahun 1873, ketika jaringan kereta api marak dibangun di Pulau Jawa, benteng ini juga membangun stasiun dan jalur khusus yang menghubungkannya ke Semarang dan Yogyakarta. Sebagaimana benteng, stasiun itu awalnya bernama Stasiun Willem I.

Sayang, sebagai sebuah cagar budaya, kondisi benteng ini cukup memprihatinkan. Berbeda dengan nasib Stasiun Willem I lestari dan tersohor sebagai Museum Kereta Api Ambarawa, kondisi fisik kawasan Benteng willem I tampak terbengkalai. Memang, melihat luasnya kawasan dan kondisinya saat ini, mudah dipahami jika pemeliharaan dan perbaikannya membutuhkan biaya yang sangat besar.

***

Dari Ambarawa, Tim Kabare langsung beranjak menuju Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Di kota ini berdiri sebuah benteng yang dahulu Fort Van den Bosch, dikenal juga dengan sebutan Benteng Pendem Ngawi. Benteng ini terletak tak jauh dari titik pertemuan (tempuran) Bengawan Solo dan Bengawan Madiun, di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Lokasinya mudah dijangkau, karena berada di pusat Kota Ngawi.

Semula, keberadaan benteng ini tak banyak diketahui, bahkan nyaris terlupakan. Maklum, pasca kemerdekaan, kawasan ini menjadi fasilitas militer yang tertutup bagi publik. Baru di awal 2011, benteng mulai dibuka untuk umum. Meski sudah mulai bisa dikunjungi, kawasan benteng masih berada di bawah pengelolaan Yon Armed 12/Kostrad Angicipi Yudha, batalyon artileri medan di bawah Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) yang pernah memanfaatkannya sebagai markas dalam kurun waktu yang cukup lama.

Sebagaimana ditulis dalam buku “De Java Oorlog” karya Pjf. Louw (Jilid I, 1894), benteng ini dibangun pada tahun 1839 hingga 1845 sebagai sarana pertahanan menghadapi sisa-sisa laskar Pangeran Diponegoro di wilayah Ngawi yang dipimpin oleh Wirotani. Lokasinya sangat strategis, karena berada simpang lajur transportasi sungai yang menghubungkan aktifitas perdagangan dari Surakarta, Yogyakarta, Pacitan, Madiun dan Maospati, menuju bandar Surabaya.

Benteng ini dinamai Fort Van den Bosch, mengabadikan nama Gubernur Jenderal Johannes graaf van den Bosch yang memerintah di tahun 1830-1834.

Sebagai catatan, Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-43 ini dikenal sebagai penguasa Hindia Belanda menggagas dan memberlakukan Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel). Di pihak Belanda, meski telah menimbulkan kesengsaraan bagi kaum pribumi, sistem ini berhasil menyumbangkan keuntungan besar dan berperan penting dalam peningkatan kemakmuran di Negeri Belanda.

Belakangan, sistem ini juga telah melahirkan zaman keemasan kolonialisme liberal di Hindia Belanda (1835-1940). Karenanya, Raja Belanda William I menganugerahkan gelar Graaf kepada Van den Bosch pada tahun 1839. Pemberian nama benteng di Ngawi dengan namanya, kemungkinan adalah bagian dari pemberian penghargaan itu, bukan karena didirikan oleh Van den Bosch sebagaimana tertulis di sejumlah sumber.

Meski termakan usia, Benteng Van den Bosch masih tampak kokoh. Bangunan yang masih bisa disaksikan adalah gerbang utama, ratusan kamar para tentara, halaman tengah, dan beberapa ruang yang diyakini sebagai bekas kandang kuda.

Seperti umumnya, sisi luar benteng juga dikelilingi oleh parit selebar 5 meter yang saat ini telah tertimbun tanah. Benteng ini juga dikelilingi oleh gundukan tanah, sehingga memberi kesan terpendam, dan disebut dengan nama Benteng Pendem. Selain sebagai fungsi pertahanan, gundungan ini juga berguna untuk melindungi kawasan benteng jika sewaktu-waktu terjadi luapan air sungai Bengawan Solo atau Bengawan Madiun.

Kota Surakarta adalah persinggahan terakhir, sebelum kemudian kembali ke Yogyakarta. Di tengah kota, tepatnya di kawasan Gladak, berdiri bangunan Benteng Vastenburg yang berarti “benteng yang dikelilingi tembok kuat”. Benteng ini didirikan oleh pada 1775-1779 atau 32 tahun setelah berdirinya Kraton Kasunanan Surakarta, pada tempat yang sama dengan bangunan Fort De Grootmoedigheid yang dibangun oleh Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron van Imhoff di tahun 1745.

Bentuknya menyerupai Benteng Vredeburg di Yogyakarta, yang dibangun pada kisaran waktu yang sama, yaitu bujur sangkar dengan tonjolan di empat sudutnya yang disebut seleka atau bastion. Benteng ini juga dikelilingi parit dengan jembatan gantung di depan setiap gerbangnya. Sementara bangunan dalam benteng terdiri dari beberapa barak terpisah, serta lapangan terbuka di tengahnya yang dipergunakan sebagai tempat latihan, persiapan pasukan serta apel bendera.

Sebagaimana bangunan benteng lainnya, pasca kemerdekaan Benteng Vastenburg juga dipergunakan sebagai fasilitas militer TNI. Terakhir, benteng ini dipergunakan sebagai markas dan tempat latihan Brigif 6/Kostrad Trisakti Baladaya, brigade infanteri di bawah Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad).

Sayang, meski berada di tengah kota, kondisi Benteng Vastenburg sungguh terbengkalai dan tidak terawat. Ini terkait dengan sengketa kepemilikan lahan yang tak kunjung usai. Benteng Vastenburg di Surakarta, kemungkinan adalah satu-satunya benteng yang sepenuhnya dimiliki oleh pihak swasta. Sebuah bangunan cagar budaya penting yang tidak lagi dikuasai oleh negara.

Harapannya, semoga bisa segera dicapai mufakat yang mampu menyalurkan kepentingan setiap pihak yang terkait dengan keberadaan Benteng Vastenburg, demi kelestariannya sebagai cagar budaya dan saksi perjalanan sejarah bangsa. Harapan ini tak hanya berhenti di Surakarta, tapi juga di setiap benteng yang masih bisa diselamatkan keberadaanya di seluruh penjuru Nusantara.

Bagian kedua dari tiga artikel Laporan Utama (Regol)Kabare Magazine, edisi Desember 2012 (Teks: Agus Yuniarso, Della Yuanita; Foto: Budi Prast, Albert)

Rabu, 09 Januari 2013

Benteng, Tak Semua Mampu Bertahan

Benteng adalah konstruksi bangunan yang (umumnya) dirancang sebagai pertahanan dalam menghadapi situasi perang. Di masa lalu, sebagai sarana mempertahankan diri dari serangan musuh, benteng banyak didirikan di seluruh penjuru dunia. Bentuk dan bahannya pun sangat beragam, mengikuti kondisi geografis dimana benteng itu berdiri serta peradaban dan teknologi yang berkembang pada zamannya.

Di Indonesia, berbagai bentuk benteng pertahanan pernah dibangun oleh kerajaan-kerajaan asli yang menjadi penguasa lokal, serta sejumlah bangsa asing yang pernah berkuasa, atau setidaknya berdagang di wilayah Nusantara, seperti bangsa Spanyol, Portugis, Inggris, Belanda dan Jepang.

Sejak paruh awal abad ke-19, semakin banyak jumlah benteng yang berdiri, khususnya di Pulau Jawa dan Sumatra, saat Pemerintah kolonial Hindia Belanda menerapkan strategi Benteng Stelsel untuk menghadapi berbagai perlawanan. Inti strategi ini adalah membangun benteng-benteng pertahanan berikut jalur transportasi yang saling menghubungkannya, pada setiap wilayah yang berhasil dikuasai.

Strategi yang dirancang oleh Frans David Cochius ini mulai diterapkan pada tahun 1827 oleh Gubernur Jenderal Hendrik Merkus baron de Kock, ditengah berkecamuknya Perang Diponegoro (1825-1830).

Untuk mempersempit gerak pasukan Pangeran Diponegoro, Belanda membangun sejumlah benteng di Semarang, Ambarawa, Muntilan, Kulon Progo dan Magelang, hingga kemudian menghasilkan tak kurang dari 165 benteng baru yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Strategi ini dianggap berhasil ketika Perang Diponegoro berakhir pada tahun 1830 dan dipergunakan kembali saat menghadapi Perang Padri di Sumatra (1803-1838).

Menarik untuk menelusuri dan mengamati keberadaan benteng-benteng yang pernah berdiri kokoh dan menjadi saksi sejarah pada zamannya itu. Sekilas studi visual yang dilakukan Tim Kabare pada foto, ilustrasi serta peta lama dari pertengahan abad ke-18 hingga akhir ke-19, menemukan sejumlah benteng peninggalan masa lalu yang meski tidak merata, tersebar di seluruh penjuru Nusantara.



Di Pulau Sumatera misalnya, berdiri sejumlah benteng diantaranya: Fort de Kock (Bukittinggi, Sumatera Barat), Fort der Capellen (Batusangkar, Sumatra Barat), Fort Poleoe Tjinkoe (Pesisir Selatan, Sumatra Barat), Fort Marlborough (Bengkulu), Fort Palembang (Palembang), Fort Tandjoengpinang dan Fort Prins Hendrik atau Fort Kroonprins (Riau), Fort Toboalij (Bangka), serta Fort Pakanbadak (Kutaraja, Aceh).

Di Pulau Jawa, hampir di setiap kota pernah berdiri benteng. Yang masih bisa dicatat antara lain: Fort Speelwijk (Banten), Fort Diamant (Serang), Castle of Batavia (Jakarta), Fort Prins van Oranje (Semarang), Fort Vredeburg dan Benteng Baluwerti (Yogyakarta), Fort Vastenburg (Solo), Fort Willem II (Ungaran), Fort Willem I (Ambarawa), Fort Kedoeng Kebo (Purworejo), Fort van der Wijck (Gombong), Fort Engelenburg (Klaten), Fort de Hersteller (Salatiga), Fort Djapara (Jepara), Fort Prins Hendrik (Surabaya), Fort Van den Bosch (Ngawi), Fort Erfprins (Gresik) dan Fort Utrecht (Banyuwangi) serta sejumlah benteng di beberapa kota lainnya.

Bangunan benteng juga banyak dijumpai di Kepulauan Maluku, yang hingga pertengahan abad ke-19 pernah menjadi surga rempah-rempah dunia. Di Ambon misalnya, selain Fort Nieuw Victoria yang sampai sekarang masih berdiri kokoh, juga pernah berdiri Fort Amsterdam (Hila), Fort Haarlem (Lima), dan Fort Middelburg (Paso).

Di Kepulauan Banda, setidaknya pernah berdiri 6 benteng, yaitu: Fort Belgica, Fort Nassau, Fort Kuilenburg, Fort Hollandia, Fort Concordia, dan Fort Revengie. Di wilayah Ternate, teridentifikasi 4 bangunan benteng: Fort Oranje, Fort Voorburg, Fort Tolluco dan Fort Kalamata. Masih terdapat belasan benteng lainnya yang tersebar di kepulauan ini.

Benteng lainnya tersebar di sejumlah wilayah, seperti Fort Rotterdam dan Fort Vredenburg (Makassar), Benteng Kesultanan Buton (Bau-bau), Fort Nieuw Amsterdam (Manado), Fort Tatas (Banjarmasin), Fort Du Bus (Pontianak), Fort Concordia (Kupang), dan Fort Du Bus (Papua).



Pusat Dokumentasi Arsitektur (PDA), sebuah lembaga yang menekuni penelitian dan dokumentasi arsitektur, khususnya bangunan dan kawasan cagar budaya di Indonesia, menyebut lebih dari 275 benteng peninggalan masa lalu yang tersebar di seluruh penjuru Nusantara. Bangunan ini tak hanya tersebar di pulau atau kota-kota besar, namun juga di pelosok wilayah dan pulau-pulau terpencil.

Sayang, sebagian bangunan benteng itu telah lenyap tanpa bekas. Sebagian yang lain hancur terlapukkan zaman, hanya menyisakan bekas-bekas bangunan beserta mitos dan legenda yang menyertai keberadaannya. Sebagian lagi masih menyisakan wujud aslinya, namun dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Tak cuma kondisi fisik, catatan sejarahnya pun sulit tertemukan. Jika data dan sejarah benteng di kota-kota besar saja acapkali tak terungkap dengan akurat, apalagi benteng yang berdiri di pelosok wilayah atau pulau-pulau terpencil.

Sementara bangunan benteng yang terjaga lestari sebagai cagar budaya warisan masa lalu, relatif terbilang dengan hitungan jari. Benteng-benteng beruntung yang panjang umur ini masih berdiri kokoh dengan beragam fungsi, meski kondisi bangunannya tak lagi seutuh di masa jayanya.

Benteng-benteng ini bahkan tampil menjadi landmark kotanya, seperti Benteng Malborough di Bengkulu, Benteng Rotterdam di Makassar, Benteng Vredeburg dan Benteng Baluwerti di Yogyakarta, Benteng Van der Wijck di Gombong, Benteng de Kock di Bukittinggi serta Benteng Nieuw Victoria di Ambon.

Ternyata, meski menjadi bangunan pertahanan, tak semua benteng mampu bertahan melawan arus perubahan zaman.

Bagian pertama dari tiga artikel Laporan Utama (Regol)Kabare Magazine, edisi Desember 2012 (Teks: Agus Yuniarso; Foto: Budi Prast).

Minggu, 06 Januari 2013

Pematung Ulung dari Prumpung, Kisah Anak-Cucu Pemahat Borobudur

Misteri yang menyelimuti Candi Borobudur, barangkali sebanding dengan bilangan tahun usianya. Sejarah hanya mencatat di mana bangunan raksasa ini dibangun pada masa kejayaan Dinasti Syailendra, sekitar abad ke-8 Masehi. Selebihnya, tidak ada catatan yang pasti tentang keberadaannya.

Yang kini tampak hanyalah keelokan sebuah candi dengan tinggi lebih dari 30 meter, yang memiliki diameter alas sepanjang 120 meter. Bagian-bagian tubuhnya dihiasi lebih dari 500 buah patung, serta sekitar 1.500 panel relief seluas 2.500 meter persegi.

Misteri Candi Borobudur tak semata pada sosok bangunannya, namun juga dalam proses pembangunannya. Sulit membayangkan bagaimana bangunan ini tercipta, mengingat teknologi yang ada pada masa itu. Entah berapa banyak waktu dan tenaga yang dibutuhkan untuk memindahkan, memotong dan memberikan karakter pada sekitar 1.600.000 blok batu andesit yang menjadi bagian tubuh Borobudur.

Yang mungkin bisa dibayangkan adalah keramaian pada masa itu. Setidaknya, inilah imajinasi masyarakat Dusun Prumpung yang memiliki cara tersendiri untuk menceritakan sejarah keberadaan dusun yang mereka tempati.

Dusun Prumpung, yang kini bernama Prumpung Sidoharjo, terletak di Desa Tamanagung, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Dalam lima dasawarsa terakhir, di dusun kecil ini berkembang kesenian pahat batu andesit yang mungkin merupakan satu-satunya di Indonesia, khususnya dalam penciptaan replika barca, relief, gapura, serta miniatur candi bernuansa Hinduisme dan Budhisme.

Mungkin memang bukan kebetulan jika komunitas seni pahat batu ini terletak tak jauh dari Gunung Merapi dan Candi Borobudur. Batuan yang mereka pahat berasal dari lereng Merapi. Dan kualitas karya mereka tak terpaut jauh dari keelokan seni pahat yang menghiasi Candi Borobudur.

Jika secara imajiner ditarik lintasan lurus dari kaki Gunung Merapi ke arah Candi Borobudur, maka Dusun Prumpung akan tepat berada pada titik tengahnya. Inilah lintasan sakral yang sangat dibanggakan, sekaligus menjadi salah satu kebetulan yang unik jika dipandang dari latar belakang sejarah pembangunan Borobudur, serta kisah-kisah yang berkembang turun-temurun dalam komunitas ini.

Sebagian masyarakat Prumpung meyakini bahwa bebatuan yang membangunan Candi Borobudur berasal dari Gunung Merapi. “Dan dusun inilah yang menjadi tempat persinggahan para pekerja, seniman dan arsitek pembangunan candi itu,” tutur Dulkamid Jayaprana, tokoh masyarakat Dusun Prumpung.

Dalam imajinasi mereka, proses panjang pembangunan Candi Borobudur telah melahirkan suasana semarak di dusunnya, lebih dari seribu tahun yang lalu. Perilaku simpatik para pendatang disambut keramahtamahan para pribumi. Gotong royong tercipta sebagai perwujudan dari interaksi sosial yang sangat dinamis. “Sejak saat itulah masyarakat pribumi mulai mengenal seni memahat batu,” tambah Dulkamid.

Jika masyarakat Prumpung telah mengenal kesenian pahat batu sejak lebih dari seribu tahun yang lalu, mengapa baru dalam lima dasawarsa terakhir kesenian ini menunjukkan gejala perkembangannya? Jawabnya sederhana saja; beragam riwayat dapat berkembang dalam setiap komunitas dan hanya mereka sendirilah yang memahami dan menghayati makna dan kebenarannya.

Sejarah jelas bukan hasil imajinasi. Sejarah harus dicatat dan dikabarkan. Kisah turun-temurun itu, mungkin dapat memperjelas sebagian dari ribuan misteri yang menyelimuti Candi Borobudur. Namun bukan mustahil justru akan menambah misteri itu sendiri. Masyarakat Prumpung, sebagaimana dituturkan Dulkamid Jayaprana, memiliki cara tersendiri dalam menuturkan sejarah keberadaannya.

Sumber: Kabare Magazine, edisi Desember 2012 (Teks: Agus Yuniarso; Foto: Albert).

Sabtu, 05 Januari 2013

Slovakia, Negeri yang Kaya Warisan Budaya Berkelas Dunia

“Mutiara Baru di Jantung Eropa” menjadi sebutan yang begitu pas bagi negeri tak berpantai yang dikelilingi oleh Austria, Ceko, Hongaria, Polandia dan Ukraina ini. Slovakia, separuh pecahan dari dua negara yang pernah bersatu di bawah bendera Cekoslovakia, bak mutiara yang berkilau indah.

Selain dianugerahi keindahan alam, negeri ini juga menyimpan kekayaan warisan budaya. Di negara yang berdiri sendiri sejak 1 Januari 1993 ini, warisan budaya dari masa lampau tertata apik dan lestari, berdampingan harmonis dengan keunikan alam serta gaya hidup modern khas Eropa yang tercermin di wajah ibukotanya, Brastilava.

Kota-kota di Slovakia sudah tumbuh dan berkembang sejak berabad-abad yang lampau. Zaman keemasan Revolusi Industri di Eropa pada abad ke-14 telah melahirkan kawasan industri di pinggiran kota dan menjadi urat nadi kehidupan warganya.

Hingga paruh akhir abad ke-19, Slovakia memiliki 25 kota kerajaan yang mandiri serta 227 desa dan kota yang sangat dijaga kelestariannya. Wajah-wajah dari masa lalu itu masih bisa disaksikan hingga saat ini dan telah diakui sebagai warisan berkelas dunia.

World heritage list yang dikeluarkan oleh UNESCO, resmi mencatat 7 warisan dunia yang berada di wilayah Slovakia, terdiri dari 5 warisan kultural dan 2 warisan alam, di samping 14 warisan lain yang telah tercatat dalam daftar tentatifnya. Tujuh warisan dunia itu adalah Bardejov, Banská Štiavnica, Spiš Castle, Vlkolínec, Wooden Churches, Slovak Karst, dan Primeval Beech Forests.

Bardejov adalah kota kecil yang memiliki bentuk asli kota benteng ala abad pertengahan dengan peninggalan yang sangat lengkap dan terawat dengan baik, termasuk alun-alun dan pasar yang telah menjadi pusat perdagangan dan menjadi persinggahan para pedagang di abad pertengahan.

Salah satu bangunan sakral yang dilestarikan adalah Basilica St. Egidius yang memiliki 11 altar bersayap bergaya gotik, menjadikannya salah satu gereja unik di Eropa. Di kota ini juga terdapat komunitas Yahudi di sekitar sinagog yang dibangun abad ke-18 yang masih terawat dengan baik.

Banská Štiavnica adalah pusat pertambangan tua di Eropa Tengah yang telah dikenal sejak berabad-abad lalu. Kunjungan para insinyur dan ilmuwan untuk menimba ilmu pertambangan di kota ini ikut berperan penting dalam melambungkan ketenarannya. Pusat perkotaan menyatu dalam lanskap sekitarnya, yang berisi peninggalan penting dari kegiatan pertambangan dan metalurgi dari masa lalu.

Di sini masih bisa disaksikan pusat-pusat pertambangan tua abad pertengahan, berdampingan dengan istana di tengah kota, bangunan gereja dari abad ke-16, serta bangunan kuno lainnya.

Spiš Castle adalah adalah satu benteng militer sekaligus pusat pemerintahan terbesar di Eropa Timur. Bangunan yang dibangun sekitar abad ke-13 hingga ke-14 masih menunjukkan keutuhan desain arsitekturnya yang memadukan gaya Romawi dan gotik. Keunikannya semakin lengkap dengan adanya kawasan bersejarah Levoča di dalam benteng. Semuanya masih terjaga lestari, termasuk bangunan gereja St. James yang dibangun pada abad ke-14.

Vlkolinec yang terletak di pusat Slovakia, adalah sebuah kawasan yang memiliki 45 bangunan cagar budaya yang dirawat dengan baik. Keseluruhan kawasan ini menunjukkan dengan lengkap bagaimana wajah sebuah desa tradisional di Eropa Tengah yang tak banyak berubah sejak berabad lampau.

Yang tak kalah menarik adalah sekumpulan bangunan gereja kayu yang berada di Pegunungan Carpathian di sisi wilayah Slovakia. Di sini berdiri 8 bangunan gereja kayu asli yang dibangun antara abad ke-16 hingga ke-18, terdiri dari 2 gereja Katholik Roma, 3 gereja Protestan, dan 3 gereja Ortodoks Yunani.

Bangunan peribadatan ini menampilkan tradisi lokal yang begitu kaya dengan arsitektur religius, ditandai dengan pertemuan budaya Latin dan Bizantium. Masing-masing bangunan menunjukkan ciri aristektur yang khas sesuai dengan ciri peribadatan masing-masing agama.

Selain kelima warisan budaya itu, Slovakia juga memiliki 2 warisan alam yang tercatat dalam World Heritage List UNESCO, yaitu Slovak Karst dan Primeval Beech Forests.

Slovak Karst adalah pegunungan kapur yang memiliki 712 gua. Fakta alami di kawasan ini tergolong langka karena menampilkan kombinasi efek antara iklim tropis dan glasial, sehingga dapat dipelajari sejarah geologi dalam rentang waktu puluhan juta tahun lamanya.

Sementara Primeval Beech Forests merupakan hamparan hutan ‘perawan’ yang jarang terjamah manusia. Tempat ini menjadi contoh berlangsungnya evolusi biologi dan ekologi pada ekosistem darat pascaglasial, yang sangat diperlukan untuk memperlajari penyebaran flora di belahan bumi utara.

Tak terbatas pada warisan alam dan budayanya, Slovakia masih menyimpan begitu banyak daya tarik dan keunikan, seperti Kota Trnava yang dikenal dengan industri otomotifnya (VW, Peugeout dan Audi dirancang di kota ini), Kota Trencin dengan kastilnya, Kosice sebagai kota terbesar kedua di Slowakia, Zilina, Presov, Nitra, atau High Tatras, kawasan pegunungan yang terkenal sebagai pusat olah raga ski.

Last but not least, Slowakia juga memiliki begitu banyak fasilitas spa untuk kesehatan dan terapi berbagai penyakit yang dikenal luas dan dikunjungi para pasien dari berbagai penjuru dunia.

Dengan segala kekayaannya, Slovakia tentu menjadi pilihan menarik untuk berlibur dan layak masuk dalam agenda perjalanan para petualang. Visa yang dikeluarkan Kedutaan Besar Republik Slovakia adalah Visa Schenghen yang dapat dipergunakan untuk berkunjung ke negara Eropa lainnya dalam lingkungan Uni Eropa.

Hampir semua penerbangan internasional dari Jakarta menuju Eropa bisa dipergunakan sebelum berganti penerbangan menuju Kota Wina (Austria), titik terdekat menuju Bratislava, ibukota Slowakia. Dari Wina, perjalanan dapat dilanjutkan menggunakan bis antar kota atau kereta api yang menyatu dengan bandara Wina menuju Brastilava yang hanya memakan waktu 1 jam perjalanan.

Di Brastilava, tinggal memilih tujuan yang akan disinggahi berikutnya. Penginapan tersedia dari yang paling mewah (bintang lima) hingga kelas backpacker. Untuk transoprtasi lokal, tersedia bis kota, kereta api, kapal sungai, trem, taxi hingga mobil, motor dan sepeda yang bisa disewa dengan mudah. Meski lebih dari 80% warga Slowakia menggunakan Bahasa Slowakia, namun Bahasa Inggris dan Jerman mudah dipergunakan di tempat umum.

Yang penting diingat, Slowakia sebagaimana negara Eropa lainnya adalah negara yang memilki empat musim, yaitu musim dingin di penghujung tahun (kadang mencapai -20 derajat Celcius dan bersalju), musim semi sekitar bulan Maret hingga Mei, musim panas antara bulan Juni hingga Juli, dan musim gugur di bulan Agustus hingga September.

Tentukan waktu yang tepat sesuai dengan rencana kunjungan dan minat khusus jenis obyek wisata yang akan dikunjungi.

Sumber: Kabare Magazine, edisi Desember 2012 (Teks: Agus Yuniarso; Foto: Kedutaan Besar Republik Slovakia).

Kamis, 03 Januari 2013

Album 'Anak Angin': Bisikan Rancak ala Sawung Jabo dan Sirkus Barock



Kerinduan penggemar rock progresif di Jogja, sontak terobati ketika Sawung Jabo bersama Sirkus Barock tampil di Gedung Societet, Taman Budaya Yogyakarta (TBY), awal November 2012 lalu.

Gelar pentas ini menandai pelepasan album “Anak Angin”, album ke-6 Sirkus Barock sejak dibentuk 37 tahun lalu. Pada saat yang sama, panggung “Nyawung Jaboan” digelar oleh komunitas Folk Mataram Institute (FMI) bersama sejumlah seniman Jogja, sebagai spontanitas menyambut kehadiran kembali Sang Maestro. Mereka membawakan kembali lagu-lagu Sawung Jabo dan Sirkus Barock dengan gaya dan interpretasi mereka sendiri.

Sebagaimana adatnya, album baru yang melanjutkan rangkaian perjalanan kreatif Sawung Jabo bersama kelompok musik bentukannya ini, dengan lugas melantunkan pandangan dan kepedulian terhadap realitas sosial sehari-hari. Bedanya, konsep tematik dan tuturan yang diusung kali ini tak terlalu ekspansif, cenderung mendendangkan introspeksi dan kontemplasi.

Album ini merupakan perenungan perjalanan pribadi dan pemaknaan kenyataan hidup Sang Maestro. “Tapi yang pasti dalam berkarya kami berusaha selalu jujur dan mengungkapkan kenyataan berdasarkan pandangan dan opini.” kata Sawung Jabo.

Dari 11 lagu dalam album Anak Angin ini, dimunculkan kembali 2 lagu lawas berjudul “Goro-goro” dan” Tuhan Itu?”. Keduanya diaransemen ulang sewarna dengan keseluruhan garapan musik di album baru ini yang menyatukan instrumen modern dan gamelan yang menghadirkan sajian musik yang unik dan menarik. Proses pembuatannya sendiri melibatkan sejumlah musisi muda, seperti Joel (gitar), Sinung (bas), Bagus (kibor), Ucok (biola), Endi (drum), Denny (perkusi), dan Giana (backing vocal).

Berawal dari kolaborasi Komunitas Arek-arek Suroboyo (KAAS) dan mahasiswa Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) di Yogyakarta, Jabo membentuk Sirkus Barock pada tahun 1976. Innisisri, Nanoe, Totok Tewel dan Edi Darome adalah nama-nama yang tercatat sebagai musisi tetapnya. Diluar mereka, masih banyak musisi lain yang terlibat sepanjang lebih dari tiga dekade perjalanannya.

”Sirkus Barock merupakan kelompok musisi yang terbuka bagi siapa saja. Ada ratusan musisi yang telah bergabung dengan Sirkus Barock sejak pertama kali terbentuk.” ungkap Jabo.

Sebelum album Anak Angin, Sirkus Barock telah menelurkan sejumlah album, diantaranya: Anak Setan (1986), 10 Bintang Nusantara (album kompilasi, 1988), Bukan Debu Jalanan (1989), Kanvas Putih (1993), Fatamorgana (1994) dan Jula Juli Anak Negeri (2001).

Sawung Jabo sendiri lahir di Surabaya dengan nama Mochamad Djohansyah, 61 tahun yang lalu. Sebagai seniman dan musisi kawakan, nama Jabo makin dikenal luas sejak kerjasamanya dengan Iwan Fals dalam album Swami (1989), yang berlanjut dengan kolaborasi mereka berdua dengan Setiawan Djodi, W.S. Rendra dan Jockie Suryoprajogo dalam kelompok musik Kantata Taqwa (1990).

Dari album Swami I (1989) yang tercatat dalam daftar 150 Album Indonesia Terbaik versi majalah The Rolling Stone (2007), lahir 2 tembang legendaris “Bento” dan “Bongkar”, Swami II (1991) memunculkan tembang “Hio” dan “Kuda Lumping” yang begitu rancak, sementara album Kantata Taqwa (1990) yang juga masuk dalam daftar 150 Album Indonesia Terbaik, melahirkan sejumlah tembang yang begitu akrab di telinga pecintanya, seperti “Kantata Taqwa”, “Kesaksian”, “Paman Doblang” dan “Air Mata”.

Selepas tahun 2000, Sawung Jabo lebih banyak melansir lagu-lagu yang bernuansa religius, menggali makna kehidupan, percintaan, dan perenungan diri.

Gedung Societet TBY malam itu, menjadi saksi betapa masih digdayanya Sawung Jabo membius para penggemar rock progresif Indonesia, membisikkan pandangan dan kepedulian terhadap realitas sosial sehari-hari, dalam teriakan berirama yang begitu rancak dan penuh gairah.

Kabare Magazine, edisi Desember 2012 (Teks: Agus Yuniarso; Foto: Budi Prast)
Copyright © Catatan Agus Yuniarso - Except where otherwise noted, content on this site is licensed under Creative Commons license.